Thursday, July 12, 2007

Bahasa Dagadu dan Bahasa Stiker

Latar Belakang Masalah

Pengertian orang tentang bahasa sangat beraneka ragam, bergantung kepada teori apa yang dipakai. Setiap teori mempunyai definisi yang berbeda antara yang satu dengan yang lain. Apabila hal ini kita perturutkan, maka kita tidak akan mungkin berbicara tentang bahasa dengan “bahasa” yang sama. Bahasa dapat didefinisikan sebagai suatu sistem tanda arbitrer yang konvensional. Bahasa bersifat sistematik dan sistemik. Bahasa bersifat sistematik karena mengikuti ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah yang teratur. Bahasa juga bersifat sistemik karena bahasa itu sendiri merupakan suatu sistem atau subsistem-subsistem.

Bagi masyarakat Jogja, kata Dagadu sudah ada sejak beberapa dasawarsa lalu dikenal sebagai umpatan : matamu. Inilah bahasa walikan, bahasa slang orang Jogja yang disusun dengan cara membalik empat baris huruf Jawa. Permainan sandi dalam bahasa walikan ini dilakukan dengan cara menukar empat baris pertama dengan baris ketiga, baris kedua dengan baris keempat dan begitu pula sebaliknya. Kata berbahasa Indonesia dipenggal berdasarkan suku katanya kemudian dipasangkan berdasarkan urutan baris huruf Jawa tersebut, tanpa perlu mengubah huruf vokalnya. Kata DA-GA-DU menjadi mudah dipahami. DA pada baris kedua dibaca MA yang ada pada baris keempat, GA pada baris keempat dibaca TA di baris kedua dan DU (DA) berpasangan dengan MA (MU). Jadi, DA-GA-DU berarti MA-TA-MU. Itulah sebabnya kenapa logo Dagadu Djokdja bergambar mata. Tapi bagi Dagadu Djokdja, mata bukan semata-mata logo. Mata adalah idiom yang lengkap dengan citra kreativitas, dunia rancang merancang. Dalam khasanah budaya Jawa, mata adalah mripat, yang konon kabarnya berdekatan makan dengan ma’rifat, yang dimaknai sebagai keinginan agar dapat memberikan manfaat bagi diri dan lingkungannya. Matapun menjadi sarana utama untuk sightseeing, jalan-jalan sambil menikmati suasana dan panorama kota. Maka Dagadu berharap dapat mempresentasikan kepedulian terhadap masalah perkotaan dan kepariwisataan di Jogja.
Dagadu Djokdja adalah sebuah ikon pariwisata Jogja setelah gudeg, batik, perak dan bakpia. Namun keberadaannya telah banyak diserupai oleh para pembajak yang jauh dari sifat bijak dan tiada lagi rasa isin. Namun demikian, PT. Aseli Dagadu Djokdja tiada henti berinovasi. Meskipun banyak pihak lain menjual produknya dengan iming-iming komisi tinggi tanpa peduli pada kualiti, kami tetap konsisten pada pasar sebagai branded product & exclusive distribution ini.

Akhirnya, DAGADU resmi menjadi merk produk cinderamata alternatif yang dijual di Malioboro Mall ini. Untuk menunjukkan lokalitas darimana cinderamata itu berasal, ditambahlah kata Djokdja setelah Dagadu. Sementara itu, pemakaian ejaan lama pada kata Djokdja dimaksudkan untuk memberi muatan nilai historis kota Jogjakarta. Sejak awal kelahirannya, Dagadu Djokdja sudah memposisikan diri sebagai produk cinderamata alternatif dari Djokdja. Sebuah cinderamata, tentu saja mengeksplorasi semangat dan khasanah budaya lokal. Selain praktis dan ringan sebagai syarat fungsionalnya, cinderamata juga harus menjadi benda kenangan. Dengan kata lain, selalu ada cerita dibaliknya, ada keunikan yang dibawanya.
Masyarakat di lingkungan kota Jogja khususnya remaja dalam pergaulan mereka cenderung lebih suka menggunakan bahasa dagadu sebagai alasan untuk berkomunikasi karena lebih mudah diucapkan serta mempunyai daya tarik tersendiri bagi yang mendengarkan maupun yang diajak berkomunikasi. Bahasa dagadu sangat praktus kedengarannya dan mempunyai daya humoris yang tinggi.

Perumusan Masalah

Berdasarkan masalah yang telah dibicarakan permasalahannya dapat dirumuskan sebagai berikut :
  1. Bagaimanakah bahasa dagadu dan bahasa stiker digunakan dalam masyarakat sekarang ini?
  2. Bagaimanakah perkembangan bahasa dagadu dan bahasa stiker dalam masyarakat?

Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
  1. Mengetahui sejauh mana bahasa dagadu dan bahasa stiker digunakan dalam masyarakat sekarang ini.
  2. Mengetahui perkembangan bahasa dagadu dan bahasa stiker dalam masyarakat.

Pembahasan

Bahasa Indonesia amat sangat luas wilayah pemakaiannya dan bermacam-macam ragamnya, mau tidak mau takluk pada hukum perubahan, arah perubahan itu tidak selalu tak terelakkan karena kitapun dapat mengubah bahasa secara berencana. Dalam masyarakat modern ini, bahasa yang sangat digemari oleh remaja adalah bahasa dagadu.
Pernah mendapat umpatan dari orang dengan kata-kata pabu sacilad? Dan kamu berpikir, “Ngomong apaan to orang ini…?”. He contoh yang gak bener. Yah itulah yang disebut basa walikan. Sebuah bahasa khas Jogja yang diambil dari 20 jenis aksara Jawa.

Pemakaian resmi

Bahasa gaul bukanlah bahasa Indonesia resmi, meskipun bahasa ini digunakan secara luas dalam percakapan verbal dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa gaul sangat digemari karena pemakaiannya sangat mudah dan dapat menjalani keakraban satu sama lain bila diucapkan pada orang lain. Ciri dan kaidah tata bunyi pembentukan kata pada umumnya hampir memiliki kesamaan. Itulah sebabnya kita masih dapat memahami orang lain yang menggunakan bahasa dagadu sebagai alat komunikasi, walau disamping itu kita dapat mengenali beberapa perbedaan dalam perwujudan bahasanya.

Tata bahasa

Struktur dan tata bahasa gaul tidak terlalu jauh berbeda dari bahasa formalnya (bahasa Indonesia) dan banyak kasus kosakata yang dimilikinya hanya merupakan singkatan dari bahasa formalnya. Perbedaan utama antara bahasa formal dengan bahasa gaul utamanya adalah dalam perbendaharaan kata. Banyak orang asing yang belajar bahasa Indonesia merasa bingung saat mereka berbicara langsung dengan orang Indonesia asli, karena bahasa yang mereka pakai adalah formal, sedangkan kebanyakan orang Indonesia berbicara dengan bahasa informal dan gaul.
Contoh :
Bahasa IndonesiaBahasa Gaul (informal)
aku, sayague
kamuelo
di masa depankapan-kapan
Apakah benar?Emangnya bener?
tidakgak
tidak peduliEmang gue pikirin!

Pengucapan

Cara pengucapan bahasa gaul dilafalkan dengan secara sama seperti halnya bahasa Indonesia. Kosakata-kosakata yang meminjam dari bahasa lain seperti bahasa Inggris ataupun Belanda ditransliterasikan pengucapannya, contohnya “Please” ditulis sebagai “plis” dan “Married” sebagai Merit.

Kesimpulan

Dari pembahasan yang dibuat di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa bahasa dagadu banyak diminati oleh masyarakat khususnya pada masyarakat Jogja. Remaja cenderung memakai bahasa dagadu baik sebagai alat komunikasi maupun sebagai cinderamata yang dijual di kota Jogja. Djokdja selalu menjadi tema sentral produk Dagadu Djokdja. Everything about Djokdja. Ya tentang artefaknya, bahasanya, kultur kehidupannya, maupun peristiwa keseharian yang terjadi di dalamnya.

Tuesday, June 05, 2007

ANALISIS TOKOH DAN NILAI BUDAYA NOVEL AZALEA JINGGA

Latar Belakang Masalah

Keberadaan karya sastra merupakan sesuatu yang tidak asing lagi bagi manusia. Sastra tumbuh dan berkembang eksistensi manusia. Sastra dapat mempengaruhi hasil pikiran, perasaan dan tingkah laku individu karena sastra merupakan bagian dari sejarah kehidupan. Sastra adalah ekspresi pikiran dalam bahasa atau inspirasi oleh Jakob Sumardjo (1986 : 3) bahwa karya sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat keyakinan dalam suatu bentuk gambaran kongkret yang membangkitkan pesona dan bahasa sebagai alat dan bahasa tersebut merupakan sarana untuk menyampaikan ide-ide atau perasaan pengarang kepada pembaca.

Karya sastra diciptakan oleh pengarang bukan semata-mata untuk memperoleh kepuasan pribadi saja, tetapi harus dapat dinikmati, dipahami dan berguna bagi pembaca. Membaca karya sastra maka akan mampu memberikan efek kepuasan batin, kenikmatan dan kesegaran pikiran serta pemahaman mendalam tentang manusia dan kehidupan. Ide penciptaan karya sastra diilhami dari pengalaman hidup pengarang sebagai anggota masyarakat, ia merekam berbagai peristiwa-peristiwa, tata nilai dan pandangan hidup dalam masyarakat. Melalui karyanya ia bermaksud menyampaikan suatu pesan kepada orang lain tentang permasalahan hidup.

Karya sastra lain dari masyarakat, untuk masyarakat dan milik masyarakat. Karya sastra tersebut harus dipahami dan dinikmati berdasarkan konvensi sastra dan bukan dengan konvensi ilmu pengetahuan, sebab karya sastra merupakan dunia rekaan yang tercipta melalui proses pemahaman, penafsiran dan penelitian. Dengan demikian, dua rekaan karya sastra tentang kehidupan, baik yang dialami oleh dirinya sendiri maupun orang lain.

Mursal Esten (1987 : 8) berpendapat bahwa sebuah karya sastra mengungkapkan masalah-masalah manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Suatu karya sastra diciptakan dengan tujuan untuk menghibur, selain itu dapat diharapkan untuk memberikan pengalaman jiwa bagi pembaca. Pengalaman jiwa tersebut dapat menambah kekayaan batin pembaca, sehingga pembaca akan lebih peka dalam menghadapi persoalan hidup yang dialaminya. Karya sastra sebagai suatu karya seni merupakan suatu hal yang senantiasa menarik untuk dikaji dan diteliti. Meneliti suatu karya sastra harus benar-benar obyektif berdasarkan kenyataan serta didasarkan pada teori-teori yang ada.

Mursal Esten (1990 : 8) mengatakan bahwa sebuah cipta sastra mengungkapkan tentang masalah-masalah manusia dan kehidupan, tentang makna hidup dan kehidupan, ia melukiskan penderitaan-penderitaan manusia, perjuangannya kasih sayang dan kebenaran, nafsu dan segala yang dialami manusia. Melalui cipta sastra pengarang mau menampilkan nilai-nilai yang lebih tinggi dan lebih agung, akan menafsirkan tentang makna hidup dan kehidupan.

Membaca karya sastra besar akan dapat menolong pembacanya menjadi manusia yang berbudaya. Manusia berbudaya adalah manusia yang responsif terhadap apa-apa yang luhur dalam hidup ini. Manusia itu selalu mencari-cari nilai kebenaran, keindahan, kebaikan. Salah satu cara memperoleh nilai-nilai itu adalah lewat pergaulan dengan karya-karya seni termasuk karya-karya besar (Sumardjo dan Saini K.M., 1986 : 9).
Kualitas sebuah karya sastra dikatakan baik tidak hanya dapat dilihat dari keindahan pengarang dalam merangkai kata-kata. Zainudin Fararre (2001 : 73) menegaskan bahwa karya sastra yang hanya bagus dalam salah satu aspeknya belum dapat dikatakan sebagai karya sastra yang berkualitas atau sastra yang baik. Begitu pula karya sastra yang tidak mudah dipahami oleh setiap orang tidak bisa langsung disebut sebagai sastra yang kurang berkualitas. Karya sastra diciptakan oleh pengarang untuk dinikmati, dipahami dan dimanfaatkan oleh masyarakat (Darmono, 1979 : 1). Sastra menampilkan gambaran pola pikir, perubahan tingkah laku budaya dan lain sebagainya. Dengan kata lain, karya sastra merupakan potret segala aspek kehidupan sosial dengan segala permasalahan yang terjadi di masyarakat.

Manusia berbudaya adalah harus yang responsif terhadap sesuatu yang luhur dalam kehidupan, selalu mencari nilai kebenaran, keindahan dan kebaikan. Kebiasaan membaca karya sastra akan membentuk manusia menjadi yang berguna, berperasaan luhur dan mulia (Sumardjo dan Sains, 1997 : 9). Novel merupakan karya sastra yang terpopuler, merupakan karya sastra berbentuk prosa fiksi yang bersifat imajinatif. Karena sifatnya itu, novel mampu memberi citra atau bayangan-bayangan tertentu di dalam benak penikmatnya. Semua akibat yang ditimbulkan ini tercipta karena pengaruh teknik bercerita yang disajikan oleh pengarang. Pengarang akan selalu berusaha mempengaruhi pembaca melalui pilihan bunyi-bunyi bahasa, pilihan kata, susunan kalimat, penampilan tokoh maupun teknik penciptaan suspennya.

Novel Azalea Jingga adalah salah satu bentuk karya sastra dimana di dalamnya menceritakan tentang manusia sebagai anggota masyarakat yang memiliki ataupun diatur oleh nilai budaya., hal ini tidak asing bagi penulis dan begitupun juga para penikmat sastra. Penulis merasa tertarik untuk menjadikan novel Azalea Jingga sebagai obyek penelitian ini karena dalam novel ini banyak mengisahkan ataupun menceritakan problematika kehidupan orang Barat yang telah menikah dengan seroang patriot Indonesia yang kemudian dia tengah tinggal di tanah air dan mampu menyesuaikan dengan budaya tanah air. Dalam novel ini tokoh-tokoh yang ada di dalamnya banyak mengalami suatu permasalahan hidup, sebagai makhluk yang sempurna dan kuat serta tegar dalam menjalani kehidupan. Alur yang terdapat dalam novel ini adalah alur sedih serta didominasi oleh alur tragis dimana sang tokoh ataupun pelaku selalu mengalami kemalangan tetapi dia mencoba tegar dan novel ini berakhir dengan kesedihan secara tragis.

Novel Azalea Jingga membicarakan masalah percintaan, seks ataupun kebiasaan-kebiasaan orang Barat. Novel ini merupakan pentas romantika sejarah yang memanggungkan api percintaan seorang pejuang kemerdekaan dengan seorang perempuan berdarah Yahudi. Novel Azalea Jingga ini sangat berani dan garang dalam membicarakan pengkhianatan, percintaan yang bercampur dengan perselingkuhan, berakhir dengan kematian. Naning Pranoto memaparkan masalah-masalah ketabahan hati seorang perempuan yang dikhianati tetapi dia tetap bertahan hidup demi anaknya. Novel Azalea Jingga banyak menyinggung tentang nilai budaya yang berlaku pada diri tokoh ataupun pelaku serta masyarakat yang terlibat di dalamnya, maka dari itu penulis ingin mencari tahu bagaimana peranan nilai budaya dan fungsi nilai budaya dalam mengatur tingkah laku atau kepribadian tokoh yang terdapat dalam novel Azalea Jingga.

Identifikasi Masalah

Dalam upaya menemukan permasalahan yang muncul perlu adanya suatu langkah awal, yaitu dengan mengidentifikasi masalah. Adapun identifikasi masalah nilai budaya dalam novel Azalea Jingga adalah sebagai berikut :
  1. Nilai budaya yang terkandung dalam novel Azalea Jingga.
  2. Perwujudan nilai-nilai budaya yang terdapat dalam novel Azalea Jingga.
  3. Pemilihan nilai-nilai budaya oleh pengarang untuk menuntut tokoh-tokoh dalam menghadapi permasalahan hidup yang terdapat dalam novel Azalea Jingga.

Pembatasan Masalah

Mengingat sekian banyak masalah yang muncul sebagaimana dalam identifikasi masalah, maka perlu kiranya dibatasi masalah yang akan dibahas, diantaranya adalah sebagai berikut :
  1. Nilai budaya yang terkandung dalam novel Azalea Jingga
  2. Perwujudan nilai budaya yang terdapat dalam novel Azalea Jingga.
  3. Pemilihan nilai-nilai budaya oleh pengarang untuk menuntut tokoh-tokoh dalam menghadapi permasalahan hidup yang terdapat dalam novel Azalea Jingga.

Perumusan Masalah

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut :
  1. Bagaimana nilai budaya yang terkandung dalam novel Azalea Jingga?
  2. Bagaimana perwujudan nilai budaya yang terdapat dalam novel Azalea Jingga?
  3. Bagaimana pemilihan nilai budaya oleh pengarang untuk menuntut tokoh-tokoh dalam menghadapi permasalahan hidup yang terdapat dalam novel Azalea Jingga?

Tujuan Penelitian

Sesuai dengan perumusan masalah, tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah :
  1. Mendeskripsikan nilai budaya yang terdapat dalam novel Azalea Jingga.
  2. Mendeskripsikan perwujudan nilai-nilai budaya yang terdapat dalam novel Azalea Jingga.
  3. Mendeskripsikan pemilihan nilai budaya oleh pengarang menuntut tokoh-tokohnya dalam menghadapi permasalahan hidup dalam novel Azalea Jingga.

Manfaat Penelitian

Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pembaca dalam dunia sastra berkaitan dengan model pemahaman terhadap novel Indonesia, yaitu Azalea Jingga terutama dari segi sosiologi sastra.

Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini dapat digunakan pembaca untuk memperoleh informasi yang jelas mengenai nilai budaya. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan akan menjelaskan dengan segala kehidupan dan berbagai masalah dalam nilai budaya.

Rancangan Penelitian

Penelitian ini akan dipresentasikan dalam lima bab, yaitu :

Bab I :
Pendahuluan terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian.

Bab II :
Kajian Pustaka, terdiri dari pengertian nilai budaya, tokoh dan penokohan, pendekatan sosiologi sastra, frekuensi nilai budaya.

Bab III :
Metode Penelitian

Bab IV :
Analisis dan Pembahasan

Bab V :
Kesimpulan dan Saran

KAJIAN PUSTAKA


Hakikat Novel Sebagai Bentuk Karya Sastra

Novel adalah salah satu jenis karya sastra yang menampilkan rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang di sekelilingnya. Novel juga dapat menonjolkan watak dan sifat tokoh-tokoh cerita dengan permasalahan kehidupan selain dapat dinikmati sebagai media hiburan juga di dalamnya terdapat nilai-nilai yang bermanfaat bagi pembaca dalam kehidupan sehari-hari. Novel merupakan pengungkapan dari fragmen kehidupan manusia dalam jangka yang lebih panjang dimana terjadi konflik-konflik yang akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan jalan hidup antara pelakunya. (Suhardjo, 1989 : 35)

Novel pada dasarnya merupakan bentuk penceritaan tentang kehidupan manusia yang bersifat fragmentaris. Teknik pengungkapannya bersifat padat dan antar unsurnya merupakan struktur yang terpadu. Novel menceritakan suatu kejadian yang luar biasa dari kehidupan para tokohnya. Dari kejadian itu terlukis suatu konflik, pertikaian yang menentukan nasib para tokohnya. (Nurgiyantoro, 1995 : 30).

Fungsi karya sastra (novel) adalah selain menghibur juga memberikan sesuatu yang dibutuhkan manusia pada umumnya, berupa nilai-nilai agung yang sering lepas dari pengamat dan pengalaman hidup sehari-hari. Menurut Suhariyanto (1982), fungsi karya sastra bukan semata-mata untuk memberikan hiburan kepada peminatnya melainkan juga memberikan suatu yang dibutuhkan manusia pada umumnya, yaitu nilai-nilai yang anggun dan agung yang sering terlepas dari pengamat dan pengalaman sehari-hari.

Sementara Sumardjo (1988 : 78) juga berpendapat bahwa novel menceritakan sesuatu kejadian yang luar biasa karena dari kejadian itu terlahir konflik, suatu tikaian yang mengalihkan jurusan nasib mereka. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Esten (1989 : 12) yang mengemukakan bahwa novel merupakan pengungkapan fragmen kehidupan manusia dimana terjadi konflik-konflik yang akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan jalan hidup antara pelakunya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa novel adalah pengungkapan tentang fragmen kehidupan manusia, dimana dalam fragmen kehidupan itu terjadi konflik-konflik atau pertikaian yang akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan nasib para tokoh dalam cerita itu.

Novel sebagaimana bentuk karya sastra lainnya terdiri dari unsur-unsur pembentuk yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur struktural formal yang membangun karya sastra dari dalam. Unsur-unsur tersebut antara lain tema, penokohan, alur, latar, judul, sudut pandang, gaya dan suasana. Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur dari dunia luar karya sastra yang berpengaruh. Unsur-unsur itu antara lain ekonomi, politik, sejarah, filsafat, pendidikan dan psikologi (Esten, 1984 : 20-22). Nurgiyantoro (1995 : 4) berpendapat bahwa novel sebagai karya fiksi menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajiner yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh dan penokohan sudut pandang dan lain-lain yang kesemuanya tentu saja bersifat imajiner.

Pengertian Nilai Budaya

Nilai budaya adalah hasil budaya yang berupa konsep abstrak mengenai masalah dasar yang sangat penting dan bernilai dalam kehidupan manusia. Menurut Koentjoroningrat (1984 : 25), nilai budaya adalah tingkat pertama kebudayaan lokal dan adat. Nilai budaya adalah lapisan paling abstrak dan luas ruang lingkupnya. Tingkat ini adalah ide-ide yang mengkonsepsi hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan masyarakat. Selain itu, sistem nilai budaya terdiri atas konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang harus mereka anggap bernilai dalam kehidupan. Oleh karena itu, suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia sebagai pendorong pembangunan, khususnya watak.

Karya sastra merupakan budaya dan ekspresi kehidupan bangsa sebagai wujud pelestarian nilai-nilai budaya. Menurut Soetjipto (1992 : 108), nilai budaya merupakan akar dari segala nilai dan norma yang dianut oleh masyarakat. Nilai dan norma ini mempengaruhi alam pikiran, cita-cita dan perbuatan (cipta, rasa dan karsa) masyarakat dalam kehidupan. Alam pikiran, cita-cita dan perbuatan inilah yang pada gilirannya melahirkan persepsi, sikap dan perbuatan manusia dan masyarakat terhadap alam sekitar, terhadap sesama dan terhadap pengelolaan sumber-sumber daya yang digunakan untuk menjamin kelangsungan hidupnya.

Setelah mengamati latar belakang permasalahan yang akan diteliti novel Azalea Jingga karya Naning Pranoto karena belum ada yang menganalisis nilai budayanya. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk meneliti novel tersebut terutama tentang nilai budaya.

Tokoh

Tokoh merupakan individu rekaan yang mengalami kejadian dalam berbagai peristiwa dalam sebuah cerita rekaan (Sudjiman, 1991 : 17). Wellek dan Waren mengatakan bahwa tokoh merupakan jalan memahami keadaan jasmani dan rohani tersebut yang sederhana untuk menggambarkan watak adalah dengan memberik makna (Wellek dan Waren, 1989 : 287). Tokoh dapat disimpulkan bahwa tokoh adalah rekaan pengarang yang mengalami peristiwa secara langsung dalam cerita. Nurgiyantoro (1995 : 176) membagi tokoh cerita ke dalam tokoh utama dan tokoh tambahan.

Tokoh utama adalah tokoh yang memegang peranan penting ditampilkan dari awal sampai akhir cerita (bersifat terus-menerus). Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejahatan. Tokoh utama paling banyak diceritakan dan berhubungan dengan tokoh-tokoh lain sehingga menentukan perkembangan alur secara keseluruhan.

Tokoh tambahan, adalah tokoh yang kehadirannya untuk melengkapi tokoh utama, ditampilkan untuk memecahkan suatu permasalahan yang dihadapi oleh tokoh utama.
Tokoh utama dibagi tokoh protagonis dan tokoh antagonis (Sudjiman, 1991 : 18-19). Tokoh protagonis adalah tokoh yang ditampilkan selalu relevan dengan kejadian. Karya sastra harus memiliki konflik sehingga konflik itu akan menentukan adanya suspense yang sering dialami oleh tokoh protagonis.
Tokoh antagonis, adalah tokoh yang hadir hanya menunjang kehadiran tokoh protagonis. Tokoh yang menyebabkan adanya konflik disebut tokoh antagonis.

Thursday, May 24, 2007

Perjuangan Bangsa Indonesia dalam Mempertahankan Kemerdekaannya

Pasca proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, perjuangan bangsa Indonesia belum selesai. Bangsa Indonesia harus mempertahankan kemerdekaan dari berbagai ancaman, hambatan dan gangguan baik dari dalam maupun luar negeri. Berikut ini adalah beberapa peristiwa yang berhubungan dengan pendaratan pasukan Sekutu di berbagai wilayah di Indonesia.

Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya


Di Surabaya, teks proklamasi dimuat di Surat Kabar Soeara Asia pada tanggal 20 Agustus 1945. Para pemuda dan rakyat Surabaya melakukan berbagai usaha untuk menegakkan kemerdekaan di Surabaya. Usaha rakyat Surabaya ini mendapat halangan dari Jepang dan para Indo-Belanda yang ada di Surabaya.
Melihat gelagat yang kurang baik, rakyat Surabaya melakukan aksi penempelan poster dan plakat pada gedung-gedung di Surabaya. Pada tanggal 16 September 1945, para pemuda menyerbu gudang senjata milik Jepang dan merampas senjata tersebut.
Kejadian awal yang menandai pergolakan di Surabaya adalah terjadinya insiden di Hotel Yamato. Para pemuda menurunkan bendera Belanda yang berkibar di hotel tersebut. Mereka merobek warna biru pada bendera tersebut sehingga yang tertinggal hanya warna merah putih. Peristiwa di Hotel Yamato tersebut dikenal dengan Peristiwa Insiden Bendera.
Pada tanggal 25 Oktober 1945, pasukan Sekutu di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Aulbertin Walter Sothern Mallaby mendarat di Surabaya. Tentara Sekutu mendapat tugas untuk melucuti senjata serdadu Jepang. Namun, tentara Sekutu kemudian menyerang penjara Kalisosok pada tanggal 26-27 Oktober 1945 untuk membebaskan tawanan Belanda. Mereka juga menduduki pangkalan udara Tanjung Perak, Kantor Pos Besar dan objek vital lainnya.
Tindakan tentara Sekutu tersebut menimbulkan kemarahan rakyat Surabaya. Mereka kemudian menyerang seluruh pos tentara Sekutu di Surabaya pada tanggal 28 Oktober 1945. Dalam peristiwa tersebut, Brigardir Jendral Mallaby nyaris tewas. Para pemuda mengepung gedung Bank Internatio di Jembatan Merah dan menuntut agar pasukan Mallaby yang berada di dalam gedung tersebut menyerah.
Peristiwa pengepungan gedung Bank Internatio tersebut menyebabkan tewasnya Brigjen A.W.S. Mallaby. Atas terbunuhnya Brigjen A.W.S. Mallaby, Jenderal Christison memperingatkan rakyat Surabaya untuk menyerah. Namun rakyat Surabaya tidak menghiraukan peringatan Sekutu tersebut.
Selanjutnya pada tanggal 9 November 1945, Sekutu mengeluarkan ultimatum. Isi ultimatum yaitu semua pimpinan dan orang-orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjata di tempat-tempat yang telah ditentukan. Selanjutnya mereka harus menyerahkan diri dan mengangkat tangan di atas kepala. Batas waktu ultimatum adalah pukul 06.00 tanggal 10 November 1945.
Rakyat Surabaya tidak mengindahkan ultimatum Sekutu tersebut. Pada tanggal 10 November 1945 di bawah pimpinan Bung Tomo, Sungkono, dan Gubernur Suryo, rakyat Surabaya bertempur melawan Sekutu untuk mempertahankan kemerdekaan.


Usaha Mempertahankan Kemerdekaan di Berbagai Daerah

Bandung Lautan Api

Sekutu memberikan instruksi kepada Jepang untuk melindungi warga Belanda. Usaha Jepang untuk mempertahankan kota Bandung mendapat perlawanan dari rakyat Bandung. Pada waktu itu, pemimpin tentara Jepang di Bandung adalah Jenderal Mabuchi.
Tentara Sekutu mendarat di Bandung pada tanggal 17 Oktober 1945. Untuk memperlancar pasukan Sekutu memasuki kota Bandung, tentara Jepang melakukan pembersihan kota.
Pada tanggal 21 November 1945, Sekutu mengeluarkan ultimatum agar rakyat Bandung mengosongkan Bandung Utara, tetapi rakyat menolak sehingga terjadi pertempuran. Pada tanggal 23 Maret 1946, Sekutu mengeuarkan ultimatum kedua. Akhirnya rakyat mengosongkan kota Bandung Selatan dengan membumihanguskan kota Bandung.

Palagan Ambarawa

Pertempuran Ambarawa terjadi pada tanggal 20 November 1945. Peristiwa tersebut berawal ketika Sekutu mendarat di Semarang diboncengi oleh NICA. Mereka kemudian membebaskan tawanan Belanda yang ditawan di Magelang dan Ambarawa secara sepihak. NICA kemudian mempersenjatai para tawanan tersebut. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 26 Oktober 1945. Pimpinan TKR di Ambarawa, Letkol Isdiman gugur dalam pertempuran tersebut. Kedudukannya diganti oleh Kolonel Sudirman.
Pertempuran antara Sekutu dengan TKR berhenti pada tanggal 2 November 1945 setelah Presiden Soekarno dan Jenderal Bathel mengadakan perundingan gencatan senjata. Namun ternyata setelah perundingan tersebut, Sekutu menambah kekuatan pasukan yang ada di Magelang. Pasukan Sekutu kemudian mulai menyerang perkampungan-perkampungan di Ambarawa.
Pada tanggal 11 Desember 1945, Kolonel Soedirman mempersiapkan penyerangan atas kota Ambarawa. Pertempuran di Ambarawa berakhir pada tanggal 15 Desember 1945. Peristiwa tersebut dikenal dengan nama Palagan Ambarawa.

Pertempuran Medan Area

Peristiwa Medan Area diawali dengan pendaratan tentara Sekutu di Medan di bawah pimpinan Brigjen T.E.D. Kelly pada tanggal 1945. Brigjen Kelly berusaha melemahkan gerakan rakyat Medan dengan menyampaikan ultimatum agar pemuda menyerahkan senjata pada Sekutu.
Pada tanggal 1 Desember 1945, Sekutu memperkuat kedudukannya dan memasang patok-patok di sudut kota. Pemasangan patok-patok tersebut disertai dengan pemasangan papan yang bertuliskan Fixed Boundaries Medan Area (Batas Resmi Wilayah Medan).
Para komandan satuan tempur TKR di Medan kemudian membentuk Komando Laskar Rakyat Medan Area. Puncak pertempuran Medan Area terjadi pada tanggal 10 Desember 1945.

Perundingan Linggajati

Karena perlawanan antara Indonesia-Belanda tak kunjung selesai, maka diadakan perundingan yang diprakarsai oleh Inggris. Pada tanggal 10-15 November 1946, diselenggarakan perundingan di Linggajati, dekat Cirebon yang dikenal dengan Perundingan Linggajati.
Delegasi Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Sutan Syahrir, sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh Profesor Schermerson.
Adapun isi dari perundingan Linggajati yaitu :
  1. Belanda mengakui kekuasaan de facto RI atas Sumatra, Jawa dan Madura.
  2. RI dan Belanda bekerja sama membentuk Negara Indonesia Serikat yang terdiri dari Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur dan Negara Kalimantan.
  3. NIS dan Belanda merupakan suatu uni yang dinamakan dengan Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.
Perjanjian Linggajati ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947 di Istana Rijswijk/Istana Merdeka.

Agresi Militer Belanda I

Pada tanggal 21 Juli 1947, Belanda melanggar isi perundingan Linggajati dengan melancarkan Agresi Militer Belanda I. Agresi tersebut mengundang kecaman dunia. India dan Australia mengajukan usul agar masalah Indonesia-Belanda dibahas dalam Dewan Keamanan PBB. Pada tanggal 1 Desember 1947, Dewan Keamanan PBB memerintahkan penghentian tembak-menembak.

Perundingan Renville

Dewan Keamanan PBB menawarkan suatu komisi yang dikenal dengan sebutan Komisi Tiga Negara (KTN) yang terdiri dari tiga negara, yaitu:
  1. Indonesia menunjuk Australia sebagai wakilnya yang kemudian menunjuk Richard Kirby.
  2. Belanda menunjuk Belgia sebagai wakilnya yang kemudian menunjuk Paul van Zeeland.
  3. Australia dan Belgia menunjuk Amerika Serikat sebagai penengah yang kemudian menunjuk Dr. Frank Graham.
KTN berhasil melaksanakan perundingan antara Belanda- Indonesia yang dilaksanakan di atas kapal induk AS, USS Renville.
Isi dari Perjanjian Renville adalah :
  1. Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta dan Sumatra sebagai bagian wilayah RI.
  2. Tentara RI ditarik mundur dari Jawa Barat dan Jawa Timur ke daerah RI di Yogyakarta.
Pada perundingan tersebut, delegasi Indonesia dipimpin oleh Mr. Amir Syarifudin, sedangkan Belanda diwakili oleh R. Abdul Kadir Widjojoatmojo.

Agresi Militer Belanda II

Pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda kembali melancarkan Agresi Militer Belanda II dengan menyerbu lapangan terbang Maguwo Yogyakarta. Ir. Soekarno kemudian diasingkan ke Prapat dan Drs. Moh. Hatta diasingkan ke Bangka.
Menteri Kemakmuran Mr. Syafruddin Prawiranegara membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang berkedudukan di Bukittinggi, Sumatra Barat.
Dalam keadaan darurat tersebut, pimpinan TNI menginstruksikan kepada semua komandan TNI melalui Surat Perintah Siasat No.1 Bulan November 1948. Isi surat tersebut yaitu :
  • memberikan kebebasan kepada setiap komandan untuk melakukan serangan terhadap posisi militer Belanda.
  • memerintahkan kepada setiap komandan untuk membentuk kantong-kantong pertahanan (wehrkreise).
  • memerintahkan agar semua kesatuan TNI yang berasal dari daerah pendudukan untuk segera meninggalkan Yogyakarta dan kembali ke daerah masing-masing.

Serangan Umum 1 Maret 1949

Pada tanggal 1 Maret 1949, TNI melakukan serangan umum atas kota Yogyakarta. Serangan tersebut merupakan salah satu pelaksanaan Surat Perintah Siasat No.1/1948. Serangan Umum 1 Maret 1949 dipimpin oleh Letkol Soeharto.
Dalam serangan ini, Yogyakarta berhasil direbut kembali dalam waktu 6 jam. Keberhasilan serangan umum tersebut tidak lepas dari dukungan Sultan Hamengkubuwono IX dan rakyat Yogyakarta. Serangan Umum 1 Maret 1949 mempunyai arti penting bagi bangsa Indonesia, yaitu :
  1. meningkatkan rasa percaya diri dan semangat juang rakyat serta TNI yang sedang bergerilya.
  2. meningkatkan kepercayaan masyarakat Indonesia kepada TNI.
  3. mendukung perjuangan diplomasi.
  4. mematahkan moral Belanda.
  5. menunjukkan pada dunia internasional bahwa TNI masih mampu melakukan serangan.