Thursday, November 20, 2008

Manusia Ular

Dahulu kala ada seorang bernama Sangi. Dia adalah seorang pemburu yang tangguh. Sangi pandai menyumpit buruan. Sumpitnya selalu mengenai sasaran. Setiap kali berburu ia selalu berhasil membawa pulang daging babi hutan dan daging rusa.

Sangi bertempat tinggal di daerah aliran Sungai Mahoroi, anak Sungai Kahayan. Pada suatu hari Sangi berburu. Dari pagi hingga petang ia tidak berhasil menemukan seekor binatang buruan pun. Keadaan ini membuatnya amat kesal. Karena hari telah mulai sore, ia pun pulanglah dengan tangan kosong.
Di dalam perjalanan pulang ia melihat bahwa air tepi sungai sangat keruh. Ini pertanda bahwa seekor babi hutan baru saja minum air disana. Dugaannya itu diperkuat lagi dengan adanya bekas jejak kaki babi hutan.

Dengan penuh harapan Sangi terus mengikuti jejak binatang itu. Benar saja… tidak berapa jauh dari sana, ia menemukan babi hutan yang dicarinya itu, tetapi dalam keadaan yang amat mengerikan. Sebagian dari tubuh babi hutan itu telah berada di dalam mulut seekor ular raksasa. Kelihatannya tidak mungkin ia akan hidup kembali. Pemandangan mengerikan ini sangat menakutkan Sangi. Ia tidak dapat lari sehingga tidak ada cara lain kecuali bersembunyi di dalam semak-semak.

Beberapa waktu telah berlalu. Ular raksasa itu tidak dapat juga menelan mangsanya. Dicoba dan dicobanya berkali-kali, namun selalu gagal. Akhirnya sang ular menghentikan usahanya. Dengan murkanya dipalingkanlah kepalanya ke arah tempat Sangi bersembunyi. Secara gaib… ia berganti rupa menjadi seorang pemuda yang tampan wajahnya. Ia menghampiri Sangi dan memegang lengannya.

Pemuda itu menggertak dan memerintahkan kepada Sangi, “Telan babi hutan itu bulat-bulat karena engkau telah mengintip sang ular raksasa yang sedang menelan babi hutan.”
“Saya… tapi saya… tidak bisa.”
“Ayo cepat lakukan…”

Dengan penuh rasa ketakutan Sangi melaksanakan perintah itu. Ajaib sekali, ternyata Sangi mampu melaksanakan perintah pemuda itu dengan mudah sekali, seolah-olah ia sendiri benar-benar seekor ular.
Pemuda asal ular itu berkata bahwa karena Sangi telah berani mengintainya, sejak saat itu pula Sangi berubah menjadi seekor ular jadi-jadian.

“Untuk sementara engkau tidak usah risau,” kata pemuda asal ular itu kepada Sangi. “Selama engkau dapat merahasiakan kejadian ini, engkau akan tetap dapat mempertahankan bentuk manusiamu.”

Pemuda asal ular itu lalu menghibur Sangi dengan mengatakan bahwa nasib yang menimpa Sangi sebenarnya tidaklah terlalu jelek. Sebab, sejak kejadian itu ia bukan lagi merupakan makhluk yang dapat mati sehingga ia dapat mempertahankan kemudaannya untuk selama-lamanya.

Demikianlah, Sangi terus berusaha agar rahasianya ini tidak diketahuij orang, termasuk anggota kerabatnya sendiri dan anak cucunya. Dengan cara ini ia berhasil mencapai umur 150 tahun. Akan tetapi, keadaan yang luar biasa ini menimbulkan rasa aneh pada keturunannya. Mereka ingin mengetahui rahasia kakeknya yang dapat berusia panjang dan tetap dapat mempertahankan kemudaannya.

Oleh karena itu sejak itu mereka pun mulai menghujani kakek mereka dengan berbagai pertanyaan. Akhirnya karena terus-menerus didesak, Sangi pun terpaksa membuka rahasianya, melanggar larangan berat itu. Sebagai akibatnya, sedikit demi sedikit tubuhnya berganti rupa menjadi seekor ular raksasa. Pergantian ini dimulai dari kakinya. Sadar akan keadaan ini, Sangi menyalahkan keturunannya sebagai penyebab nasib buruk yang sedang menimpanya.

Dalam keadaan geram ia pun mengutuki keturunannya, yang dalam waktu singkat akan mati seluruhnya dalam suatu pertikaian di antara sesamanya.

Sebelum Sangi menceburkan dirinya ke dalam Sungai Kahayan bagian hulu untuk menjadi penjaganya, ia masih sempat mengambil harta pusakanya yang disimpan di dalam satu guci Cina besar. Harta pusaka yang berupa kepingan-kepingan emas itu lalu disebarkannya ke dalam air sungai. Sambil melakukan ini ia pun mengucapkan kutukan yang berbunyi:
“Siapa saja yang berani mendulang emas di daerah aliran sungai ini, akan mati tak lama setelah itu, sehingga hasil emas dulangannya akan dipergunakan untuk mengupacarakan kematiannya.”

Penduduk setempat percaya kisah ini pernah terjadi. Kepercayaan mereka itu diperkuat karena di daerah mereka ada anak Sungai Kahayan yang bernama Sungai Sangi. Menurut beberapa orang yang sering berlayar dengan biduk atau perahu bermotor, mereka pernah melihat seekor ular raksasa. Kepalanya saja berukuran sebesar drum minyak tanah. Ular raksasa itu mereka lihat berangin-angin di atas bungkah-bungkah batu sungai pada bulan purnama di musim kering.
Selain itu sampai kini orang-orang disana tidak berani mendulang emas yang katanya sebesar biji labu kuning dan banyak terdapat disana.

Kita jangan terlalu ingin mengetahui rahasia orang, apalagi sampai mendesak agar ia membukanya. Hal tersebut dapat merugikan orang itu dan mungkin juga akan merugikan kita sendiri.

Monday, November 10, 2008

Nyi Ageng Serang - Api di Tengah Peperangan

Pada awal abad 18 terdapat pejuang wanita yang patut dibanggakan yaitu Nyi Ageng Serang. Beliau disebut juga Pahlawan Nasional. Nyi Ageng Serang mempunyai silsilah dari Sunan Kalijaga:
  1. Sunan Kalijaga menikah dengan putri Sunan Gunung Jati, berputra Sunan Hadikusuma.
  2. Sunan Hadikusuma berputra Panembahan Semarang.
  3. Panembahan Semarang berputra Panembahan Pinatih.
  4. Panembahan Pinatih berputra Panembahan Keniten.
  5. Panembahan Keniten berputra Panembahan Rangga.
  6. Panembahan Rangga berputra Panembahan Rangga Notoprojo, dan seterusnya sampai keturunannya ke-14 yaitu Raden Mas Suwardi Suryaningrat.
Kemudian Raden Mas Suwardi Suryaningrat berganti nama Ki Hajar Dewantara.
Sebagai seorang pangeran merdeka yang membawahi beberapa wilayah kabupaten yang dikepalai oleh bupati, sebenarnya Panembahan Notoprojo berhak memakai gelar raja sebagai Gusti Pangeran Adipati tetapi ia tidak suka menggunakan gelar tersebut. Ia adalah seorang yang berjiwa ulama dan kerakyatan. Dari perkawinan dengan putri bangsawan Mataram, Panembahan Notoprojo dikaruniai 2 (dua) anak laki-laki dan perempuan, yaitu Nyi Ageng Serang yang masa kecilnya bernama Raden Ajeng Kustiah dan kakaknya Pangeran Notoprojo Muda. Bagaimana juga, ia adalah seorang muslimat yang terdidik dalam soal-soal falsafah agama dan ilmu kerohanian. Inti ajarannya yang berdasarkan falsafah agama Islam, ialah Cinta-Kasih.

Sesudah kerajaan Majapahit runtuh, kerajaan Mataram timbul menjadi kerajaan Islam sejati. Di bawah pemerintahan Sultan Agung Hanyakra Kusumo yang bertakhta dari tahun 1613 hingga 1645. Berbeda dengan ayahnya, sikan Sunan Amangkurat I terhadap kompeni Belanda sangat lunak. Sebagai imbalannya, Sunan memberikan hadiah yang sangat berharga kepada kompeni Belanda. Seluruh bumi Kerawang, bagian barat bumi Priangan dan kota Bandar Semarang, diserahkan olehnya. Pada tahun 1741, berkobar lagi peperangan dahsyat yang disebut “Geger Pacina” atau “Geger Cina”.
Pemberontakan yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi, cucu Sunan Amangkurat III, mendapat dukungan dan bantuan dari orang-orang Cina disebut “Geger Cina”. Sesuai dengan bunyi fatsal-fatsal yang tercantum dalam “Perjanjian Ponorogo”, Sunan Paku Buwono menghadiahkan seluruh wilayah pantai utara Pulau Jawa kepada Belanda. Ini berarti bahwa Mataram telah kehilangan pintu-pintu perdagangan dengan luar negeri. Kejadian itu mengecewakan adik Sunan Paku Buwono sendiri yang bernama Pangeran Mangkubumi.

Pangeran Mangkubumi dengan diiringi keluarga dan pengikut-pengikutnya meninggalkan Surakarta, menuju ke desa Sokawati. Dari silsilah Pangeran Mangkubumi mulai mengadakan pemberontakan. Pangeran Mangkubumi bertujuan mulia. Ia bercita-cita menghalau penjajah Belanda dari bumi Mataram, dan membebaskan Sri Sunan dari cengkeraman penjajah. Pemberontakan Pangeran Mangkubumi yang dibantu oleh Panembahan Notoprojo dapat bertahan lama dan menyebar ke seluruh wilayah Mataram. Panembahan Notoprojo sangat kecewa karena di saat itu pasukannya telah berhasil membinasakan beratus-ratus pasukan Belanda di Srondol dan Meranggen. Kerajaan Mataram dipecah menjadi dua kerajaan. Sebahagian dinamakan Surakarta dan sebahagian lagi dinamakan Yogyakarta. Kerajaan Surakarta diperintahkan oleh Sunan Paku Buwono, sedangkan kerajaan Yogyakarta diperintahkan oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamangku Buwono I.

Selama Raden Ajeng berada di keraton Sultan di Yogyakarta, pada waktu itu para sarjana sejarah keraton sedang sibuk menyusun buku sejarah “ Babad Giyanti” yang mengisahkan perjuangan Pangeran Mangkubumi ketika mendirikan Kasultanan Yogyakarta. Di antara sekian banyak buku yang terdapat di dalam perpustakaan itu ada beberapa buah buku yang sangat digemari Raden Ajeng Kustiah, antara lain buku “Sastra Gending” dan “Surya Alam” karangan Sultan Agung Hanyakra Kusumo, dan “Kitab Topah”, terjemahan dari bahasa Arab.

Dijelaskan bahwa buku “Sastra Gending” itu berisi ajaran falsafah dan pandangan hidup Sultan Hanyakra Kusumo tentang seni, sastra, pendidikan dan kebudayaan sesuai dengan ajaran-ajaran Al-Qur’an. Sedang buku “Surya Alam” adalah kitab undang-undang hukum pidana yang disusun oleh Sultan Agung pula berdasarkan ajaran-ajaran Islam. Dan “Kitab Tobah” adalah terjemahan karangan sarjana Arab yang bernama Seikh Ibn Hajr. Raden Ajeng Kustiah telah berhasil merubah wajah istana keputrian. Ia berhasil memberantas keinginan hidup bermewah-mewah, memberantas kemalasan dan kemanjaan yang menjurus kepada keborosan hidup. Penampilan Raden Ajeng Kustiah di antara para puteri keraton benar-benar mempesona hati Raden Mas Sundoro Karna. Rasa cinta yang mendalam, dan keinginan agar cinta kasihnya abadi, maka tatkala puteri Serang itu menyatakan keinginannya hendak pulang ke Serang, memenuhi panggilan orang tuanya, Raden Mas Sundoro meluluskannya, meskipun hatinya tak memperkenankannya.

Sesudah Dyah Ayu Pulangyun dan anak-anaknya melarikan diri dari Yogyakarta, terjadilah perubahan-perubahan besar di keraton Yogyakarta. Segala perubahan itu terjadi atas persetujuan dan dukungan Gubernur Jenderal Raffles.

Tindakannya untuk mengakui kedaulatan Sultan Hamengku Buwono II rupanya hanya siasat belaka guna memberikan kesan baik kepada Sri Sultan. Raffles telah memaksakan Sultan Hamengku Buwono II untuk melepaskan beberapa wilayah.

Menghadapi sikap keras Sultan, segera Raffles mengirim tentara ekspedisinya ke Yogyakarta untuk menggempur keraton. Segera sesudah berita musibah itu sampai ke Serang, Nyi Ageng Serang segera bertolak ke Yogyakarta untuk melihat keadaan puteri dan cucunya yang bernama Raden Mas Notoprojo yang sudah cukup dewasa. Oleh Nyi Ageng Serang, Gusti Mangkudiningrat dan Raden Mas Notoprojo dibawa pulang ke Serang. Sementara itu di Yogyakarta berlangsung penobatan raja baru. Pangeran Mangkubumi III untuk kedua kalinya naik takhta kerajaan, dengan gelar Sultan Hamengku Buwono III. Sultan ketiga ini adalah ayah Pangeran Diponegoro.

Judul buku : Nyi Ageng Serang Api di Tengah Peperangan
Pengarang : Bambang Sokawati Dewantara
Penerbit : Roda Pengetahuan
Tahun terbit : 1981
Jumlah halaman : -