Sunday, October 19, 2008

Ki Ageng Mangir

Dahulu di desa Mangiran, yang pada waktu itu disebut Kademangan Mangiran, ada seorang tokoh yang dikenal dengan nama Ki Ageng Wonoboyo. Tak jauh dari wilayah itu ada raja besar yang bernama Panembahan Senopati yang berkuasa di Kotagede Mataram.

Panembahan Senopati sudah melebarkan wilayah kekuasaannya ke daerah Jawa Timur dan sebagian Jawa Barat. Namun sebuah Kademangan yang tak jauh dari wilayahnya terang-terangan menyatakan menolak kebesaran Senopati selaku Raja Mataram.

Ki Ageng Mangir Wonoboyo menolak menyembah Panembahan Senopati sebab desa Mangiran, yang sekarang dikenal dengan Kabupaten Bantul itu, pada waktu itu adalah wilayah perdikan, yang artinya tanah merdeka. Karena itu, layaklah jika Ki Ageng Mangir Wonoboyo menolak memberikan upeti kepada Senopati.

Dikisahkan selanjutnya Ki Ageng Mangir Wonoboyo memiliki sebilah pisau, sederhana bentuknya, tidak terlalu besar ukurannya, mirip sebilah pisau dapur. Namun sesungguhnya, di dalam pisau itu terkandung kekuatan yang luar biasa. Oleh karena itu, tatkala seorang warga desa, Sarinem, masih perawan, cantik dan elok parasnya datang bertandang ke kademangan untuk meminjam pisau itu, Ki Wonoboyo tidak segera memberikannya. Setelah Sarinem menjelaskan bahwa ia memerlukan pisau itu untuk menyiapkan upacara bersih desa, permintaan itu diluluskannya dengan catatan agar berhati-hati. Pisau itu tidak boleh diletakkan di pangkuan seorang perawan, lebih-lebih yang begitu menarik bentuk tubuhnya. Sarinem bersedia memenuhi syarat itu, dan segera meninggalkan kademangan setelah mendapatkan pisau yang diperlukannya.

Seperti biasanya pada saat upacara bersih desa, semua penduduk desa datang berkumpul memasak makanan dan menyiapkan pembungkus makanan itu, baik dari daun pisang maupun daun pohon jati.
Saat sibuk menyiapkan masakan, tanpa sengaja, pisau sakti diletakkan di pangkuan Sarinem seketika lenyap. Ternyata, secara aneh pisau itu masuk ke dalam perutnya.

Mengetahui bahwa pisau sakti milik Ki Ageng Mangir Wonoboyo lenyap, Sarinem sangat ketakutakn. Yang dibayangkan tak lain, Ki Wonoboyo pasti akan marah sekali. Perlahan-lahan, wajah Sarinem berubah menjadi semakin pucat dan akhirnya pingsan.

Para perawan yang duduk di dekatnya segera menolongnya, demikian pula orang-orang yang sedang bekerja menyiapkan upacara itu. Tatkala Ki Tali Wangsa, ayah Sarinem, mengetahui peristiwa itu, segera melapor kepada Ki Ageng Mangir Wonoboyo. Aneh sekali, mendengar laporan itu, Ki Wonoboyo malahan tersenyum. Kepada Ki Tali Wangsa, Ki Ageng mengatakan agar ia, sebagai ayah, tidak usah cemas. Ia berjanji akan segera mengatasi persoalan itu. Bagaimana caranya? Dikatakan dengan tenang oleh Ki Ageng bahwa saat sekarang Sarinem mengandung. Untuk membersihkan aib karena perawan mengandung tanpa suami, Ki Ageng akan mengambilnya sebagai istri. Dengan demikian, upacara bersih desa itu sekaligus juga upacara pernikahan Ki Ageng dengan Sarinem.

Beberapa hari setalah upacara itu usai, Ki Ageng mengatakan kepada Sarinem bahwa ia telah memutuskan untuk bertapa. Ki Jagabaya, yang bertanggung jawab terhadap keamanan kademangan, diangkat sebagai penggantinya sementara. Ki Tali Wangsa, Ki Jaran Tirta, dan beberapa yang lain diminta tinggal di kademangan selama Ki Ageng bertapa.

Sembilan bulan berselang semenjak peristiwa aneh itu, tibalah saat Sarinem melahirkan. Pada saat di langit bulan bulat, di tengah keheningan malam, tiba-tiba terdengarlah suara gemuruh. Bayi yang dikandung Sarinem lahir. Ia bukan bayi dengan wujud manusia, tetapi seekor naga. Seluruh desa terhenyak. Para penduduk was-was. Ki Tali Wangsa merasa terpukul. Namun, Sarinem tenang-tenang saja. Dengan mesra diciumi naga itu seperti layaknya seorang ibu membelai anaknya tersayang. Demikianlah, beberapa jam kemudian naga itu mulai merengek meminta makan. Seekor ayam dilahapnya, kemudian beberapa ekor ikan dan juga telur ayam, serta itik tanpa direbus langsung dilahap semua.

Pada suatu malam Sarinem tampak bersedih. Tatkala naga itu menanyakan apa gerangan ibunya bersedih. Dijawabnya bahwa ia sudah sangat rindu kepada Ki Wonoboyo, ayah si naga. Sarinem lalu bercerita panjang lebar, siapa sesungguhnya ayah naga itu. Begitu Sarinem selesai bercerita, si naga mengajukan usul bagaimana kalau ia mencari dimana ayahnya bertapa. Sebagai anak, ia ingin menghaturkan sembah dan bakti kepada ayahnya.

Pada mulanya Sarinem tidak setuju. Setelah sang naga terus merengek, akhirnya permohonan diluluskan. Hanya saja, naga harus mendapatkan nama sebelum pergi, dan senantiasa berhati-hati dalam perjalanan. Malam itu, si naga memperoleh nama, yaitu Baru Kelinting. Dan malam itu juga, karena didorong keinginan segera bertemu ayahnya, Baru Kelinting berangkat meninggalkan Kademangan Mangiran menuju Kali Progo.

Begitu tiba di pinggir kali, Baru Kelinting segera menceburkan diri ke dalam sungai. Seketika itu juga, ia berubah menjadi naga raksasa, matanya bagaikan sepasang matahari, dengan tubuh bersisik emas, taringnya sangat tajam dan sepasang tanduknya luar biasa runcing.

Baru Kelinting yang telah berubah itu mengeluarkan suara yang mengerikan. Penduduk bertanya-tanya, suara apa gerangan ini sehingga mampu mengguncangkan pepohonan dan membuat atap rumah dan rumbai berderak-derak, bahkan ada beberapa yang roboh berantakan. Dalam waktu singkat, Baru Kelinting yang mudah lapar itu telah menelan dua orang tukang perahu, yang biasa menjual jasa kepada mereka yang ingin menyeberang Kali Progo ke Mataram untuk berdagang. Pada waktu itu, Kerajaan Mataram mulai tumbuh menjadi kota perdagangan. Oleh karena itu, pelayanan perahu di Kali Progo sangat ramai. Ini artinya, Baru Kelinting dengan gampang memperoleh mangsanya.

Cerita tentang Baru Kelinting mulai tersebar luas. Kecemasan menghantui seluruh penduduk. Ki Ageng Mangir Wonoboyo pun mendengar bisik-bisik itu. Dalam hati ia sudah menduga bahwa Baru Kelinting itu pastilah bayi yang dikandung Sarinem. Jika benar, Baru Kelinting adalah perubahan bentuk pisau dapur yang semula sederhana bentuknya, yang merasuk ke dalam perut perawan desa yang elok parasnya itu. Karena orang sudah tau bahwa Sarinem adalah istri Ki Wonoboyo, orang pun akan mengatakan bahwa Baru Kelinting adalah putra Wonoboyo.

Sekarang Baru Kelinting membuat ulah, tidak hanya mengacau tetapi membunuh dan memakan manusia. Terbayang di benak Wonoboyo, jika ia tidak segera bertindak, pasukan Mataram dan Pajang akan datang menggempur anaknya sendiri. Wonoboyo sendiri akan ditangkap dan diadili di depan orang banyak sebagai gembong perusuh, membuat rakyat sengsara.
Pada suatu malam, ia keluar dari gua pertapaannya di lereng Gunung Merapi, berjalan ke arah selatan mengikuti aliran Kali Progo, hingga akhirnya setelah tujuh hari tujuh malam perjalanan, mereka dipertemukan. Baru Kelinting kaget menghadapi manusia satu ini, karena ketenangannya. Penampilannya biasa, tutur katanya sederhana, tetapi memiliki daya tarik yang aneh. Oleh karena itu, betapapun laparnya Baru Kelinting berusaha menahan dirinya. Sorot mata Ki Wonoboyo membuat Baru Kelinting menunduk. Lalu angin malam semilir memberi tahu si naga raksasa bahwa orang di depan itu adalah ayahnya.

Baru Kelinting pun bersujud. Ia berharap diakui sebagai anak Ki Ageng. Akan tetapi Ki Ageng Mangir berkata dengan suara angker. “Aku tidak bisa menerima sembah sujudmu. Sebab selama ini kau telah menimbulkan malapetaka. Kehadiranmu di dunia gagal sebagai putra seorang yang bercita-cita menegakkan perdamaian dan serta ketentraman di bumi ini. Oleh karena itu, jika kau memang ingin menunjukkan bakti kepadaku selaku ayahmu, kau harus menebus dosa terlebih dahulu. Kau harus melingkari perut Gunung Merapi. Jika panjang tubuhmu mampu mengelilingi perut gunung itu, barulah sujudmu kuterima kau kuakui sebagai anakku.”

Naga itu menyatakan kesanggupannya. Baru Kelinting melingkari Gunung Merapi. Namun, perut gunung itu memang besar sehingga Baru Kelinting harus merentangkan tubuhnya agar ujung moncongnya dapat menyentuh ekornya. Inilah tuntutannya. Ketika tinggal satu meter usaha itu hampir tercapai, Baru Kelinting mulai putus asa. Jika ia memaksakan rentangannya, tubuhnya akan putus. Tanpa meminta izin lebih dahulu, lidah Baru Kelinting menjulur keluar. Tepat saat itu, Ki Ageng Mangir Wonoboyo menghantamkan tangannya yang sakti. Baru Kelinting menjerit. Lidahnya putus dan berubah menjadi ujung tombak. Kepala, tubuh, dan ekor si naga berubah menjadi sebatang kayu, sejenis kayu pohon baru. Ki Wonoboyo segera memungut ujung tombak itu dan kayu yang tergeletak segera dipasangkannya. Malam itu, Ki Ageng Mangir Wonoboyo memperoleh senjata ampuh dengan nama Tombak Baru Kelinting. Konon, tombak itu hampir sama saktinya dengan Kyai Plered, yang disimpan di Mataram.

Dalam perjalanan pulang ke Kademangan, Ki Ageng mendengar suara bisikan gaib, “Aku akan setia mengabdi kepadamu.”
Suara itu tak lain adalah suara si Naga Baru Kelinting yang kini menemukan bentuk pengabdiannya yang cocok, sebaga penjaga keselamatan Ki Ageng Mangir.

Tombak itu dibawa pulang, terbukti kemudian, walau Panembahan Senopati mempunyai tombak Kyai Plered yang ampuh namun ia tak mampu menaklukkan daerah Mangir yang dianggap mbalela. Barulah setelah menggunakan akal licik, yaitu dengan mengirim putrinya (Raden Ayu Pambayun) yang cantik sebagai umpan, maka Ki Ageng Mangir dapat diajak ke Kota Gede dan disana Ki Ageng dijebak di atas watu gilang hingga menemui ajalnya.


Cerita Rakyat Yogyakarta