Friday, October 22, 2010

Cinta di Ambang Batas Kehidupan

Rani Indriani itu-lah nama gadis jelita yang usianya sekitar 18 tahun, tamatan dari bangku SMK jurusan busana. Baru dua bulan lulus dia sudah mendapat pekerjaan di sebuah modiste terkenal di Yogyakarta. Hal ini membuat dia senang, karena apa yang dia harapkan selama ini akhirnya terwujud juga. Dia bisa bekerja lebih cepat, tidak seperti teman-teman dia yang lain yang harus menunggu lama untuk bekerja. Rani sangat bersyukur ketika dia langsung diminta untuk bekerja.

Kecantikan, kelembutan dan keramahan dalam bertutur kata membuat siapapun yang bertemu dengannya merasa senang. Sejak di bangku sekolah, Rani terkenal sebagai siswa yang disiplin, rajin, pintar dan mudah bergaul, hingga tak dapat dipungkiri bila kini dia telah mendapat pekerjaan lebih cepat dibanding dengan teman yang lain.

Siang itu, Rani tampak sibuk memilih ukuran sepatu yang cocok di kakinya. Wajahnya yang cantik dan berwarna kuning langsat itu tetap memancarkan keindahan, apalagi Rani memiliki lesung pipi yang indah sehingga akan menambah kecantikannya. Ia mengenakan celana jeans berwarna biru tua, kaos putih dan mengenakan jaket. Ia tampak asyik memilih-milih dengan sesekali minta pendapat penjaga stand disana.

Sepertinya, kesibukan Rani dan raut wajah Rani yang cantik telah mengambil perhatian seorang lelaki di stand lain. Sudah sejak tadi sosok lelaki itu mengamatinya dari kejauhan. Hingga tak sadar sebuah senyuman mengembang di sudut bibirnya. Lelaki itu bernama Ferdy Hernawan.
Tap! Tap! Tap! Terdengar suara langkah kaki mendekati Rani. Rani menoleh, ternyata yang mendatangi dia adalah sesosok lelaki tampan, berjaket coklat dan menggendong tas di punggungnya. Darah Rani seakan berdesir cepat ketika lelaki itu memberikan senyuman indah. Seakan-akan hatinya luluh ketika melihat pemandangan indah di depannya.

Lama Rani tersadar dari lamunannya ketika ada suara menyapanya. Suara itu tak lain adalah suara Ferdy yang memanggilnya.
“Hai… boleh kenalan? Aku Ferdy. Kelihatannya kamu sibuk memilih-milih sepatu, ya?” tegur lelaki itu seraya mengulurkan tangannya.
“Hai, aku Rani. Ah, tidak!” sambil Rani sambil mengulurkan tangan.
Rani mencoba menyembunyikan rasa malu dan degup jantungnya semakin lama semakin keras. Rani kemudian melangkah pergi dari tempat itu. Namun, tiba-tiba Ferdy memegang tangannya. Rani tersentak kaget, lalu menoleh.
“Ada apa?” tanya Rani.
“Bolehkah aku tahu dimana kamu tinggal?” tanya Ferdy.
“Jalan Dahlia No. 47,” jawab Rani singkat.
“Setelah ini kamu hendak kemana?” tanya Ferdy lagi.
“Mau pulang,” tegas Rani.
“Bolehkah aku mengantarmu?” pinta Ferdy.
Rani menggeleng. Ia menarik nafas panjang. Langkahnya tetap. Tak berubah sedikitpun. Ia merasakan hatinya mulai bergetar hebat. Sementara lelaki tampan yang penuh perhatian kepadanya itu, terus mensejajari langkahnya.
“Kenapa saya tidak boleh mengantarmu?”
“Pokoknya tak boleh. Kita kan baru saja kenal,” jawab Rani sedikit kesal karena ulah lelaki itu.
Kelihatannya Ferdy tidak menyerah begitu saja. Dia terus membuntuti langkah Rani. Rani merasa risih karena selalu diikuti kemanapun ia melangkah. Hingga akhirnya, ketika Rani berada di halte bus dan sedang menunggun bus menuju rumahnya, Ferdy masih tetap berada di sampingnya. Ferdy tersenyum lembut. Tatapannya luruh, menatap gadis muda itu. Ia mengeluh dalam hati. Ia tak mampu menentang tatapan bola mata yang tajam tetapi menyimpan sejuta kelembutan itu.
Sepertinya Ferdy telah jatuh hati kepada Rani. Hingga dia bertekad untuk tidak akan melepasnya. Dalam hatinya berkata mungkin inilah dambaan hati yang selama ini dia cari.

Sebuah bus kota lewat dan berhenti di depan mereka. Ferdy tersadar dari lamunannya. Ketika Rani hendak melangkah masuk ke dalam bus kota, Ferdy mencegahnya dan sekali lagi dia meminta untuk bertemu lagi lain waktu. Rani sangat kesal dengan sikap Ferdy yang memaksa itu. Tapi, tak dapat dipungkiri dalam hati Rani sebenarnya juga dia masih ingin bertemu dengan Ferdy lagi. Ferdy meminta agar lusa dia dan Rani dapat bertemu di Taman Kota. Rani menggeleng tak bisa menemuinya lusa, karena dia harus menemui sahabat lamanya di luar kota.

Ferdy memutuskan untuk menemani Rani pergi lusa. Ferdy sangat berterima kasih karena Rani mau dia temani. Gadis itu tersenyum. Ferdy terperangah. Sebab senyum itu adalah senyuman paling sempurna yang diberikan Rani untuk Ferdy. Ia hampir saja menarik lengan Rani dan memeluknya kalau ia tak ingat bahwa dia berada di pinggir jalan. Ferdy menarik nafas panjang.

Rani melangkah masuk dalam bus kota meninggalkan Ferdy sendiri terpaku. Ferdy melambaikan tangan dan mengembangkan senyuman untuk Rani. Samar terlihat balasan senyuman dari Rani. Senyum yang menyimpan keindahan teramat sangat, senyum yang sudah membuat Ferdy jatuh hati kepadanya.
Perlahan-lahan Ferdy melangkah pergi dari tempat itu dan memutuskan untuk pulang. Tak sabar rasanya dia untuk segera sore berganti esok.

* * *

Taman Kota tampaknya dipadati oleh pengunjung malam ini. Riuh rendah suara orang-orang dan kendaraan yang berlalu lalang disana. Tampak Rani sedang berjalan seorang diri sambil menenteng sebuah bungkusan. Udara pada malam itu sangat sejuk. Angin bertiup lirih. Menyentuh anak rambut Rani yang tergerai. Rani duduk di pinggir jalan. Matanya menerawang jauh membawa angan-angan Rani terbang tinggi. Teringat kembali peristiwa yang dia alami hari ini.
Kiranya pertemuan mereka telah menorehkan sepercik harapan kasih dalam hatinya. Ferdy telah membuka hati Rani yang selama ini ditutup oleh lelaki manapun. Bagi Rani, ia justru semakin penasaran dengan sikap Ferdy yang perhatian kepadanya. Ia semakin ingin mengenal lelaki itu.

Malam telah larut dan sepertinya Rani telah puas jalan-jalan dengan membelikan oleh-oleh untuk sahabatnya esok pagi. Perlahan langkahnya menyusuri jalan-jalan, gorong-gorong. Udara malam semakin menusuk tulang, Rani merapatkan mantel jaketnya.

Rumah di seberang jalan telah terlihat, Rani bergegas masuk ke dalam. Segala persiapan untuk pergi ke rumah sahabatnya di Semarang dia siapkan. Setelah dia pikir cukup, dia beranjak tidur. Bayangan Ferdy seakan terus menggantung di pelupuk mata. Terus menggoda dan membuatnya makin merasa resah. Rindukah ia?
Sulit baginya untuk menghapus bayangan Ferdy dari pikirannya. Hal ini juga terjadi pada diri Ferdy. Lama dia mencoba menutup mata, tapi sepertinya rasa gundah dan gelisah menghantuinya. Ferdy beringsut dari tidurnya dan menuju ke jendela. Ditatapnya langit malam ini, sungguh indah malam ini bila dia berada di samping Rani. Angannya mengembara jauh dan mengharapkan malam yang panjang ini segera usai.

* * *

Udara cerah dan angin berhembus semilir. Mentari telah menampakkan sinarnya yang lembut. Sisa tetesan air hujan berkilauan terkena sinar matahari. Burung-burung ikut gembira menyapa pagi yang cerah ini.

Di tengah suasana seperti itu terdengar suara ribut-ribut dari dalam rumah Rani. Ternyata Ibu Rani yang tengah sibuk membantu persiapan Rani.
“Sudah kau masukkan semuanya, Rani?” tanya Ibunya dengan logat Bataknya yang masih melekat. Walaupun sudah lama tinggal di Jogja Ibu Rani belum bisa beradaptasi.
“Sudah, Ibu,” sahut Rani seraya menghampiri Ibunya.
“Jangan sampai kau lupa masukkan makanan kesukaan Ida. Nanti dia bisa kecewa,” ucap Ibunya.
“Iya, Bu…” ucap Rani menenangkan hati Ibunya.
Memang dulu waktu SMP Ida sudah dianggap seperti saudara Rani sendiri. Maklum dulu Ida di Jogja anak baru, jadi dia sering main ke rumah Rani dan tak jarang membantu Ibunya Rani bila hari libur.

Jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan. Tampak Rani masih berdiri di depan cermin rias kamarnya. Kebiasaan ini berawal dari semenjka bertemu dengan Ferdy silam. Setelah puas berdandan dia mengemasi barang-barangnya, lalu keluar dari kamarnya.

Mentari sudah meninggi dan panasnya sudah terasa. Rani melangkah keluar rumah diiringi kedua orangtuanya. Rani memberi salam kepada kedua orangtuanya lalu beranjak pergi. Rani melambaikan tangan disertai sebuah senyum tipis. Perlahan-lahan bayangan Rani hilang di tikungan jalan.

* * *

Sudah lama Rani sampai di terminal, kira-kira sudah setengah jam yang lalu. Tersirat kegelisahan terpancar dari wajah Rani. Dia telah menunggu Ferdy cukup lama.
Di tangannya dia memegang sebuah buku novel kesukaannya. Untung dia membawa buku itu, sehingga kejenuhan itu bisa hilang. Satu menit. Dua menit. Menit demi menit sudah berlalu tapi Ferdy tak jua kunjung datang.

Setelah sekian lama menunggu. Akhirnya, Ferdy datang dengan nafas terengah-engah. Dia datang dengan memberikan sebuah senyuman tak berdosa. Rani hanya membalas senyumnya itu dengan senyum simpul. Masih ada rasa jengkel di hatinya. Dia beranjak pergi menuju bus yang akan ditumpanginya. Ia tak menghiraukan ucapan dan permohonan maaf Ferdy.

“Rani…,” panggil Ferdy.
Tapi tak ada sahutan yang keluar dari mulut Rani. Ia memang sengaja mengacuhkan Ferdy. Dia masih jengkel.
“Rani… maafin aku. Maaf aku telah terlambat datang, aku tak bermaksud untuk membuatmu menungguku lama,” ucap Ferdy seraya menggenggam tangan Rani. Wajah Rani tetap berpaling dan seakan-akan tak mendengar ucapan Ferdy. Ferdy tahu bagaimana perasaan Rani saat ini. Oleh karena itu, Ferdy terus mencoba untuk meminta maaf pada Rani.

Entah karena rayuan Ferdy atau karena keramahan Rani. Akhirnya Rani memaafkan Ferdy. Rani tak tahan bila ia menatap sepasang bola mata indah itu. Seakan-akan dia terhanyut oleh pancaran mata itu. Tak sadar kedua pipi Rani merah merona karena malu. Dia menyembunyikan wajahnya agar tak terlihat oleh Ferdy. Namun bagaimana juga Ferdy tetap tahu.

Siang di musim kemarau itu terasa terik. Seakan-akan mentari ingin memanggang bumi dan segala isinya. Bus melaju dengan cepat. Suara-suara nyanyian dari pengamen mengalun indah, seolah-olah ingin membuat suasana siang itu menjadi sejuk.

Rani sepertinya sudah terhanyut dalam lantunan lagu-lagu. Hingga tanpa disadarinya dia telah tertidur di bahu Ferdy. Ferdy membiarkan bahunya untuk menjadi sandaran. Dia memandangi wajah Rani. Sempurna! Itulah kata yang terucap dalam hatinya. Dengan hati-hati dia merapatkan badan Rani ke badannya. Hingga letak tidur Rani dapat nyaman. Ferdy lalu dengan lembut membelai rambutnya. Ferdy tak menyangka akan bisa sedekat ini dengan Rani. Gadis yang senantiasa mampu membuat hatinya berdebar bila bertemu.

* * *

Sepanjang perjalanan Rani tertidur pulas. Tak jarang bus yang mereka tumpangi oleng. Beberapa tikungan tajam yang dilalui membuat tubuh Rani oleng ke kanan dan ke kiri. Apalagi jalan yang mereka lalui amat terjal dan tak jarang kiri-kanannya hanya terdapat tebing dan jurang.
Setelah beberapa jam lamanya akhirnya mereka sampai tujuannya. Ferdy membangunkan Rani dengan sangat hati-hati.

“Rani… ayo bangun. Kita sudah sampai Semarang,” ucap Ferdy ketika membangunkan Rani. Rani sedikit menggeliat ketika dibangunkan oleh Ferdy. Rani membenahi letak pakaiannya. Setelah dirasa rapi, mereka turun dari bus.

Banyak penjual makanan menawarkan dagangannya. Namun sepertinya mereka tak tertarik. Mereka langsung menuju angkuta pedesaan yang akan membawa mereka menuju ke desa tempat tinggalnya Ida. Jalan menikung, jembatan-jembatan, sungai-sungai kecil mereka lalui. Udara di sekitar yang sejuk telah membuat hati mereka terbuai oleh suasana.

Jarak dua puluh lima kilometer sudah mereka tempuh untuk menuju ke tempat Ida. Hanya tinggal beberapa jam lagi mereka akan sampai di desa tempat tinggal Ida. Setelah kondektur bus meneriakkan nama desa tempat tinggal Ida, mereka turun. Untuk menuju ke rumah Ida, mereka harus menempuh jarak seratus meter. Selain itu jarak itu harus ditempuh menggunakan sampan agar mereka dapat menyeberangi sungai yang menghubungkan desa tempat tinggal Ida.
Akhirnya, mereka berdua tiba juga di seberang. Mereka menyusuri jalan menuju rumah Ida. Namun, Rani terlihat lelah dan memutuskan untuk istirahat sejenak.

“Ferdy, kita istirahat dulu ya… Aku capek, perutku juga lapar,” pinta Rani pada Ferdy.
“Baiklah, kalau begitu kita cari warung buat makan dulu, yuk…” ajak Ferdy pada Rani.
Sengaja Rani memilih warung makan di pinggir jalan dekat sampan-sampan itu berlabuh. Di warung itu dulu Rani dan Ida sering mengisi perutnya ketika mereka selesai bepergian. Di warung itu pula, Rani dulu jatuh hati pada lelaki tampan yang ada di desa itu. Namun semua kenangan indah hanyalah tinggal kenangan belaka. Lelaki tampan itu sudah membuat hati Rani hancur. Karena kejadian itulah, Rani memutuskan untuk menutup hatinya bagi lelaki manapun. Hingga akhirnya dia bertemu dengan Ferdy. Ferdy telah berhasil membuat pintu hati Rani terbuka untuk lelaki. Namun apakah Rani menyadari akan hal itu? Ia sendiri bingung akan perasaannya pada Ferdy. Cintakah ia? Ataukah hanya rasa kagum belaka? Hanya Ranilah yang dapat merasakannya.

Warung makan yang terbuat dari anyaman bambu berupa bilik yang terpelitur licin itu sudah ada di depan mata. Hanya tinggal menyeberang jalan raya maka mereka sampai di warung makan itu. Rani sengaja memilih tempat duduk dekat jendela. Dengan begitu dia akan leluasa melihat lalu lalang sampan yang sibuk menaik-turunkan penumpang yang akan menyeberang.

Rani benar-benar capek, lelah dengan perjalanan ini. Tapi, sepertinya rasa lelah dan letih itu tak begitu ia rasakan. Suasana di desa itu telah membuat hati dan pikirannya sejuk. Apalagi ditemani oleh lelaki tampan seperti Ferdy. Selama perjalanan Ferdy-lah yang selalu menghibur Rani. Ferdy merasa sudah sangat dekat dengan Rani. Berbagai cerita lucu dia lontarkan dari mulutnya. Dia berusaha agar Rani tak merasa jenuh selama perjalanan.

Seperti sekarang ini, Rani tak menyadari kalau dia bisa tertawa lepas. Cukup lama Rani tak bersenda gurau dengan disertai dengan gelak tawa seperti apa yang terjadi saat ini. Entah kenapa Rani merasa aman dan tenang bila di dekat Ferdy.

Sesaat Rani melamun. Matanya menerawang jauh ke depan. Teringat masa lalu yang teramat pedih di hati. Sampai-sampai lelucon Ferdy tak ia hiraukan.
“Kamu melamun, Ran. Kamu capek ya?” tanya Ferdy.
Rani hanya menggeleng dan tersenyum simpul.
“Kamu ada masalah? Ayolah cerita saja sama aku. Aku kan temanmu. Jadi kalau ada masalah bagi saja denganku,” pinta Ferdy dengan sangat perhatian.
“Aku hanya teringat peristiwa masa lalu di tempat ini,” jawab Rani dengan raut wajahnya yang berubah mendung. Rani menundukkan kepalanya. Ia berusaha menyembunyikan kesedihan yang tergambar di wajahnya dari Ferdy.

Sepertinya Ferdy mengetahui kesedihan yang teramat dalam di hati Rani. Tiba-tiba saja tangan Ferdy sudah meraih tangan Rani. Dibawanya ke dada. Ferdy mencoba menabahkan hati Rani. Kepala Rani ia sandarkan di bahunya. Ferdy yang dengan lembut membelai rambutnya mencoba memberikan ketenangan.
Rani berusaha menceritakan peristiwa yang membuat luka teramat dalam di hati Rani. Panjang lebar dia menceritakan. Sesekali tersirat mendung di wajahnya. Namun, setelah dia puas mencurahkan isi hatinya pada Ferdy dia merasa lega.

Setelah mereka rasa cukup. Mereka melanjutkan perjalanan. Hanya tinggal beberapa langkah lagi mereka akan sampai tujuan. Rumah kecil berwarna coklat, berhalaman luas bersih dan terawat, sudah terlihat. Mereka bergegas memasuki halaman rumah.
Terdengar gelak tawa riuh-rendah dari dalam rumah. Hal itu menandakan ada orang di dalam.

Tok! Tok! Tok! Suara ketawa yang riuh-rendah itu terhenti hampir serta-merta ketika mendengar suara ketukan pintu. Ida beranjak dari tempat duduknya dan bergegas membukakan pintu.

Alangkah terkejutnya dia setelah tahu siapa yang berada di balik pintu. Sahabat kecilnya yang sudah bertahun-tahun tak berjumpa kini berada di hadapannya. Sesaat kedua sahabat itu berpelukan lama. Melepas kerinduan yang teramat dalam. Tak lupa Ida memberi salam pada Ferdy.

“Hai, bagaimana kabarmu sahabat kecilku,” sapa Ida seraya menepuk pundak Rani dan mengulurkan tangannya.
Bertemu dengan teman lama merupakan pelipur dahaga kerinduan di dada. Ida merupakan teman akrab Rani semasa sekolah dulu. Namun, Ida harus ikut orangtuanya pindah ke Semarang. Jadi mereka jarang ketemu.
“Baik kok. Bagaimana dengan dirimu? Sepertinya kamu tambah gemuk, ya…” goda Rani sambil mencubit pinggang Ida.
“Aww.. kamu tuh! Masih saja seperti dulu,” ucap Ida sambil memegang pinggang yang terkena cubitan.
“Lama sekali kita tak berjumpa,” kata Rani sambil melangkah masuk, seraya menepuk punggung Ida.
“Kalau tak salah terakhir berjumpa ketika perpisahan sekolah dulu,” tutur Ida seraya mempersilahkan mereka duduk.
“Iya, kamu benar. O, ya…kenalkan ini Ferdy teman aku di Jogja,” ucap Rani seraya menunjuk ke arah Ferdy.
Ferdy hanya mengembangkan senyuman yang menawan.
“Alah,.. teman apa teman ni…,” goda Ida.
Rani hanya tersipu malu. Dia menjadi salah tingkah ketika Ferdy menatap pada dirinya.
“Ah, apa-apaan sih kamu…” sangkal Rani.

Perbincangan antara mereka bertiga semakin asyik. Hingga mentari sudah tergelincir ke ufuk barat. Rani dan Ferdy dipersilahkan untuk istirahta dulu dan membersihkan diri. Mereka bertiga mempunyai rencana untuk jalan-jalan keluar.

* * *

Angin malam yang berhembus tanpa suasana melengkapkan suasana sepi di sekitar. Hanya hawa dingin yang menusuk tulang menandakan ada udara yang bergerak.
Rani merapatkan kancing jaketnya. Ia mencoba mengusir dingin yang menembus pori-pori sampai ke tulang sumsum. Malam itu mereka hanya berdua. Ferdy dan Rani akhirnya memutuskan untuk berjalan-jalan berdua. Ida tak bisa menyertai mereka karena ada pertemuan remaja desa.

Seperti angin, mereka pun asyik dalam lamunan, kebisuan. Hanya dengan nafas yang sesekali terhempas dari mulut masing-masing. Itu pertanda kedua makhluk yang duduk bersebelahan di atas pasir pantai itu bukan patung. Dalam keheningan itu, suara Ferdy membuyarkan lamunan Rani.

“Rani…,” panggil Ferdy pelan tapi bermakna.
Rani hanya menoleh tak bergeming sedikit pun. Sebenarnya Ferdy ingin mengungkapkan perasaan yang ada. Perasaan yang selalu mengganggu tidur tiap malam.
“Rani, aku ingin bicara sesuatu padamu,” ucap Ferdy.

Kini badannya berhadapan dengan Rani. Ferdy memegang tangan Rani. Ferdy menatap tajam bola mata Rani, Rani membalas menatapnya. Dalam hatinya, jantungnya berdebar kencang.

“Rani, sejak bertemu denganmu. Aku sudah suka sama kamu. Tapi, sepertinya kamu tak menyadarinya kalau aku suka sama kamu. Apalagi setelah kamu menceritakan kisah cintamu masa lalumu, aku pun semakin ingin mengenalmu lebih dekat. Aku ingin bersamamu dalam mengarungi hidup ini. Kamu mau kan, Rani…,” ucap Ferdy bersungguh-sungguh.

Rani hanya terdiam. Berdiri terpaku. Dia tak menyangka Ferdy akan mengucapkan kata-kata itu padanya. Dia bingung. Dalam hatinya banyak pertanyaan. Apakah Ferdy benar-benar cinta padanya? Apakah dia juga cinta padanya? Semua pertanyaan berkecamuk di dadanya. Dia takut peristiwa silam akan terulang.
Rani tak memberikan jawaban malam itu juga. Dia masih ingin memastikan apakah Ferdy benar-benar mencintainya. Sebenarnya dia juga mencintai Ferdy dan tak ingin kehilangan Ferdy. Tapi apakah Ferdy akan tetap mencintai dia bila suatu saat Ferdy tau kalau dia mengidap penyakit mematikan yang sudah stadium akhir. Rani tak ingin mengecewakan lelaki yang dicintainya pula.

Sepanjang perjalanan Rani lebih banyak terdiam. Dia sudah tak merasakan dinginnya malam yang semakin larut. Suara dedaunan yang gemerisik tak bisa menghilangkan kegalauan di hatinya.
Sebelum beranjak tidur, Rani menulis semua isi hatinya pada buku diary. Itu adalah kebiasaan dia. Dia selalu menuliskan apapun yang dia alami dalam buku diary.

Kicauan burung yang senang menyambut pagi itu telah membangunkan Rani dari tidurnya. Rani beranjak dari tidurnya dan membereskan tempat tidur. Dia membersihkan diri dan pergi ke ruang makan.

Tampak disana semua sudah berkumpul. Ayah dan Ibu Ida, Ida dan juga Ferdy. Mereka sudah siap untuk sarapan. Rani memberi seulas senyum pada semua orang yang ada disana. Tatapannya terhenti pada Ferdy, segera dipalingkannya wajahnya. Setelah semua selesai, mereka melanjutkan aktivitasnya masing-masing.
Di tengah kesibukan masing-masing. Di kebun terlihat Ferdy dan Ida tengah bersenda-gurau sambil membersihkan kebun. Di sisi lain secara tak sengaja Rani melihat keasyikan mereka berdua dari kaca jendela. Terbersit rasa tak suka dengan pemandangan indah di depan matanya. Hatinya terasa sakit melihat kedekatan mereka berdua. Apakah ini cinta? Itulah pertanyaan yang muncul dari hatinya.

Tiga hari sudah Ferdy dan Rani berada di rumah Ida. Tapi, Rani belum memberi kepastian pada Ferdy. Hari ini mereka akan pulang.
“Rani…,” panggil Ida.
Sosok manis yang sedang membenahi pakaian dan memasukkan dalam tas itu, serentak menghentikan kegiatannya begitu mendengar suara dari sahabatnya. Dengan tenang ia membalikkan badan, senyuman tipus tersungging di bibir indahnya. Lalu ada tunduk sesaat. Sepertinya, ia tengah menyusun kalimat yang tepat. Wajah itu kemudian tengadah, ronanya memancarkan keceriaan dengan senyum tipis yang khas itu. Langkahnya pasti ke arah Ida yang masih terpaku di dekat pintu.
“Kamu benar, Da. Tak seharusnya aku lari dari kenyataan. Serumit dan sesulit apapun akibatnya yang akan aku hadapi, aku harus menerimanya,” Rani menghela nafas sesaat.
“Semalam aku berpikir, Da. Aku harus menjatuhkan pilihan. Aku tidak sanggup untuk menghindar dari cinta Ferdy. Aku akan memberi kepastian setiba di Jogja nanti,” lanjut Rani.
“Kamu harus bisa membuang rasa takutmu. Aku tahu Ferdy akan membuatmu bahagia. Dia tulus mencintaimu,” papar Ida yang sudah mengetahui konflik yang terjadi pada Rani.
Mereka berdua keluar dari kamar. Di teras rumah terlihat Ferdy yang telah siap untuk pulang. Ferdy dan Rani berpamitan dengan keluarga Ida.
Perjalanan pulang kali ini mereka sama-sama berdiam diri. Hanya deru mesin yang terdengar. Jalan menikung tak lagi dirasakan indah. Mereka terbawa lamunan masing-masing. Tak lama kemudian mereka tiba juga di Jogja. Mereka berpisah di persimpangan jalan. Ferdy mengucapkan salam dan melabuhkan sebuah kecupan di kening Rani. Rani melepas kepergian dengan senyuman indah yang membuat hati Ferdy bergetar.

* * *

Seminggu sudah waktu berlalu. Namun, Rani belum memberi kepastian pada Ferdy. Hampir tiap malam Ferdy datang ke rumah Rani. Walaupun hanya sekedar main, bercanda dengan keluarga Rani. Itu adalah hal yang membuat Rani merasa senang. Dia melihat kesungguhan dari wajah Ferdy, kelakuan Ferdy pada keluarganya.
Lama sudah Ferdy tak berkunjung ke rumah Rani. Dia sibuk kuliah. Dia tak mengetahui kalau Rani masuk rumah sakit. Setelah ia mengetahui kalau Rani di rumah sakit dia langsung beranjak pergi menengok Rani.

Namun, di sisi lain. Di rumah sakit, keadaan Rani semakin parah. Dokter sepertinya sudah angkat tangan untuk mengobati Rani. Hanya keajaiban Tuhan-lah yang akan menyembuhkannya.

Di dalam kamar dirawatnya Rani terdengar suara isak tangis Ibu Rani yang tak tega melihat penderitaan anaknya.
“Ibu…,” seru Rani lemah.
Ibu yang sedang terisak lalu menoleh seraya menghapus air matanya. Dia tak ingin memperlihatkan kesedihan itu pada anaknya.
“Ibu disini, Rani,” kata Ibu sambil memegang tangan anaknya yang tidak bermaya.
Rani membuka matanya pelan.
“Rani tahu, hidup Rani tak bisa lama lagi. Rani minta maaf sama Ibu dan keluarga kalau Rani sering ngerepotin keluarga…,” ucap Rani tersendat.
“Ibu, kalau nanti Rani tak ada, Rani minta tolong sama Ibu, tolong berikan buku diary Rani kepada Ferdy,” sambung Rani terputus-putus.
“Sabarlah, Nak. Jangan bilang begitu,” kata Ibu dengan dada berdebar, cemas dan menahan tangis.
“Ibu, jaga adik-adikku baik-baik. Mereka harus rajin belajar. Jaga diri Ayah dan Ibu. Sampaikan salam sayangku pada semuanya…”
Dan habislah nafasnya.

Seketika itu pecahlah tangis Ibu. Tepat pada saat itu Ferdy tiba di kamar rawat Rani. Ferdy langsung memburu dan memeluk tubuh Rani yang terbujur kaku. Dia tak sanggup menerima kenyataan yang dihadapinya.

* * *

Seminggu sudah berlalu. Pemakaman Rani pun sudah berlalu. Namun, kesedihan Ferdy tak kunjung sirna.
Hari itu Ferdy bertandang ke rumah Rani. Ketika dia ingin pulang, Ibu Rani menghentikan langkah Ferdy. Dia meminta Ferdy menunggu sejenak. Ibu Rani berlalu, dan kembali dengan sebuah buku di tangannya.

“Nak Ferdy, Ibu dititipi ini sebelum Rani menghembuskan nafas terakhirnya,” ucap Ibu seraya memberikan buku itu pada Ferdy.
“Apa ini, Bu?” tanya Ferdy heran.
“Ibu juga tak tahu, Nak Ferdy. Tapi setahu Ibu, Rani sering mencurahkan isi hatinya dalam buku ini,” jawab Ibu.
“Oh, baiklah kalau begitu. Saya pulang dulu, Bu,” ucap Ferdy.
Ferdy beranjak keluar dari rumah Rani. Ia melajukan sepeda motornya dengan kencang. Ibu tertegun di depan pintu. Ibu teringat ketika Rani masih hidup. Semuanya terasa indah.

Sesampai di rumah, dibacalah buku diary Rani dengan seksama. Kini ia tahu kalau sebenarnya Rani menyimpan rasa padanya. Namun, karena penyakitnya itulah Rani takut untuk mengungkapkan rasa sebenarnya pada Ferdy. Di dalam buku itu terdapat sepucuk surat yang ditujukan pada Ferdy.
Tak terasa ada cairan bening, bergulir di pipi Ferdy. Ferdy tak tahan menahan rasa kesedihan mendalam. Dia tak menyangka kalau selama ini Rani menanggung penderitaan yang amat berat.

Di dalam hati Ferdy, walaupun gadis yang selama ini dicintainya telah tiada, dia akan tetap menjaga kesucian cintanya pada Rani sampai kapanpun.

Bunga akan tampak indah
Ketika musim bunga bermula
Mencium pucuk-pucuk kecilnya
Namun kasih akan senantiasa
Tampak indah dari bunga
Karna ia terus tumbuh tanpa bantuan musim

Kahlil Gibran Puisi-Puisi Cinta

Itulah untaian puisi yang dituliskan Rani dalam suratnya untuk Ferdy. Mata Ferdy menerawang jauh menatap langit. Seakan-akan mencari sosok kekasihnya di atas sana. Betapa singkatnya pertemuan mereka, hingga berakhir seperti ini. Namun, Ferdy tetap bangga telah menemukan sosok wanita yang tegar dalam mengarungi hidup walaupun dia mengidap penyakit mematikan.