Tuesday, November 08, 2011

Narkoba

Tanda-tanda Kemungkinan Penyalahgunaan Narkotika dan Zat Adiktif

Fisik

  • berat badan turun drastis
  • mata terlihat cekung dan merah, muka pucat, dan bibir kehitam-hitaman
  • tangan penuh dengan bintik-bintik merah, seperti bekas gigitan nyamuk dan ada tanda bekas luka sayatan. Goresan dan perubahan warna kulit di tempat bekas suntikan
  • buang air besar dan kecil kurang lancar
  • sembelit atau sakit perut tanpa alasan yang jelas

Emosi

  • sangat sensitif dan cepat bosan
  • bila ditegur atau dimarahi, dia malah menunjukkan sikap membangkang
  • emosinya naik turun dan tidak ragu untuk memukul orang atau berbicara kasar terhadap anggota keluarga atau orang di sekitarnya
  • nafsu makan tidak menentu

Perilaku

  • malas dan sering melupakan tanggung jawab dan tugas-tugas rutinnya
  • menunjukkan sikap tidak peduli dan jauh dari keluarga
  • sering bertemu dengan orang yang tidak dikenal keluarga, pergi tanpa pamit dan pulang lewat tengah malam
  • suka mencuri uang di rumah, sekolah ataupun tempat pekerjaan dan menggadaikan barang-barang berharga di rumah. Begitupun dengan barang-barang berharga miliknya banyak yang hilang
  • selalu kehabisan uang
  • waktunya di rumah kerapkali dihabiskan di kamar tidur, kloset, gudang, ruang yang gelap, kamar mandi, atau tempat-tempat sepi lainnya
  • takut akan air. Jika terkena akan terasa sakit, karena itu mereka jadi malas mandi
  • sering batuk-batuk dan pilek berkepanjangan
  • sikapnya cenderung jadi manipulatif dan tiba-tiba tampak manis bila ada maunya, seperti saat membutuhkan uang untuk beli obat
  • sering berbohong dan ingkar janji dengan berbagai macam alasan
  • mengalami jantung berdebar-debar
  • sering menguap
  • mengeluarkan air mata dan keringat berlebihan
  • sering mengalami mimpi buruk
  • mengalami nyeri kepala dan sendi-sendi

Komunikasi Orangtua – Anak Mencegah Penyalahgunaan Alkohol
dan Obat-obatan

Di bawah ini adalah beberapa tips dasar untuk meningkatkan kemapuan diskusi dengan anak-anak Anda tentang alkohol dan obat-obatan terlarang:
  • Jadilah pendengar yang baik.
  • Sediakanlah waktu untuk mendiskusikan hal-hal yang sensitif.
  • Berikanlah dorongan.
  • Sampaikan pesan dengan jelas.
  • Berilah contoh yang baik.
Tips berkomunikasi dengan anak:

Mendengarkan

  1. Berikan perhatian penuh
  2. Jangan memotong pembicaraan anak. Biarkan sang anak berbicara dan kemudian menanyakan tanggapan Anda.

Memperhatikan

  1. Perhatikan ekspresi/mimik muka dan bahasa tubuh anak.
  2. Sepanjang diskusi dengan anak Anda ini berlangsung, perhatikan apa yang dikatakannya.

Menanggapi

  1. “Saya sangat tertarik dengan ……” atau “Saya mengerti bahwa hal itu memang sangat sulit ……” adalah ungkapan yang lebih baik dibandingkan: “Seharusnya kamu ……” atau “Kalau saya seperti kamu ……” atau “Waktu saya seumur kamu, saya ……”
  2. Jika anak Anda menyampaikan hal-hal yang sesungguhnya tidak ingin Anda dengar, jangan diabaikan.
  3. Janganlah memberikan nasihat setelah setiap kalimat yang anak Anda nyatakan.
  4. Yakinkan bila Anda mengerti apa yang dimaksud oleh anak Anda. Bila perlu, tanyalah untuk konfirmasi.

Pengobatan Narkoba:
  1. Pengobatan adiksi (detoks)
  2. Pengobatan infeksi
  3. Rehabilitasi
  4. Pelatihan mandiri

Pencegahan Narkoba:
  1. Memperkuat keimanan
  2. Memilih lingkungan pergaulan yang sehat
  3. Komunikasi yang baik
  4. Hindari pintu masuk narkoba, yaitu rokok.

Pertolongan Pertama

Pertolongan pertama penderita dimandikan dengan air hangat, minum banyak, makan makanan bergizi dalam jumlah sedikit dan sering dan dialihkan perhatiannya dari narkoba. Bila tidak berhasil perlu pertolongan dokter. Pengguna harus diyakinkan bahwa gejala-gejala sakaw mencapai puncak dalam 3-5 hari dan setelah 10 hari akan hilang.

Empat Cara Alternatif Menurunkan Resiko atau “Harm Reduction”

  1. Menggunakan jarum suntik sekali pakai
  2. Mensucihamakan (sterilisasi) jarum suntik
  3. Mengganti kebiasaan menyuntik dengan menghirup atau oral dengan tablet
  4. Menghentikan sama sekali penggunaan narkoba

Wednesday, November 02, 2011

Antara Ngayogyakarta-Surakarta

“Kalau saya, terserah masyarakat Jogja. Tanya mereka, maunya seperti apa.” Begitu jawaban Gubernur Daerah Istimewa Jogjakarta (DIJ) Sri Sultan Hamengku Buwono X setiap kali ditanya tentang polemik RUU Keistimewaan Jogjakarta yang belakangan kembali menghangat dan menjadi isu nasional.

Bukan tanpa alasan bila sultan selalu menjawab demikian setiap kali ditanya soal perkembangan RUU yang menjadi bola liar setelah Presiden SBY menyinggung sistem monarki itu. Raja Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat itu ingin meletakkan persoalan ke proporsi bahwa rakyat Jogja-lah yang akhirnya punya hak untuk memilih gubernur dan wakil gubernur DIJ melalui penetapan (otomatis sultan dan paku alam) atau pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung.

Kenapa? Sebab, berbicara tentang Jogjakarta tentu berbicara tentang budaya. Termasuk, budaya yang melingkupi sistem pemerintahan di kesultanan tersebut. Termasuk pula, budaya yang melatarbelakangi ijab kabul (pernyataan serah terima) bergabungnya Kesultananan Ngayogyakarta Hadiningrat ke pangkuan NKRI pada pemerintahan Soekarno (1945)-yang berkonsekuensi penentuan pengisi jabatan gubernur dan wakil gubernur DIJ lewat penetapan, bukan pemilihan.

Masyarakatlah pemilik absolut sebuah budaya. Kalau memang rakyat Jogja ingin mempertahankan budaya, termasuk sultan dan paku alam otomatis menjadi gubernur dan wakil gubernur DIJ, berarti itulah yang dikehendaki rakyat Jogja. Begitu pula bila rakyat Jogja ingin gubernur dan wakil gubernur dipilih melalui pilkada.

Penetapan Masih Ideal?

Apa keistimewaan Provinsi DIJ? Salah satu yang paling menonjol dan tidak ada di daerah lain memang terkait dengan posisi gubernur dan wakil gubernur yang dijabat Sri Sultan HB X sebagai raja kesultanan dan Paku Alam IX sebagai raja Pakualaman. Karena gubernur dan wakil gubernur sekaligus raja dan patih di Provinsi DIJ itu, dalam momen-momen tertentu dua pemimpin daerah tersebut kerap berkomunikasi dengan masyarakat lewat tradisi turun-temurun ala keraton.

Pun, itu terbukti efektif. Meskipun, saat berkomunikasi tersebut posisi raja dan gubernur kadang sulit dipisah karena melekat pada satu figur. Cara berkomunikasi itu juga tidak menghalangi maupun menjadi hambatan atau kendala berjalannya roda pemerintahan di Provinsi DIJ meskipun gubernurnya seorang raja. Deretan prestasi Provinsi DIJ juga tidak kalah jika dibandingkan dengan provinsi lain.

Belum lagi bicara tentang anggaran bila gubernur dan wakil gubernur DIJ ditentukan melalui pemilihan. Hampir pasti dana APBD Jogja tersedot ratusan miliar rupiah hanya untuk memilih gubernur dan wakil gubernur. Pun, sudah cukup banyak bukti mahalnya hajatan politik seperti pilkada yang pada akhirnya hanya memunculkan gubernur, bupati, dan walikota korup.
Pilkada langsung di Jogjakarta hanya akan membuat kekhawatiran soal tidak kondusifnya Jogjakarta, seperti halnya ketika Belanda mengacak-acak keraton dengan politik devide et impera yang membuat wilayah Ngayogyakarta Hadiningrat terbelah menjadi kesultanan dengan Sri Sultan sebagai raja dan Kadipaten Pakualaman dengan paku alam selaku raja.

Kekhawatiran pemerintah pusat, bila gubernur dan wakil gubernur DIJ ditentukan melalui penetapan, bisa muncul gubernur yang terlalu sepuh alias tua dan yang masih muda karena sosok raja kesultanan dan Pakualaman. Sebenarnya, kemungkinan itu bisa diantisipasi lewat RUU DIJ tersebut. Kompromikan atau cari jalan tengah saja aturan pada salah satu klausul RUU DIJ itu: Sultan ditetapkan sebagai gubernur bila usianya sudah mencapai sekian atau otomatis tidak menjadi gubernur jika usianya sudah sekian maupun sakit permanen sehingga perlu pelaksana tugas (Plt) atau opsi lain.

Benteng Terakhir


Berbicara tentang Jogjakarta tentu tidak lepas dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, yang tidak lain trah dinasti Kerajaan Mataram. Bisa dikatakan, itulah provinsi yang juga simbol dari kerajaan yang masih eksis setelah Mataram terbelah menjadi dua karena perjanjian Giyanti pada 1755. Yakni, Kasunanan Surakarta (Keraton Solo) di bawah pimpinan Paku Buwono dan Kesultanan Ngayogyakarta (Keraton Jogja) di bawah mangkubumi yang bergelar Hamengku Buwono.

Memang banyak faktor yang melatarbelakangi nasib dua keraton tersebut. Tentu tidak semata-mata karena penetapan raja Ngayogyakarta otomatis menjadi gubernur DIJ dan raja Kasunanan Surakarta Hadiningrat tidak otomatis menjadi wakil kota Surakarta atau Solo. Tentu bukan faktor itu pula yang membuat Keraton Jogja masih eksis dan moncer jika dibandingkan dengan nasib Keraton Surakarta yang didera konflik berkepanjangan sehingga memunculkan dua raja (Hangabehi dan Tedjowulan)-yang mengakibatkan aura keraton tersebut kian redup.

Juga bukan faktor penetapan raja menjadi kepala daerah yang mengakibatkan nama Surakarta kalah populer oleh Solo. Padahal, Solo itu ya Surakarta. Surakarta itu ya Solo. Nama Surakarta yang sebenarnya merupakan cikal bakal nama trah dinasti Mataram tersebut kini hanya semakin bermakna administratif-formal. Sementara itu, nama Solo lebih bermakna kultural sehingga lebih populer. Kini eksistensi Kasunanan Surakarta Hadiningrat kian terancam dan hanya benar-benar menjadi tetenger budaya.

Artinya, kalau kita memang bangsa yang menghargai sejarah dan berusaha melestarikan budaya adiluhung itu, jangan hanya karena alasan demokrasi, lantas mengingkari sejarah dan mengacak-acak panatakrama yang sudah tertata apik dan istimewa tersebut. Kecuali, memang pelan-pelan kita rela bahwa tidak ada keistimewaan yang menonjol pada provinsi yang baru saja dihajar wedhus gembel Merapi itu. (*)

Friday, September 16, 2011

Nyanyian Malam

Selentingan tentang Jebris kian meluas. Seperti bau terasi terbakar, selentingan itu menyusup ke setiap rumah di pojok dusun itu. Kini rasanya tak seorang pun yang tinggal di sana belum tahu bahwa Jebris sudah jadi pelacur. Maka orang berkata, Jebris seorang janda beranak satu, telah menghidupkan kembali aib lama, aib pojok dusun itu yang dikenal sebagai tempat kelahiran pelacur-pelacur.

Itu dulu. Dan sejak beberapa tahun belakangan orang sepakat mengakhiri aib seperti itu. Di pojok dusun itu kini sudah berdiri sebuah surau yang seperti demikian adanya, terletak hanya beberapa langkah dari rumah Jebris. Di sana juga sudah ada rukun tetangga dengan seksi pembinaan rohani. Para perempuan sering berhimpun dalam pertemuan atau arisan. Dalam kesempatan seperti itu, selalu ada acara ceramah pembinaan kesejahteraan keluarga atau pengajian. Tetapi siapa saja boleh bersaksi bahwa kepelacuran Jebris makin mapan saja. Tiap sore Jebris naik bus ke daerah batas kota, sekitar terminal, yang pada malam hari menjadi wilayah mesum. Menjelang matahari terbit, Jebris sudah berada di rumah karena dia selalu menumpang bus paling awal.
Orang bilang, sebenarnya Jebris sudah beberapa kali mendapat peringatan. Ia pernah didatangi seorang hansip yang memberinya nasihat banyak-banyak. Mendengar nasihat itu, demikian orang bilang, Jebris mengangguk-angguk dan dari mulutnya terdengar “ya, ya”. Jebris juga menghidangkan kopi untuk Pak Hansip. Tetapi ketika menghidangkan minuman itu, Jebris hanya bepinjung kain batik, tanpa kebaya, dan rambut tergerai. Kata orang, Pak Hansip tak bisa berkata sepatah kata pun dan langsung pergi.

Cerita lain mengatakan, ketua RT juga pernah mendatangi Jebris. Seperti Pak Hansip, ketua RT pun banyak memberi nasihat agar Jebris berhenti melacur. Ketika mendengar nasihat ketua RT, Jebris juga mengangguk-angguk. Dari mulutnya juga terdengar “ya, ya”. Tetapi sore hari Jebris kembali berangkat naik bus terakhir dan pulang menjelang pagi dengan bus pertama. Atau seperti dibisikkan oleh orang tertentu, sesungguhnya tak pernah ada hansip atau pengurus RT yang mencoba menghentikan Jebris. Mereka, para hansip dan sebagian pengurus RT, adalah sontoloyo yang sebenarnya tidak keberatan Jebris menjadi pelacur.
Di pojok dusun itu mungkin hanya Sar, istri Ratib, yang benar-benar sedih melihat Jebris. Sar dan Jebris bertetangga sejak bocah, bahkan sampai sekarang pun mereka tinggal sepekarangan, hanya terpisah oleh surau itu, surau yang dipimpin oleh Ratib, suami Sar. Selain menjadi imam surau, Ratib juga menjadi ketua seksi pembinaan rohani dalam kepengurusan RT. Maka ada orang bilang, kepelacuran Jebris mencolok mata Ratib, suami Sar.

Karena tak punya sumur sendiri, setiap hari Jebris menggunakan sumur keluarga Sar. Bahkan tidak jarang Jebris mencuri-curi membersihkan badan di kamar mandi Sar. Bila hendak pergi menjajakan diri, Jebris menunggu bus tepat di depan rumah Sar karena rumahnya tak punya gang ke jalan besar. Lalu sering terjadi Jebris berpapasan dengan anak-anak yang mau mengaji di surau menjelang magrib dan bertemu lagi dengan anak-anak itu lepas subuh.

Sampai demikian jauh, Sar masih bisa menahan kesedihannya. Sar tetap menyokong Jebris dengan beberapa rantang beras jatah setiap bulan. Sar tidak akan lupa, bagaimanapun keadaan Jebris, dia adalah teman sejak anak-anak. Banyak sekali pengalaman masa kecil bersama Jebris yang tak mudah terlupa. Memang, ulah Jebris acapkali merupakan ujian yang lumayan berat bagi kesabaran Sar. Jebris nakal. Dia suka mengambil sabun atau deterjen. Jebris malah sering juga mengambil pakaian dalam Sar yang sedang dikeringkan. Hati Sar selalu kecut bila membayangkan pakaian dalamnya dikenakan Jebris. Dan Sar merinding bila mengingat suatu ketika pakaian dalam yang melekat pada tubuh Jebris digerayangi tangan bajul buntung. Dan Sar harus menghadapi ujian terberat ketika suatu hari datang seorang lelaki asing. Lelaki itu mengajak Sar pergi berkenan, karena dia mengira Sar adalah Jebris.

Boleh jadi Sar akan tetap bertahan dalam kesabarannya apabila di pojok dusun itu tidak berkembang selentingan baru. Orang bilang, Jebris tidak hanya menjajakan diri di tempat mesum sekitar terminal. Diam-diam Jebris sudah berani menerima lelaki di rumahnya yang hanya beberapa langkah dari surau dan dekat sekali dengan rumah Sar. Kabar terbaru ini membuat Sar harus bicara, paling tidak kepada Ratib, suaminya.

“Kang Ratib, kata orang, keberkahan tidak akan datang pada empat puluh rumah di sekitar tempat mesum. Apa iya, Kang?”
“Ya, mungkin.”
“Kalau begitu hidup kita tidak bisa berkah, ya Kang?”
“Maksudmu selentingan terbaru tentang Jebris?”

Sar menggangguk. Ratib menarik napas panjang. Sar menunggu tanggapan suaminya, tetapi Ratib hanya menjawab dengan senyum. Sar terpaksa ikut tersenyum. Senyum keduanya kaku dan terasa buntu. Sar ingin berkata sesuatu, namun kemudian sadar bahwa di dalam kepalanya tidak ada gagasan apa pun. Yang kemudian datang malah kenangan masa anak-anak bersama Jebris. Ketika bocah, tubuh Jebris seperti Mendol; gemuk dan putih. Betisnya penuh. Karena gemas, Sar sering mencubit pantat Jebris yang berwajah agak bloon, tetapi pandai mencatut karet gelang milik Sar. Anehnya, Sar tak mau berpisah dengan Jebris karena sebagai teman bermain Jebris setia dan patuh.

Sar juga sering menemani Jebris menunggu ayahnya pulang dari hutan jati. Selain membawa sepikul kayu bakar, ayah Jebris selalu membawa seikat kacang lamtoro. Keluarga Jebris menggunakan lamtoro sebagai lauk. Jadi, Sar dulu sering bertanya kepada Jebris, “Makan nasi kok pakai lauk biji lamtoro. Apa enak?” Jawaban Jebris selalu sama, “Enak, asal jangan disertai ikan asin sebab cacing di perut bisa keluar. Saya takut cacing.”

Emak Jebris penjual gembus, kue singkong yang digoreng dan berbentuk gelang. Ada sebuah gubuk di pinggir jalan. Di situlah emak Jebris tiap malam menggoreng gembus dan langsung dijajakan. Jebris senang menemani emaknya berjualan hingga larut malam, karena selalu ada lelaki pembeli gembus yang memberinya uang receh. Bila sudah terasa ngantuk, Jebris berbaring di balai-balai kecil di belakang emaknya. Dan menit-menit sebelum terlelap adalah saat yang mengesankan bagi Jebris. Ia sering mendengar emaknya bergurau, berseloroh, bahkan cubit-cubitan dengan lelaki pelanggan. Suatu kali, ayahnya datang ketika emaknya sedang berpegangan tangan dengan seorang pembeli. Tetapi emaknya tenang saja, ayahnya hanya menundukkan kepala.

Sar dan Jebris bersama-sama masuk Sekolah Rakyat. Tetapi Jebris hanya bertahan selama dua tahun. Jebris keluar setelah emaknya meninggal. Pada usia 16 tahun, Jebris kawin dengan seorang pedagang yang membuka kios kelontong dekat terminal. Jebris diboyong dan harus menyesuaikan diri dengan gaya hidup suaminya yang nyantri. Setiap hari Jebris mengenakan kebaya panjang dan kerudung. Gelang dan kalung emasnya besar. Pada tahun kedua, Mendol lahir. Orang bilang, Jebris adalah anak yang beruntung.
Orang juga bilang bahwa Jebris adalah anak yang mujur ketika mereka melihat ibu muda itu mulai dipercaya menjaga kios suaminya yang lumayan besar. Namun, satu tahun kemudian, sudah terdengar selentingan bahwa dalam berdagang Jebris meniru emaknya. Jebris akrab dan hangat terhadap supir, kernet-kernet dan tukang-tukang ojek. Kiosnya selalu meriah oleh irama musik gendang dan tawa anak-anak muda. Lalu Jebris kedapatan menghilang bersama Gombyok, tukang ojek yang langsing dan berkulit manis. Ketika itu pun orang bilang, “Tidak heran, Jebris meniru emaknya penjual gembus itu. Apa kamu tidak tahu gembus bisa berarti macam-macam?”

Jebris kembali ke rumah ayahnya karena diceraikan oleh suaminya. Orang bilang, keberuntungannya telah berakhir. Sar yang menjadi tetangga dekat sangat merasakan kebenaran apa yang dibilang orang. Jebris kelihatan sangat berat menghidupi diri, anak serta ayahnya sudah sakit-sakitan karena dia tak punya penghasilan apa pun. Jebris pernah mengadu untung ke kota, namun segera pulang karena katanya, tak tega meninggalkan Mendol serta ayah yang sudah lebih banyak tergeletak di balai-balai. Sar yang sudah menjadi guru setiap bulan menyokong Jebris dengan beberapa rantang beras jatah. Tetapi Sar tahu apalah arti sokongan itu bagi kehidupan Jebris.

“Kang Ratib, kamu kok diam sih?” tanya Sar.

Ratib mengerutkan kening. Sambil menggendong tangan, Ratib berjalan berputar-putar. Mungkin dia akan mengucapkan sesuatu ketika dia berhenti dan menghadap Sar. Namun, pada saat yang sama terdengar suara langkah diseret-seret diiringi bunyi tongkat menginjak tanah. Ratib berpaling dan berjalan menuju pintu. Setelah pintu dibuka, Ratib berhadapan dengan seorang kakek yang sangat lusuh dan lemah. Ayah Jebris. Wajahnya sangat pasi, kedua kakinya bengkak dan bibirnya gemetar. Ratib menyilakan ayah Jebris masuk, tetapi lelaki tua itu menolak. Dia memilih berdiri di samping pintu bertelekan pada tongkatnya. Napasnya masih tersengal ketika dia mulai bicara.

“Nak Ratib, sudah dua hari Jebris tidak pulang. Pagi tadi ada orang melihat Jebris di kantor polisi. Dihukum.”
“Dihukum?”
“Ya. Kalau tidak dihukum, mengapa Jebris ada di kantor polisi? Nak Ratib, kasihan si Mendol. Dia tak mau makan dan menangis minta menyusul emaknya.”
“Jadi?”
“Nak Ratib, aku tidak tahu harus berbuat apa?”
“Ya. Kakek sudah terlalu lemah. Kakek tinggal saja di rumah. Biar aku yang menyusul Jebris dan bila mungkin membawanya pulang,” kata Ratib.

Bibir ayah Jebris tergerak-gerak. Jakunnya turun naik. Matanya berkaca-kaca. Tanpa sepatah kata pun yang bisa terucap, ayah Jebris pulang menyeret kedua kakinya yang sudah membengkak.

“Pasti Jebris kena razia lagi,” ujar Sar.
“Lagi?”

Sar mengangguk. Sar bilang, Jebris sudah dua kali kena razia. Yang ketiga Jebris berhasil lolos dari kejaran para petugas. Dia bersembunyi di balik rumpun pisang di pinggir sawah. Hampir semalaman menjadi umpan nyamuk, pagi-pagi Jebris demam. Bila tidak ada orang yang berbaik hati mengantarnya pulang, Jebris akan tetap terpuruk di bawah rumpun pisang.

“Kang Ratib, jadi kamu hendak mengambil Jebris dari kantor polisi?”
“Ya. Dan kuharap kamu tidak keberatan.”
“Lalu?”
“Juga bila kamu tidak keberatan, Jebris kita coba ajak bekerja di rumah ktia. Mungkin dia bisa masak dan cuci pakaian.”
“Andaikan dia mau, apakah kamu tidak merasa risi ada pelacur di antara kita?”
“Yah, ada risinya juga. Tetapi mungkin itu jalan yang bisa kita tempuh.”
“Bila Jebris tidak mau?”
“Kita akan terus bertetangga dengan dia. Dan kamu tak usah khawatir malaikat pembawa berkah tidak akan datang ke rumah ini bila kamu tetap punya kesabaran dan sedikit empati terhadap anak penjual gembus itu.”

Thursday, September 15, 2011

Bawang Putih and Bawang Merah

The sky was cloudy when Bawang Putih went home from her father’s funeral. Bawang Merah and her stepmother were waiting in the house.
Mother : “What took you so long?”

Bawang Putih : “I’m sorry, Mother. I was talking to father.”

Mother : “Talking? You were talking to a dead man?! What an ignorant girl! Go cook us some dinner!

Bawang Merah : “Don’t take too long, sweetie.”

Bawang Putih was a very kind girl. She would do anything to please stepmother and stepsister, even though it made her exhausted sometimes. She didn’t want to live on her house alone.

Bawang Putih : “Dinner’s ready, Mother.”

Her stepmother hurried and headed into the kitchen, followed by her stepsister. Bawang Putih did not eat right away as she thought that she must clean herself up. After the whole day helping in her father’s funeral, she felt that her body was sweating and might cause unpleasant odor.

Bawang Putih loved her stepmother. However, her stepmother didn’t seem to love her. Neither did her stepsister, Bawang Merah. Everyday, they were just sitting around, eating, and going around the city.

Mother : “You duty is stay at home. Guard the house, clean the house, take care of the house, and cook delicious meals.”

Bawang Putih : “But, Mother … “

Mother : “No ‘but’. You have to obey my rule.”

Since then, Bawang Putih never came out of the house except when she washed the clothes. There were so many work she had to do, as if it never would end.

Early in the morning, soon as she woke up, Bawang Putih filled the water tank for her stepmother and Bawang Merah to bath. Then, she swept and cleaned the floor, cooked breakfast, and then went to the river to wash the clothes.

If her stepmother found no water to bathing, no breakfast, or that the house was still messy, she would become so angry. Bawang Putih didn’t want that to happen. She wanted her stepmother to feel at home.

One day, after washing the clothes, Bawang Putih rushed back home. She was petrified.

Mother : “What happen?”

Bawang Putih : “I’m…sorry, Mother.”

Mother : “Sorry for what? What’s wrong? What have you done?”

Bawang Putih : “I’m sorry, Mother. Your golden dress drifted away when I was about to wash it.”

Mother : “What?! Go find it!! Now!!”

Bawang Putih just kept silent and obeyed her stepmother. Without saying any words, she went out to find her stepmother’s dress. In fact, she hadn’t had her breakfast yet. She was so hungry.

Bawang Putih : “Oh, God, where would I find it?”

Shepherd : “What are you looking for, young lady?”

Bawang Putih : “A dress, Sir. Did you see a golden dress drifting along the river?”

Shepherd : “Oh…yes, I saw it. Try to go that way, young lady. Maybe the dress wasn’t carried away too far from here.”

After spending a day searching, Bawang Putih finally arrived at the upper course of the river. Yet there was no sign of her stepmother’s dress. As the day was getting dark, she was looking for a shelter. She saw a small hut in the river bank.

Bawang Putih : “Hopefully, the owner would let me in.”

Grandmother : “Who is it? Come in! The door is unlocked.”

Feeling a bit scared, Bawang Putih opened the door. She saw an old lady eating alone on very simple table alone. The old lady looked spooky.

Bawang Putih : “Ohh…could it be…could it be a witch?”

Grandmother : “Who are you?”

Bawang Putih : “I’m … I’m Bawang Putih, Granny. It’s late and I need shelter.

Then, Bawang Putih told the story that led her to the old lady’s hut.
The old lady smiled. All of her teeth looked black.

Bawang Putih : “Maybe she never brushed her teeth.”

Grandmother : “What a coincidence. I found the golden dress at the river bank this afternoon.”

Hearing the explanation, Bawang Putih felt so relieved.

Grandmother : “Alright, you may stay here tonight, then. But you better have your dinner with me first.”

Bawang Putih smiled as she accepted the old lady’s offer. Being a little disgusted by the indecent meal, Bawang Putih yet ate all of the food as she was so hungry.
As a sign of gratitude, Bawang Putih cleaned all of the old lady’s dining and kitchen sets. Then, she fell asleep until the morning sun brightly shone.

Bawang Putih : “I’m sorry, Granny. I woke up late.”

Grandmother : “It’s okay. You slept so tight. I didn’t have the heart to wake you up.”

On the same day, the old lady and Bawang Putih made an agreement. The old lady would returned the dress in one condition. Bawang Putih must accompany her for a week.

Bawang Putih was truly a diligent girl. She spent her week in the old lady’s house, doing the work as she usually did. The old lady was very pleased. A week had passed very quickly.

Grandmother : “Bawang Putih, you’re a nice girl. Thank you for staying with me.”

Bawang Putih : “Thank you, it’s also very nice of you giving me shelter to stay.”

Grandmother : “As a reward, besides going back home with your stepmother;s dress, you may also choose one of these pumpkins.

Bawang Putih was startled when she was asked to choose. She felt there was nothing special of what she had done in the old lady’s house. No reward was needed. So, Bawang Putih politely declined.

Grandmother : “You have to pick one of these two pumpkins, my dear.”

After careful thought, Bawang Putih finally picked the smaller one.

Grandmother : “Why did you choose the small one?”

Bawang Putih : “Because I’m afraid I won’tbe able to carry the big one, Granny.”

Her explanation made the old lady smile. After that, Bawang Putih said goodbye.
What happen to the pumpkin when Bawang Putih arrived home? It was really surprising. The pumpkin was filled with gold and jewelleries.

Mother : “Where did you get these things?”

Bawang Putih : “From the old lady near the river bank, Mother.”

The stepmother couldn’t stop smiling and tried on all the jewelleries. And so did Bawang Merah. The shiny jewelleries made the stepmother greedy. Secretly, she made a plan for Bawang Merah.

Mother : “So, how is it, dear? Do you want to do something to get more golds and diamonds?”

Apparently, the stepmother and Bawang Merah conspired to make the same scenario as what happen to Bawang Putih. Bawang Merah pretended to wash the clothes and let a piece of cloth drift down the river.
Bawang Merah tried to search for her cloth up the upper course of the river and met the old lady just like Bawang Putih did.

Bawang Merah : “Excuse me, Granny. Do you see a red cloth drifting down the river?”

The old lady nodded. Just like Bawang Putih experienced, Bawang Merah was asked to stay with the old lady for a week.

For a week, Bawang Merah helped the old lady with grudges. Consequently, she did the work carelessly. The old lady concluded that Bawang Merah was a lazy girl. Before Bawang Merah went home, the old lady gave her a choice to pick the two pumpkins for her reward. Bawang Merah choose the big pumpkin because she thought the bigger pumpkin would be filled with more jewelries.
When she got home, she opened the pumpkin. Do you know what’s in it? It turned out that the pumpkin was filled with small poisonous creatures such as snakes, scorpions, centipedes, and so on.

Since then, the stepmother and Bawang Merah realized that what they had done to Bawang Putih was wrong. Bawang Putih was very pleased. Now, all works were done together to make everything easier.

Monday, September 05, 2011

Mencegah Nafsu Amarah

Salah satu bidikan yang semestinya dihasilkan dari puasa yang baru saja kita lewati, baik wajib maupun sunnah, adalah terkendalikannya sifat-sifat negatif manusia. Salah satu sifat negatif yang potensial pada diri manusia adalah marah.

Secara alamiah, orang yang berpuasa terlatih untuk mengendalikan sifat marahnya. Bahkan secara khusus Rasulullah mengajarkan kepada orang yang sedang berpuasa, bila ada yang mengajaknya bertengkar, maka sebaiknya ia menolak secara halus. Pertengkaran yang dimaksud ini bisa berupa adu mulut, lebih-lebih adu fisik.

Suatu hari Rasulullah kedatangan tamu orang Badui. Ia bertanya kepada Rasulullah tentang Islam. Rasulullah menjawabnya dengan sangat singkat, “Jangan marah.” Tampaknya Rasulullah tahu bahwa salah satu sifat menonjol pada orang Badui tersebut adalah gampang marah. Ia sangat mudah naik pitam. Darahnya mendidih jika menghadapi suatu persoalan.

Orang yang marah, cenderung mengabaikan sesuatu yang besar. Orang yang sedang marah merasa semua persoalan itu kecil. Bagi dirinya, apa yang menyebabkan kemarahannya itulah persoalan besar.

Itulah sebabnya, jangan heran bila mendapati orang yang marah mengambil suatu keputusan dengan sangat ringan. Suami istri yang sedang dilanda kemarahan bisa dengan mudah dan ringan saling memutuskan untuk bercerai. Padahal demi jalinan cinta kasih mereka selama ini telah mengorbankan segala-galanya. Akan tetapi kemarahan menyebabkan pengorbanan itu tidak ada artinya apa-apa lagi. Semua menjadi kecil. Yang besar adalah kemarahan itu sendiri.

Seorang ayah dengan sangat mudah membanting peralatan rumah tangga, karena jengkel terhadap ulah salah satu anggota keluarganya. Adahal untuk mengumpulkan benda-benda tadi ia butuhkan waktu yang sangat panjang sekali. Mungkin bertahun-tahun. Tapi semua itu bisa lenyap seketika hanya karena kobaran api kemarahan.

Orang yang sedang marah, sering ringan tangan dan mulutnya. Tangannya gampang sekali digerakkan untuk menyakiti orang lain. Demikian juga mulutnya. Mereka tak segan-segan mengeluarkan kata-kata kasar, yang menyinggung bahkan menyakitkan hati banyak orang. Menempeleng, memukul, menendang, bahkan sampai membunuh menjadi suatu hal yang sangat ringan pada saat kepala dikuasai nafsu amarah. Pandangan dan pertimbangan mereka menjadi sangat pendek. Yang ada di benak hanya keinginanbalas dendam. Padahal dalam keadaan biasa, bisa jadi untuk melakukan hal serupa itu dibutuhkan waktu berbulan-bulan untuk menimbang dan berpikir.

Pertengkaran, besar atau kecil biasanya didahului dengan adu mulut. Indikasi kemarahan seseorang bisa dilihat dari seberapa jauh tingkat kekasaran dan kekerasan ucapannya. Semakin marah, semakin kasar. Jika sudah tidak tertahankan, maka adu mulut itu berkembang menjadi adu fisik, perkelahian. Dari perkelahian kecil bisa berkembang menjadi pembunuhan.

Melihat bahaya yang bisa ditimbulkan oleh sifat marah ini, maka Islam memberikan arahan kepada ummatnya untuk bisa menahan diri. Caranya adalah dengan diam. Jika seorang muslim sedang marah, hendaknya ia diam. Jangan banyak bicara, sebab pembicaraan itulah yang biasanya memanaskan suasana. Demikianlah Rasulullah berpesan sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad.

Tutup mulut rapat-rapat sampai emosi bisa dikendalikan, suasana kembali tenang, dan situasi tidak tegang. Dalam suasana seperti ni baru boleh berbicara, baik dalam rangka memberi penjelasan ataupun melakukan pembelaan.

Yang dianjurkan untuk diam sebenarnya tidak hanya mulut, tapi juga anggota tubuh yang lain. Jika seseorang marah sedang ia dalam posisi berjalan, hendaknya ia menghentikan langkahnya. Jika ia sedang berdiri, hendaknya duduk. Jika dalam keadaan duduk masih juga memendam kemarahan yang tak bisa ditahan, maka dianjurkan untuk berbaring.

Akan lebih baik lagi jika orang yang sedang marah itu mengambil air wudhu’. Insya’ Allah dengan cara seperti ini kemarahan yang sudah memuncak itu bisa didinginkan lagi. Air, kata Rasulullah bisa mendinginkan perasaan. Untuk itu bila sedang marah, cepat-cepatlah ke kamar mandi. Ambil air wudhu’, bahkan jika mungkin mandi sekaligus.

Sepertinya solusi ini sederhana, tapi pelaksanaannya tidak semudah yang kita bayangkan. Seorang yang sedang marah cenderung mendekati musuhnya. Untuk menghentikan langkah merupakan suatu perjuangan yang tidak kecil.

Malah mereka cenderung untuk berdiri, bila sebelumnya ia duduk manis. Lihatlah di sekitar kita, termasuk di persidangan ataupun di forum-forum diskusi. Pengacara yang asalnya duduk baik-baik, jika sudah marah, tiba-tiba berdiri, menyampaikan argumentasinya dengan berapi-api. Jika hanya pengacara maupun jaksanya yang marah itu masih belum seberapa, tapi jika hakumnya juga tak mau kalah, maka sungguh sangat berbahaya sekali. Untuk itu hakim yang sedang marah tidak boleh memutuskan perkara.

Sebenarnya tidak hanya hakim saja yang tidak boleh memutuskan perkara dalam keadaan emosi, tapi semua orang dalam posisi apa pun tidak boleh mengambil keputusan pada saat seperti itu. Apakah saat itu seseorang sedang dalam posisi sebagai guru, polisi, pimpinan, atau bahkan sebagai suami, istri, maupun anak. Dalam keadaan bagaimanapun jika sedang marah, jangan mengambil keputusan. Bisa jadi keputusan itu akan sangat subyektif. Tidak banyak pertimbangan. Sangat dangkal, dan merugikan pihak-pihak lain, bahkan dirinya sendiri.

Sebagai manusia biasa, Rasulullah juga pernah marah. Tapi beliau mampu mengendalikannya. Kemarahannya tidak sampai membahayakan orang lain, baik melalui kata-kata maupun tindakannya. Tak satu pun keputusan, baik berupa tindakan maupun ucapan yang dilakukan Rasulullah pada saat seperti ini. Beliau memilih diam. Bahkan jika marah, beliau justru mengganti kemarahannya dengan amalan atau imbalan hadiah kepada orang yang menyebabkan kemarahannya.

Penyulut kemarahan malah diberi hadiah? Barangkali hal ini tidak terbayangkan oleh kita, bagaimana mungkin orang yang kita marahi, malah diberi hadiah. Tapi Rasulullah bisa melakukannya sebagai bukti kedewasaannya. Hanya orang-orang yang sudah matang yang bisa melakukannya.

Imam Tabrani meriwayatkan suatu hadits yang bersumber dari Abdullah bin Salam mengenai hal ini. Ia menceritakan bahwa suatu hari Rasulullah keluar bersama para sahabat, di antaranya Ali bin Abi Thalib. Tiba-tiba seorang Badui mengadu, “Wahai Rasul, di desa itu ada sekelompok penduduk yang sudah Islam dengan alasan akan mendapatkan kemurahan rezeki dari Allah. Kenyataannya setelah mereka Islam, musim kering dan panas serta paceklik pun datang. Mereka dilanda kelaparan. Wahai Rasul saw, saya khawatir jika mereka kembali murtad hanya karena masalah perut. Saya berharap engkau sudi mengirim bantuan untuk mereka.”

Mendengar berita itu, Rasulullah saw pun menoleh kepada Ali bin Abi Thalib, dan Ali pun mengerti seraya berucap, “Wahai Rasulullah, kita sudah tidak mempunyai persediaan makanan lagi.”

Zaid bin Sa’nah yang hadir ketika itu segera mendekat dan berkata, “Wahai Muhammad, andaikata engkau suka, saya akan belikan korma yang baik dari kebun desa ini, dan mereka berhutang kepadaku dengan persyaratan tertentu.” Rasulullah saw bersabda, “Sebaiknya korma itu jangan mereka yang berhutang, tetapi belilah dan kamilah yang meminjam korma itu dari padamu.” Usul Rasulullah itu disetujui Sa’nah dan dibuatlah perjanjian.

Untuk pembayarannya, Zaid mengeluarkan emas sebanyak 70 mitsqal, lalu menyerahkan kepada Rasulullah dengan perjanjian akan dibayar kembali dalam masa yang ditentukan. Korma itu pun dibagi-bagikan kepada penduduk desa yang tengah ditimpa kelaparan.

Zaid bin Sa’nah berkata, “Beberapa hari (2 atau 3 hari) menjelang perjanjian pelunasan hutang tersebut, Rasul keluar bersama-sama Abubakar, Umar, Utsman dan beberapa sahabat lainnya. Setelah Rasul menshalatkan jenazah seseorang, beliau duduk menyandarkan badan ke dinding, saya pun berkata kepadanya, “Hai Muhammad, bayarlah hutangmu kepadaku. Demi Allah, setahuku, keluarga Abdul Muthalib itu sejak dulu selalu mengundur-undur waktu dalam pembayaran hutangnya.”

Mendengar kata-kata kasarku itu, wajah Umar bin Kaththab memerah, kedua biji matanya bergerak-gerak bagaikan perahu oleng, seraya melemparkan pandangannya kepadaku dan berkata, “Hai musuh Allah, alangkah kasarnya ucapanmu terhadap Rasulullah. Demi jiwaku yang ada di tangan-Nya, kalau bukan karena menghormati Rasulullah yang di hadapanku, tentu akan kutebas lehermu dengan pedangku ini.”

Rasul tetap saja memandang dengan tenang, seraya bersabda, “Hai Umar, sadarilah bahwa antara aku dan dia ada soal hutang-piutang. Adapun yang aku harapkan, engkau menyuruh aku membayarkan hutang itu kepadanya.” Sementara itu Rasulullah saw mengisyaratkan kepada Umar untuk pergi ke tempat penyimpanan korma, lalu melunasi hutang itu dengan menambahkan 20 sha’ (takaran) sebagai imbalan untuk menghilangkan amarahnya.”

Selanjutnya, Zaid bin Sa’nah menceritakan, “Setelah Umar membayar hutang Rasul disertai tambahan 20 sha’, akupun bertanya, “Apa arti tambahan ini, hai Umar?”

Umar menjawab, “Rasulullah saw menyuruh sebagai imbalan kemarahanmu.”

Aku berkata kepada Umar, “Hai Umar, kenalkah engkau, siapakah aku ini?”

Umar berkata, “Tidak.”

Aku menerangkan, “Aku adalah Zaid bin Sa’nah.

Umar balik bertanya, “Engkau Zaid bin Sa’nah, pendeta Yahudi itu?”

“Ya.”, kataku.

Umar berkata, “Mengapa engkau sekasar itu berucap? Engkau terlalu menghina.”

Lalu aku berucap, “Sebenarnya lewat kitab Taurat, aku telah lama mengenal Muhammad dari berbagai ciri kenabiannya. Dia adalah Rasul Allah, budi bahasanya senantiasa mengalahkan amarahnya, bahkan Muhammad semakin sopan terhadap mereka yang kesyetanan. Aku berbuat demikian, menguji dan memastikan dialah Rasul Allah. Wahai Umar, putera Kaththab, engkau sebagai saksi. Aku ridha ber-Tuhankan Allah, ber-Agamakan Islam dan ber-Nabikan Muhammad. Umar, ketahuilah, aku adalah orang yang terkaya di kalangan keluarga Yahudi. Kini harta kekayaanku itu kuserahkan separuhnya buat ummat Muhammad saw.”

Menyambut penyerahan Zaid bin Sa’nah itu, Umar berkata, “Tentu yang engkau maksudkan ialah untuk sebagian ummat Muhammad.” Dan Zaid pun menjawab, “Ya, benar.”

Mereka pun bersama-sama menemui Nabi saw, dan Zaid bin Sa’nah pun mengucapkan dua kalimah Syahadat serta berjanji akan berjuang bersama-sama untuk kejayaan Islam. Kemudian di dalam tarikh diriwayatkan, Zaid bin Sa’nah mati syahid di tengah sebuah front pertempuran Tabuk, dekat daerah Palestina.

masih tentang Lebaran

Setelah hilang penat kita mengurus lebaran, maka kini tiba saatnya bagi kita untuk mendengar berbagai kalkulasi dari peristiwa besar itu. Salah satu yang perlu kita mengerti, bahwa ternyata umat Islam telah membelanjakan dalam jumlah yang luar biasa selama menjelang dan saat berlebaran. Nilai belanja untuk pakaian berlipat tiga puluh kali, sedang untuk pakaian antara empat puluh hingga lima puluh kali! Sebuah rekor yang layak untuk dipertanyakan. Betapa borosnya kita?

Kesempatan itu telah dimanfaatkan oleh mereka yang mengerti persis kebiasaan kaum muslimin, dan kebetulan mereka mempunyai kesempatan maupun fasilitas. Banyak produk yang hanya habis di saat lebaran, padahal di waktu-waktu yang lain selalu menumpuk di gudang-gudang. Bahkan ada pula jenis pakaian tertentu yang diproduksi selama setahun hanya untuk memenuhi permintaan selama lebaran itu.

Hal ini bisa terjadi karena tidaklah mungkin melayani melonjaknya kebutuhan belanja umat Islam selama Ramadhan dan Syawal hanya dengan produksi beberapa saat sebelumnya. Bahkan momen itu bisa dimanfaatkan untuk menghabiskan persediaan-persediaan afkiran, yang semestinya sudah tidak layak jual.

Beberapa kerugian yang diderita umat Islam dari kebiasaan ini di antaranya, mereka gampang tertipu barang jelek dengan harga tinggi. Menjelang lebaran orang biasanya tiak terlalu ambil pusing dengan harga yang berlipat. Yang penting beli. Apalagi dicantumkan disana diskon sekian persen. Tidak ada yang peduli, bahwa tanpa didiskon di luar Ramadhan dengan didiskon di bulan Ramadhan ternyata masih lebih mahal yang didiskon!

Barang yang kurang baik, pada saat semua orang butuh, gampang dicampurkan dengan barang-barang yang baik sehingga tertutupi cacatnya. Sementara berjubelnya orang di toko-toko semakin tidak memungkinkan mereka memilih secara lebih teliti dan hati-hati. Alhasil, sesampai di rumah, mereka dapati kekurangannya di sana-sini. Atau ternyata tidak seawet yang diperkirakan.

Fenomena ini patut menjadi perhatian kita. Sekalipun kita masih bisa maklum mengingat banyak di antara umat Islam yang hanya memiliki kelapangan rezeki menjelang Idul Fitri. Tetapi bila dibiarkan, justru kalangan yang hidupnya pas-pasan itulah yang akan tertimpa lebih banyak kerugian. Mereka tidak mampu berbelanja di bulan lain, lalu pada saat harus membeli, harga telah jauh lebih tinggi.

Satu hal lain, kebiasaan yang kemudian mendongkrak harga itu jelas akan meningkatkan angka inflasi atau penurunan nilai uang. Yang ini merupakan kerugian bagi semuanya.

Ke Solo, ke Njati …

Bus jurusan Wonogiri mulai bergerak meninggalkan terminal. Habis sudah harapannya untuk ikut terangkut. Orang begitu terjejal, berebut masuk. Tidak mungkin dia akan dapat peluang, betapa pun kecil itu, untuk dapat menyeruak masuk di antara desakan berpuluh manusia yang mau naik. Bawaannya ber-genteyong-an di pundak dan punggungnya, belum lagi tangannya yang mesti menggandeng kedua anak-anaknya yang masih kecil.

Kemarin, di hari Lebaran pertama, dia sudah hampir bisa masuk. Tangannya memegang erat-erat anak-anaknya, tangannya sebelah sudah memegang pinggiran pintu. Tiba-tiba anaknya berteriak mainannya jatuh dan sekelebat dilihatnya sebuah tangan ingin merenggut tasnya. Dengan sigap dikibaskannya tangannya menangkis tangan yang ingin menggapai tasnya, dan dengan kegesitan yang sama tangannya yang sebelah melepaskan pegangan anak-anaknya untuk memungut
mainan anaknya yang jatuh di tanah. Bersamaan dengan itu orang-orang di belakangnya mendapat kesempatan untuk menyisihkan dia dan anak-anaknya terlempar ke pinggir. Kalau kernet bis yang berdiri di dekatnya tidak sigap menahan tubuhnya, pastilah dia dan anak-anaknya sudah tercampak di tanah.

Anak-anaknya pada menangis dan ia pun segera minggir mencari tempat yang agak sela. Anak-anaknya berhenti menangis sesudah dibelikan teh kotak dan sebungkus kerupuk chiki. Ditariknya napas panjang di pinggir warung itu. Dipandangnya bis yang masih berdiri dengan teguhnya diguncang-guncang orang yang pada mau mudik.

“Bu, kita jadi mudik ke Njat, ya, Bu?” anaknya yang besar, yang berumur enam tahun, bertanya.

“Wah, nampaknya susah, Ti. Lihat tuh penuhnya orang.”
“Kita nggak jadi mudik, ya, Bu.”
“Besok kita coba lagi, ya?”
Itulah keputusannya kemarin. Anak-anaknya pada menggerutu dan mau menangis.

“Sekarang kita mau ke mana, Bu?”
“Ya, pulang, Ti.”

Pulang. Itu berarti pulang ke kamar sewaan yang terselip di tengah kampung yang agak kumuh di bilangan Kali Malang. Anak-anaknya yang sudah lelah menurut saja digandeng ibunya dan kemudian didorong masuk ke sebuah bajaj yang pada sore hari itu memungut biaya entah berapa kali lipat daripada biasanya. Anaknya yang kecil langsung tertidur begitu bajaj bergerak. Anaknya yang besar diam, entah membayangkan atau memikirkan apa.

Pagi-pagi, sebelum mereka bersiap untuk pergi ke terminal pada sore hari, dibawanya anak-anaknya ke makam suaminya, di kuburan yang terletak tidak jauh dari kampung tempat dia tinggal. Suaminya, yang semasa hidupnya adalah buruh bangunan pada sebuah perusahaan pemborong, meninggal kira-kira tiga tahun yang lalu. Dia meninggal tertimpa dinding yang roboh. Untunglah perusahaan cukup berbaik hati dan mau mengurus pemakamannya dan memberi santunan sekadarnya.

Tetapi, sesudah itu, hidup terasa lebih berat dan getir. Pendapatannya sebagai pembantu di rumah kompleks perumahan itu mepet sekali untuk mengongkosi hidup mereka. Apalagi Ti, anak sulungnya itu, sudah harus sekolah.

Hari demi hari dijalaninya dengan kedatangan dan kebosanan, tetapi, entah bagaimana, dia sanggup juga mengikutinya. Tahu-tahu, ajaib juga, tabungannya yang dikumpulkannya dari sisa dan persenan dari sana-sini terkumpul agak banyak juga selama tiga tahun itu. Kemudian terpikirlah untuk pulang mudik ke Njati tahun ini. Anak-anaknya belum pernah kenal Njati dan embah-embahnya serta sanak saudaranya yang lain. Sudah waktunya mereka kenal dengan mereka, pikirnya. Juga desa mungkin akan memberikan suasana yang lebih menyenangkan, pikirnya lagi. Setidaknya lain dengan tempat tinggalnya yang sumpek di Jakarta. Maka diputuskannyalah untuk nekat pulang Lebaran tahun ini.

Mbok kamu jangan pulang Lebaran. Tahun ini, anak-anak saya pada kumpul di sini. Banyak kerjaan.”
“Wah, nuwun sewu, Bu. Saya sudah telanjur janji anak-anak.”
“Kalau kamu tidak mudik dan tetap masuk pasti dapat banyak persen dari tamu-tamu. Ya, tidak usah pulang.”
“Wah, nuwun sewu, Bu. Saya sudah telanjur janji anak-anak.”

Dengan kemantapan tekad begitulah dia memutuskan untuk mudik. Anak-anaknya mulai diceriterakan tentang Njati, sawah-sawahnya, kerbau dan sapinya, bentuk-bentuk rumah di desa. Juga tentang embah-embahnya yang sudah pada memutih rambutnya. Juga tentang kota-kota yang bakal mereka lewati, yang akan dapat mereka lihat sekilas-sekilas dari jendela bis yang akan membawa mereka.

“Waduh, kota-kota mana saja itu, Bu?”
“Wah, banyak. Mungkin Cirebon, mungkin Purwokerto, mungkin lewat Semarang, pasti Magelang, pasti Yogya, Solo, terus menuju Njati dan Wonogiri.”
“Waduh. Yang paling bagus kota mana, ya, Bu.”
“Wah, embuh. Mestinya, ya, Solo.”
“Waa, kita mau lihat Soli, Dik. Solo, Solo, Solo.”
“Solo, Solo, Solo …”

Dia berhenti termenung. Anaknya yang kecil sudah tidur dengan pulas di tempat tidur. Kakaknya sudah bersiap juga untuk menyeruak menggeletak di samping adiknya. Ditatapnya muka anak-anaknya sambil juga merebahkan tubuhnya berdesakan dengan anak-anak mereka.

“Jangan terlalu kecewa, ya, Ti. Besok kita coba lagi. Kita pasti akan ke Njati. Dan juga pasti lihat Kota Solo.” Dilihatnya anaknya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan setengah mengantuk dia mengucap, “Solo, Solo, Solo…”.

Itu kemarin, pada hari Lebaran pertama. Sekarang, pada hari Lebaran kedua, mereka gagal lagi. Kemungkinan itu bahkan lebih tidak ada lagi. Karcis yang dibelinya dari calo, seperti kemarin, memang sudah di tangan. Tetapi, orang-orang itu kok malah jauh lebih banyak dari kemarin. Bahkan lebih beringas. Dia dan anak-anaknya dengan genteyongan barang mereka seperti kemarin, ditarik, didesak, digencet, sehingga akhirnya tersisih jauh ke pinggir lagi. Satu, dua bis dicobanya. Gagal lagi. Orang masih sangat, sangat banyak dan kuat, untuk dapat ditembus. Dan, akhirnya, dengan berdiri termangu di pinggir-pinggir warung, dilindungi kain terpal, di bawah hujan, mereka melihat bis terakhir ke Wonogiri berangkat.

“Yaa, kita nggak jadi betul ke Njati, ya, Bu.”
Ibunya melihat anak-anak dengan senyum yang dipaksakan.
“Iya, Nak. Nggak apa, ya? Tahun depan kita coba lagi.”
“Yaa.”
“Yaa.”
“Iya, dong. Ibu harus kumpul uang lagi, kan?”
“Memangnya sekarang sudah habis, Bu?”
Ibunya menggigit bibirnya. Tersenyum lagi.
“Masih, masih. Tapi, hanya bisa ke Kebon Binatang besok. Ke Njati tahun depan saja, ya?”
Anak-anaknya diam. Hujan mulai agak reda. Dilihatnya hujan yang mereda itu agak menggembirakan anaknya.
“Yuk, yuk, kita lari keluar cari bajaj, yuk.”

Anak-anak itu mengangguk, kemudian mengikuti ibunya digandeng sambil berlari-lari kecil. Di dalam bajaj anak-anak mulai bernyanyi ciptaan mereka yang terbaru.

“Solo, Solo, Solo. Solo, Solo, Solo.”
Mereka tertawa.
“Njati, Njati, Njati. Njati, Njati, Njati.”

Mereka tertawa lagi, mungkin senang bisa menciptakan lagu. Ibunya ikut senang juga melihat anak-anaknya tidak menangis atau merengek-rengek. Dia ingat akan janjinya kepada anak-anaknya untuk mengajak mereka ke Kebon Binatang. Wah, dengan uang apa? Uangnya yang terbanyak sudah habis dimakan calo karcis, ongkos bolak-balik bajaj, jajan, oleh-oleh yang sekarang sudah pada peyot semua. Tinggal lagi sisa untuk beberapa hari. Wah. Tidak apa, pikirnya. Uang itu cukup untuk ongkos ke Kebon Binatang. Saya akan ke gedong malam ini, pikirnya. Pasti masih banyak kerjaan, pastinya. Siapa tahu tamu-tamu belum pada pulang dan banyak persennya, harapnya. Di kamar sewaannya, anak-anaknya segera ditidurkannya dan sekali lagi dibisikkannya janjinya untuk ke Kebon Binatang besok.

“Lekas tidur. Besok kita ke Kebon Binatang.”
“Asyik, asyik, asyik.”
“Ibu pergi sebentar ke gedong, ya? Baik-baik di rumah, ya? Tidur.”
“Gajah, gajah, gajah. Jrapah, jrapah, jrapah…”
“Ssst, tidur.”

Ibunya dengan tersenyum menutup pintu. Tetapi, waktu di luar, dia dengar anak-anaknya menyanyi yang lain lagi.

“Solo, Solo, Solo. Njati, Njati, Njati…”
Ibunya menggigit lagi bibirnya sejenak. Kemudian dengan pasti melangkahkan kakinya.

Di gedong, nyonya rumah berteriak waktu melihat dia masuk rumah lewat pintu samping.
To, saya bilang apa. Saya bilang apa. Sokur tidak dapat bis kamu. Ayo sini bantu kami sini. Tuh piring-piring kotor masih menumpuk di dapur. Sana…”

Saturday, August 27, 2011

Idul Fitri, hari kasih sayang

Dua hari lagi insya’ Allah kita akan ditinggalkan Ramadhan. Bulan mulia yang penuh barokah. Ibaratnya, Ramadhan adalah bulan idola bagi orang-orang beriman. Bulan yang ditunggu-tunggu kedatangannya, dan disesali kepergiannya. Persis sebagaimana kalau kita bertemu idola kita, lantas ditinggalkan. Ada perasaan senang karena bisa bertemu dengan pujaan, tapi lantas kecewa lantaran ditinggalkannya.

Sebulan penuh kita bergaul dan bergumul dengan bulan sang ‘idola’ itu. Tidak sedikit peristiwa yang terjadi, banyak adegan yang sungguh menarik, seluruhnya sangat menyenangkan hati. Sungguh sangat berat untuk meninggalkan bulan yang penuh pengampunan dan selaksa rahmat.

Dari lubuk hati yang paling dalam, andaikata boleh meminta, akan muncul rengekan, Ramadhan jangan berangkat pergi. Sebab, sementara hati lagi asyik, hanyut tenggelam dalam kenikmatan, merasakan enaknya sentuhan cintanya, sehingga kepergiannya hampir seperti dipaksakan, air mata pun terpaksa ikut melepas turut menjadi saksi.

Memang seperti itulah kita selalu. Nanti setelah segalanya berlalu, setelah Ramadhan lewat, barulah muncul seribu sesal, meratapi segala apa yang lewat, menerima keadaan penuh kecewa. Setelah seluruhnya terlambat, barulah tersentak ingin berbuat. Apa yang ditolak kemarin dulu, sekarang baru dia tahu, kalau ternyata ia adalah ratna mutu manikam.
Itulah yang pernah dibayangkan Nabi, bahwa hari seperti ini peka sekali, mudah mengundang kenangan lama. Barang yang hilang kembali terbayang, mereka yang telah mati semua teringat. Anak-anak yatim tentu saja teringat kepada kedua orang tuanya. Apa yang mereka perbuat di hari-hari ini kalau bukan pergi menangis pilu.

Coba kita renungi nasib mereka. Bagaimana nasib para anak yatim pada hari bahagia seperti ini, ketika ia melihat anak-anak yang lain lalu-lalang, datang dan pergi bergandengan tangan dengan orang tuanya, diselingi ketawa penuh bahagia serta peluk cium yang begitu mesra sambil bergurau sepanjang jalan.

Alangkah pedih rasa hatinya. Jantungnya seperti diiris-iris sembilu, terbayang dulu ketika bersama orang tuanya di saat dia dimanja. Itu sekarang yang jadi terangsang, kepingin lagi merasakan hangatnya pelukan sayang seorang ayah, sejuknya ciuman cinta seorang ibu, seperti yang sementara dia saksikan. Aduh alangkah enaknya mereka yang punya ayah dan ibu, dan alangkah sakitnya si yatim yang malam itu. Baginya semua pemandangan yang ia saksikan, menyayat-nyayat hati.

Suasana Hari Raya memang dapat mengundang perasaan ini. Semua orang bersuka ria, mengenakan pakaian baru, berbondong-bondong ke lapangan, berbaris-baris bersilaturrahim.

Kendati pun si yatim mencoba menahan tangisnya dengan menggigit bibirnya keras-keras, sambil merenungi nasibnya yang malang, pahitnya hidup jadi anak yatim, tidak akan mungkin lagi merasakan nyamannya hidup punya ayah dan enaknya hidup bila punya ibu. Namun manakala dia sadari bahwa harapannya itu hanya khayalan, barulah tangisnya mulai kedengaran dengan suara yang putus-putus, sambil terisak-isak mulai menyesali dirinya.

Sesungguhnya mereka sudah menyadari bahwa harapannya itu hanyalah khayalan, namun tempo-tempo masih juga terlintas dalam pikirannya, alangkah bahagianya sekiranya diperkenankan bisa kembali dapat berlebaran bersama-sama dengan ayah bundanya serta kakak adiknya, walau hanya sesaat saja. Sambil menatap wajah semua orang, seolah-olah dia bertanya, kemana bisa mencari ayah, dan siapa mau menjadi ibu. Hampir begitu rata-rata maknanya tatapan mata setiap anak yatim pada hari bahagia seperti ini.

Rasulullah tahu persis keadaan ini. Itulah sebabnya pada hari-hari seperti ini, beliau membawa pulang ke rumahnya anak yatim yang didapati menangis sedih di pinggir jalan. Dimintanya istrinya menjadi ibunya dan beliau sendiri jadi ayahnya. Mereka diperlakukan persis seperti anaknya, dituntun kembali ke lapangan berlebaran bersama-sama.

Sederhana saja peristiwa itu sesungguhnya, tapi ia telah melukiskan ruh ajaran Islam yang menekankan kasih sayang kepada sesama ummat manusia. Allah berfirman, “Tidak Kami utus engkau kecuali untuk rahmat bagi semesta alam.” (QS. al-Anbiya’: 107)

Inilah misi Islam sesungguhnya, misi kasih sayang buat segenap penduduk dan penghuni semesta alam.


Tidak ada ajaran untuk merusak. Tidak ada ajaran untuk mengacau. Yang ada hanyalah menyebarkan kasih sayang, menolong dan menyantuni pihak yang lemah, pemerataan jalur kebahagiaan, pemerataan jalur senyum buat sesama umat manusia.

Jangankan mengacau, jangankan merusak, jangankan bikin keributan, dalam ajaran Islam, marah sudah merupakan amal yang terlarang.

Sehingga perjuangan Islam pada dasarnya adalah usaha untuk membagi dan meratakan kasih sayang untuk segenap umat manusia, bukan untuk kepentingan umat Islam saja.

Itulah citra ajaran Islam sebenarnya. Seluruh syariatnya selalu ditandai adanya unsur kasih sayang di dalamnya. Setiap pelaksanaan ajaran Islam harus memercikkan kasih sayang yang dapat dinikmati orang lain. Bila tidak demikian, maka berarti ada kekeliruan dalam pelaksanaannya.

Kita ambil contoh, puasa umpamanya. Orang di luar Islam pun merasakan hasilnya. Mereka merasa mendapat percikan kasih sayang yang dihasilkan bulan Ramadhan yang berupa ketertiban, keamanan, dan ketenangan.

Itulah sesungguhnya ajaran Islam, dan inilah seharusnya yang diperjuangkan, Islam tegak di muka bumi didorong oleh harapan supaya dunia ini dapat merasakan dosis kasih sayang yang cukup sebagai kebutuhan manusia sekarang.

Kita memperjuangkan Islam tidak lain kecuali ingin mematahkan kedzaliman, tirani, pemerkosaan hak, dan kesewenang-wenangan, agar umat manusia dapat merasakan perdamaian hidup, kebahagiaan, dan kenyamanan. Kita ingin semua orang dihormati hak-haknya, dijamin kemerdekaannya.

Adalah keliru sekali kalau istilah perjuangan Islam, jihad fi sabilillah ditanggapi dengan pengertian mengacau, membunuh, merusak, teror, penyanderaan, dan lain-lain. Tugas kita adalah memperbaiki citra ajaran Islam kembali.

Karenanya adalah wajar dan sungguh manusiawi manakala semua pihak turun tangan untuk membantu setiap kegiatan untuk menegakkan dan membangkitkan Islam dimana-mana.

Siapa pun yang tampil dan maju untuk memperjuangkan Islam dengan emosi, nafsu, ambisi, dan interest pribadi bukan untuk menyebarkan kasih sayang, maka sesungguhnya ia telah merusak citra Islam itu sendiri. Perjuangan demikian pada dasarnya hanya merugikan Islam, mencoreng arang ke muka wajahnya sendiri.

Kita yakin kalau kita berjuang dengan menggunakan cara-cara yang Islami, niscaya semua pihak akan merasa beruntung, tak terkecuali pemerintah. Pemerintah kita semestinya akan merasa tertolong, kalau masih ada yang mau memperjuangkan Islam, sebab dengan demikian berarti membantu mereka mewujudkan dan menciptakan keamanan dan ketenangan, membantu mereka mengurangi kriminalitas dan kejahatan.

Kita bisa periksa isi penjara. Mereka yang ada di sana dapat dipastikan adalah orang-orang yang tidak terbina dengan baik agamanya, tidak melaksanakan dengan baik syariat agamanya.

Dengan demikian, Islam bukan saja boleh diperjuangkan di bumi pertiwi ini, tetapi memang seharusnya atau lebih mutlak diperjuangkan di seluruh penjuru bumi.

Thursday, August 18, 2011

agar Do'a makbul

Pada suatu hari Saad bin Abi Waqqas bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, doakan aku kepada Allah, agar aku dijadikan Allah orang yang makbul doanya." Rasulullah menjawab, “Hai Saad, makanlah yang baik (halal) tentu engkau menjadi orang yang makbul doanya. Demi Allah yang memegang jiwa Muhammad, sesungguhnya seorang yang pernah melemparkan sesuap makanan haram ke dalam mulutnya (perutnya), maka tidaklah akan dikabulkan doanya selama 40 hari. Siapa saja manusia yang dagingnya tumbuh dari makanan yang haram, maka nerakalah yang berhak untuk orang itu.” (HR. Alhaafidh Abubakar bin Mardawih dikutip oleh Alhaafidh Ibnu Kathin dalam tafsirnya).
Sudah lelah rasanya berdoa dan memunajat, namun mengapa Allah tidak pula memperkenankan. Permohonan dan permintaan tidak pula Dia kabulkan. Kadang kecewa dan putus asa bila demikian adanya. Bahkan timbul penilaian, Allah telah ingkar janji dengan perkataan-Nya sendiri. Padahal Dia telah menyatakan, “Ud’uunii astajiblakum”, berdoalah kepadaKu, niscaya Kukabulkan bagimu. Tapi mana buktinya??!

Inilah ucapan dari orang-orang yang tidak pernah mempelajari al-Qur’an dan al-hadits. Mereka tidak mengerti bahwa berdoa itu tidak dikerjakan secara sembrono dan sembarangan, tetapi perlu adab-adab dan syarat-syarat tertentu. Mereka menganggap berdoa ini pekerjaan yang sepele dan gampang. Sehingga mereka sering meremehkan dan akibatnya doa tak pernah dikabulkan. Kemudian timbul persangkaan buruk kepada Allah.

Jadi, apa yang menyebabkan doa tidak dikabulkan? Banyak hal yang menyebabkan permohonan dan permintaan tidak diperkenankan Allah. Sudahkah kita menghindari perut kita dari makanan dan minuman yang diharamkan Allah? Bila masih tetap saja perut kita terisi dengan hal yang haram, tentulah doa yang kita panjatkan tak pernah Allah kabulkan.

Sesuap makanan saja, akan mengakibatkan doa kita selama 40 hari tidak terkabul, apalagi bila makanan haram yang masuk ke perut kita lebih dari sesuap bahkan berkali-kali sehingga tak terhitung lagi, sudah tentu sampai mati pun kita berdoa, Allah tak akan mengabulkannya.

Untuk itu agar doa dikabulkan Allah, perlu pengetahuan dalam tata cara berdoa yang diberitakan Rasulullah. Bagaimana sunnahnya agar permohonan dan permintaan diperkenankan?

Langkah pertama, hindari perut dari kemasukan barang-barang haram. Jangan sampai sesuap pun makanan haram yang kita telan. Jangan seteguk pun minuman haram yang kita minum. Karena hal inilah faktor utama penyebab doa kita tidak terkabul. Selektiflah dalam memilih makanan, yang meragukan sebaiknya ditinggalkan. Pilih saja makanan atau minuman yang benar-benar halal dan baik. Allah berfirman, “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan, karena sesungguhnya syetan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. al-Baqarah: 168)

Memakan makanan yang halal dan baik merupakan salah satu bentuk dari ketaatan kita kepada Allah dalam memenuhi segala perintah-Nya. Bila kita selalu taat kepada Allah dan dalam mengarungi kehidupan ini senantiasa berada dalam kebenaran, tentulah segala apa yang kita mohon, kita panjatkan, dan kita minta pastilah Allah akan mengabulkannya.
Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepadaku maka hendaklah mereka itu memenuhi segala perintahKu dan hendaklah mereka berikan kepadaKu, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. al-Baqarah: 186)
Langkah kedua, karena doa ini pekerjaan yang agung dan sangat utama, sebagai inti ibadah, maka dalam pelaksanaannya harus khusyu’ dan serius tidak dengan main-main. Usahakan dalam berdoa ini dengan penuh keyakinan, penuh harap dan rasa takut. Merendahkan diri dengan suara yang lirih, tenang tidak tergesa-gesa, dengan keimanan, dan tahu akan hakikat yang diminta. Allah telah menyatakan:
Berdoalah kepada Tuhanmu dengan merendah diri dan suara yang lembut…” (QS. al A’raf: 55)

Langkah ketiga, mengetahui waktu-waktu doa dikabulkan. Walaupun berdoa ini bisa dilakukan sembarang waktu, namun ada waktu-waktu yang memang disunnahkan. Insya Allah pada waktu-waktu ini segala doa akan diperkenankan dan dikabulkan.

Di tengah malam yang sunyi dimana orang-orang terlelap dengan tidurnya, ditemani mimpi-mimpi, kita terjaga, berdiri, ruku’, sujud, dan memunajat kepada-Nya dengan penuh kekhusyu’an dan penuh harap, tentulah Allah akan mendengar dan memperkenankan ratapan, permintaan, dan permohonan kita.



Di akhir-akhir shalat fardhu, di waktu tahiyyat akhir (sebelum), adalah waktu-waktu yang sangat tepat untuk berdoa. Doa apa saja, yang mengarah kepada kebaikan, tentu Allah akan mengabulkannya, Rasulullah saw ditanya, “Pada waktu apa doa manusia lebih didengar Allah?” Lalu Rasulullah menjawab, “Pada tengah malam, pada akhir tiap shalat fardhu.” (Mashabih Assunnah)

Selain tengah malam dan akhir shalat fardhu, ada juga waktu-waktu yang dimakbulkan doanya sudah tidak diragukan lagi, dan ini pun merupakan sunnah-sunnah Rasulullah saw. Seperti di sepertiga malam sampai fajar, di antara adzan dan iqamat, di waktu sujud, di bulan Ramadhan, dan di malam lailatul qadar.

Langkah keempat, orang-orang tertentu yang dikabulkan doanya. Walaupun setiap orang yang berdoa kepada Allah dengan sungguh-sungguh dan memenuhi persyaratan-persyaratan akan dikabulkan, namun ada orang-orang yang doanya dijamin diperkenankan Allah. Setiap ratapan doanya didengar dan dikabulkan. Segala permintaan dan permohonannya mesti diberikan tanpa terkecuali. Allah ridha kepada mereka dan begitu menaruh perhatian yang sangat. Allah istimewakan mereka, karena pengorbanan dan pengabdiannya yang tiada tara, akhlak yang mulia dan juga ketabahannya dalam menapaki kebenaran.

Allah istimewakan kedua orang tua yang mengasuh, mendidik, dan menafkahi anaknya dengan penuh kasih sayang. Mereka bimbing anaknya menuju jalan yang diridhai Allah, sampai usia anak dewasa. Orang tua seperti inilah yang segala permintaan dan permohonannya dikabulkan.

Musafir yang berpergian untuk maksud baik dan tujuan mulia, orang yang menolong orang lain yang dalam kesempitan, seorang muslim yang mendoakan teman-temannya yang tidak hadir, dan orang shalih, doanya akan diperkenankan dan dikabulkan Allah swt. Seperti halnya orang tua yang mengasuh anaknya tadi.

Di samping orang-orang yang telah disebut di atas yang dikabulkan doanya, ada juga doa orang-orang yang diangkat Allah ke atas awan, dibukakan pintu langit, dan Allah tidak menolak doanya, yaitu orang yang berpuasa sampai dia berbuka, penguasa yang adil dan orang yang teraniaya.

Ada tiga orang yang tidak ditolak doa mereka: orang yang berpuasa sampai dia berbuka, seorang penguasa yang adil, dan doa orang yang teraniaya. Doa mereka diangkat Allah ke atas awan dan dibukakan baginya pintu langit dan Allah bertitah. Demi keperkasaanKu, Aku akan memenangkanmu (menolongmu) meski tidak segera.” (HR. Tirmidzi).

Dari rangkaian ulasan tentang doa di atas, nyatalah bahwa berdoa itu tidak sembarangan, dan main-main, tapi memerlukan syarat-syarat yang harus dipenuhi, sehingga janji-janji Allah yang akan mengabulkan doa-doa hamba-Nya akan menjadi kenyataan. Namun harus diingat bahwa Allah dalam mengabulkan doa seseorang hambaNya ada yang langsung terkabul di dunia, ada yang ditabung sampai di akherat, dan ada pula diganti dengan mencegahnya dari bencana.

Tiada seorang berdoa kepada Allah dengan suatu doa, kecuali dikabulkanNya dan dia memperoleh salah satu dari tiga hal, yaitu dipercepat terkabulnya baginya di dunia, disimpan (ditabung) untuknya sampai di akherat, atau diganti dengan mencegahnya dari musibah (bencana) yang serupa. (HR. Atthabrani)

Monday, August 15, 2011

Sombong Itu Akan Rugi

Narator : Di siang hari yang sejuk. Para buah yang bersahabat sedang bercakap-cakap di halaman kebun. Mereka pada menyombongkan diri sendiri dan mereka pun tidak ingin mengalah. Akhirnya mereka jadi bertengkar terus.


Pisang : Hei, apel! Apakah kamu sadar bahwa rasamu itu kurang enak?

Apel : Jangan salah, pisang! Rasaku itu enak sekali. Sampai-sampai ada yang mengimpor aku. Selain itu, aku juga bervitamin dan bergizi. Aku pun juga memiliki jenis bermacam-macam seperti : apel merah dan hijau.

Pisang : Aku pun tak kalah denganmu. Coba kamu bayangkan, banyak orang yang suka pisang goreng, bukan? Pisang goreng itu berasal dari aku.

Nanas : Apakah ada pisang dengan rasa manis?

Pisang : Tentu saja ada. Namanya pisang raja.

Nanas : Wah, kalian payah! Coba seperti aku ini. Aku itu asalnya dari Brazil, di Amerika Selatan. Aku pun sering dijadikan bahan minuman yang segar. Aku pun juga bermacam-macam jenisnya, ada nanas Serawak, Moris, Masmerah dan Gandul.

Apel : Apakah tidak ada negara yang mengimpor nanas?

Nanas : Pasti ada. Contohnya seperti Singapura, Brunei, Jepang, Hongkong, Taiwan dan Amerika Serikat.

Jeruk : Asal kalian tahu, bahwa aku ini sangat penting untuk kesehatan tubuh. Karena aku ini mengandung vitamin C. Tanpa aku, pasti semua orang akan terkena penyakit panas dalam.

Anggur : Jika kalian ketahui, aku itu sangat bernilai harganya. Karena aku ini jika diolah dapat menjadi minuman alkohol. Kalian tahu bukan, bahwa hanya orang tertentu yang dapat minum alkohol.

Narator : Mereka pun akhirnya bertengkar terus-menerus. Mereka pada sombong semua. Apakah mereka akan sadar atas kesalahan mereka? Pasti mereka akan sadar.

Apel : Wah, pasti diantara kita semua akulah yang paling hebat.

Anggur : Mana mungkin kamu paling hebat. Jika kamu sudah dipotong dan dibiarkan terbuka, pasti akan cepat busuk.

Nanas : Aku jadi sadar, bahwa kita ini semua juga memiliki kekurangan.

Pisang : Benar juga katamu, nanas.

Jeruk : Jika dipikir-pikir, aku memiliki kekurangan yang juga banyak. Contohnya seperti buahku juga mudah busuk. Jika makan buahku harus diambil bijinya dahulu dan kadang ada buah jeruk yang rasanya kecut.

Apel : Berarti kita semua telah sadar apa yang kita perbuat.

Anggur : Memang kesombongan itu merupakan perbuatan tidak terpuji.

Jeruk : Sombong itu hanya akan membuat persahabatan kita menjadi retak.

Narator : Setelah mereka sadar, mereka saling bermaafan atas kesalahan yang telah diperbuat.

Apel : Maafkan aku, ya! Aku menyesal telah berbuat yang tidak terpuji kepada kalian.

Jeruk : Aku juga minta maaf, ya!

Anggur : Aku juga minta maaf.

Nanas : Aku juga minta maaf atas perbuatanku!

Pisang : Aku juga minta maaf, ya.

Jeruk : Jadi kita sekarang sudah saling berminta maaf dan kita harus saling memaafinya. Dan kita kembali bersahabat.

Narator : Akhirnya para buah kembali bersahabat dengan damai dan tentram.

Monday, August 08, 2011

dimana memburu Malam Qadar

Di akhir Ramadhan ini, yang paling ramai dibicarakan biasanya adalah perburuan ‘Lailatur Qadr’. Apakah ia hadir pada hari tertentu dan hanya untuk orang-orang tertentu?
Nabi s.a.w. menganjurkan ummatnya untuk meningkatkan secara sungguh-sungguh gerak dan semangat ibadah dalam mengakhiri bulan Ramadhan. Anjuran itu bahkan bukan berhenti sebagai ‘perintah’ saja, melainkan dicontohkan langsung. Rasul biasa tidak pulang pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan, kecuali untuk keperluan-keperluan mendesak. Kegiatan beliau terpusat di masjid, siang ataupun malam.

I’tikaf seperti yang dicontohkan beliau itu kini juga sudah banyak diikuti ummatnya. Ada kalangan yang sengaja meliburkan semua kegiatannya di akhir Ramadhan, diganti dengan i’tikaf. Di antara semangat i’tikaf itu ialah untuk mendapatkan kesempatan berjumpa dengan satu malam paling mulia, malam Qadar.



Bahwa malam Qadar memiliki keutamaan yang luar biasa, sudah sama-sama kita ketahui. Bahkan Allah telah memberikan nama terhadap salah satu surah al-Qadr: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Qur’an pada malam Qadar. Dan tahukah kamu, apakah malam Qadar itu? Itulah malam yang lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu para malaikat dan Malaikat Jibril turun dengan izin Rabb-nya untuk mengatur segala urusan. Malam itu penuh kesejahteraan hingga terbit fajar.

Ada yang menghitung seribu bulan dengan 83 tahun lebih, sehingga begitu menggebu untuk mendapatkannya. Tetapi ada pula yang lebih memahami kata ‘seribu bulan’ itu sebagai kiasan bahwa tingkat kemuliaan malam itu memang tiada bandingnya. Umur rata-rata manusia saja tidak sampai 83 tahun, sehingga bila ia mendapati malam itu, berarti sepanjang hidupnya akan penuh dengan kemuliaan.

Tetapi benarkah gampang mendapatkan janji Allah itu? Bagaimanakah sosok dan cara menjumpainya yang memiliki dampak secara nyata? Apakah mungkin mendapatkannya secara kebetulan, ibarat mendapat lotre?

Allah memang Maha Berkehendak. Kalau ia mau, gampang saja menakdirkan si A atau si B untuk mendapatkannya. Tetapi ada yang namanya sunnatullah, sebagai ‘cara’ Allah menetapkan sesuatu yang bisa dipahami oleh hamba-Nya. Sunnatullah itu berlaku universal, penuh keadilan, dan logis, sehingga tidak mungkin mengundang protes. Itulah pula yang berlaku dalam penentuan ‘nasib’ manusia.

Allah telah berfirman, “Sesungguhnya keadaan-Nya, apabila Dia menghendaki sesuatu hanya berkata, ‘Jadilah’, maka ia jadi.” (QS. Yasin: 82)

Tetapi dalam ‘kun’ (jadilah) itu sendiri terkandung ketentuan-Nya yang berupa sunnatullah. Dr. Quraish Shihab menulis dalam salah satu tafsirnya, bahwa ‘kun’ itu tetaplah melalui suatu proses. Hal ini sama sekali bukan dimaksudkan mengurangi kekuasaan Allah, tetapi dalam hubungan dengan hamba-Nya, Allah tetap memberlakukan cara yang biasa dipahami oleh hamba itu. Karena bila tidak demikian, maka bagaimana bisa manusia bisa yakin terhadap janji-janji dan ancaman-Nya? Manusia bisa berdalih, ‘Bila Allah menghendaki saya baik, maka saya akan baik dengan sendirinya.’ Dan bila ternyata tidak, mereka akan menimpakan ‘kesalahan’ itu kepada yang menentukan ‘takdir’.

Karena itu tetap ada keterkaitan antara masuk surganya seseorang dengan amal dia selama di dunia. Sementara untuk bisa beramal yang baik, ia tentu juga harus melakukan upaya sebelumnya. Artinya, hidayah Allah yang menuntunnya kepada kebaikan itu tidak datang dengan begitu saja. Ada proses yang mendahuluinya, yang bersifat subyektif.

Mereka yang tidak pernah berbuat baik kepada orang lain – dan karenanya tidak layak masuk surga – tentu saja juga sulit untuk mendapatkan hidayah semasa di dunia, kecuali ada proses taubat terlebih dahulu. Mereka yang terbiasa makan barang haram, juga tidak bisa berharap terjadi keajaiban lalu tiba-tiba mendapatkan petunjuk Allah lantas mengakhiri hidupnya dengan husnul-khatimah.

Demikianlah pula halnya dengan anugerah Lailatu-Qadr. Malam penuh kemuliaan yang bisa menjamin seseorang hidup mulai sepanjang hayat itu tidak akan turun kepada sembarang orang. Jangan mimpi, mereka yang tidak peduli terhadap malam Ramadhan yang lain, lantas ‘menghadang’ Malam Qadar di akhir Ramadhan. Jangan pula berkhayal bisa mendapatkannya bila kehidupan sehari-hari sebelumnya penuh dengan kesia-siaan dan kemaksiatan. Allah tidaklah bodoh dengan memberikan anugerah ke tangan yang salah.

Sebuah karunia – yang bisa disetarakan dengan hadiah atau penghargaan – senantiasa hanya akan diberikan kepada mereka yang layak untuk mendapatkannya. Allah memang bersifat Rahman, yang berarti selalu memberikan kasih sayang kepada semua makhluk tanpa pandang bulu. Tetapi kasih sayang berupa rezeki itu sebenarnya tidak selalu membawa penerimanya kepada kondisi yang lebih baik. Tergantung bagaimana mereka menyikapi dan menggunakannya. Hamba yang tidak mendapatkan rezeki itu untuk sesuatu yang bermanfaat dunia akhirat. Justru fasilitas dari Allah itu dipergunakannya untuk melicinkan jalan kemaksiatan. Orang demikian, layaknya adalah mendapatkan hukuman, bukan penghargaan.

Karena itu, tiada jalan lain untuk mendapatkan karunia besar Allah berupa Malam Qadar kecuali dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas semua unsur peribadatan. Prosesnya pun tidak bisa sebentar. Bila tahun ini tak tertangkap, mungkin tahun depan. Bahkan mungkin bertahun-tahun. Setelah Allah melihat tingkat keistiqamahan, melihat kesungguhannya, melihat pengorbanannya, melihat jihad dan hijrahnya, dan lain-lainnya, barulah ‘pengakuan’ diberikan. Caranya bisa bermacam-macam, salah satunya dengan dipertemukannya dengan Malam Qadar.

Apakah bila demikian, kemudian kita yang merasa diri belum cukup baik ini tak perlu melakukan sesuatu untuk menyongsong Malam Ramadhan? Tentunya juga tidak. Malam-malam di bulan Ramadhan, pada hari keberapa pun, tetap perlu untuk dihidupkan sebagaimana anjuran Nabi saw. Kita meningkatkan voluma dan kualitas ibadah di akhir Ramadhan pun sebenarnya dalam rangka memenuhi perintah Nabi saw. Adapun tentang menjumpai Malam Qadar, itu akan terjadi secara otomatis bila setiap malam kita sudah aktif. Sungguh wajar, orang yang biasa melek malam akan menyaksikan sesuatu yang terjadi pada malam hari. Bila meleknya diisi dengan main kartu di gardu, maka yang disaksikannya paling-paling adalah kejar-kejaran anjing dengan kucing, misalnya. Tetapi mereka yang terbiasa mengisi malam harinya dengan sesuatu yang bermanfaat, mengisi hari sesuai anjuran Nabi, maka mereka akan mendapatkan lebih banyak jalan untuk berbuat baik.

Malam Qadar ibarat sebuah ‘pengakuan’ dari Allah, sekaligus pengumuman kepada khalayak bahwa sang penerima layak mendapatkan predikat yang mulia.

Tuesday, July 05, 2011

Promo G24TIS

Oke, kali ini -daripada garing, ato emang bakalan garing ya?- saya mo crita soal promo dari provider kartu GSM yang telah saya pake sejak awal menggunakan ponsel.
Berikut pesan yang saya terima pertama kali setelah melengkapi proses registrasi ke 4444:
Pendaftaran nomor anda berhasil. Terima kasih.
Sender:
4444
Sent:
06:15:44
31.01.2011

Untuk informasi, kartu yang saya pakai ini adalah yang berisi pulsa Rp.2.400,- dimana bagian depan bungkus kartu terdapat tulisan MU24H itu M3 : IM3 Langsung Online dengan beberapa keterangan antara lain: Rp.2.400,- pulsa (jelas), Rp.24/menit nelpon (blom tau karena jarang telpon:-D), 240 SMS G24TIS, dan 24Mb G24TIS.

Dua yang saya sebutkan terakhir yang "terasa" bagi saya, yaitu 240 SMS G24TIS dimana promo ini cukup mengirimkan dua SMS berbayar lalu setelahnya kita dapat bonus 240 SMS ke semua operator, DENGAN CATATAN: pulsa yang kita miliki diatas seribu rupiah. Dalam masa aktif tentunya. Sementara untuk yang bonus data 24Mb saya peroleh ketika umur kartu yang ke-31, saya mendapat pesan dari provider:

Selamat, kamu dpt gratis sampai 240 SMS/hari ke semua operator dan tambahan bonus data 3Mb berlaku 30 hari. Nikmati gratis 5Mb jika masih aktif di hari ke-61
Sender:
INDOSAT
Sent:
10:07:22
03.03.2011

Nah, lepas dari perhitungan 1Mb = 1024kb, yang semestinya kalo 3Mb berarti 3072kb, ketika saya cek berapa tepatnya bonus’an yang didapat (dengan menekan *555*2#, “Yes/Ok”), tercatat 3000kb di layar ponsel.
Lumayan deh, yang 72kb-nya buat amal…..:-D

Back to topic, tentunya saya tidak menyia-nyiakan bonus tersebut. Lagian saya beli perdana dengan promo tersebut memang tujuannya biar dapat bonus’an, mengingat saya udah dapat ponsel yang bisa untuk ber’internet ria, khususnya fesbuk.

Tigapuluh hari berikutnya, pesan yang sama namun dengan bonus data yang lebih besar dari sebelumnya saya dapat.

Selamat, kamu dpt gratis sampai 240 SMS/hari ke semua operator dan tambahan bonus data 5Mb berlaku 30 hari. Nikmati gratis 7Mb jika masih aktif di hari ke-91
Sender:
INDOSAT
Sent:
07:08:50
02.04.2011

Dan tetap 7Mb dikonversikan ke 7000kb, bukan 7168kb (78x1024).
Dengan motivasi dan rasa kepenasaran yang lumayan besar, kartu ini tetap saya “pelihara”.
Hasilnya:
Selamat, kamu dpt gratis sampai 240 SMS/hari ke semua operator dan tambahan bonus data 7Mb berlaku 30 hari. Nikmati gratis 9Mb jika masih aktif di hari ke-121
Sender:
INDOSAT
Sent:
16:01:52
01.05.2011

Jadi bila kita runut besarnya bonus data dari awal, 3Mb + 5Mb + 7Mb = 15Mb. Dan akan mendapat tambahan sebesar 9Mb sehingga total bonus data yang saya terima dari awal adalah 24Mb. Sesuai sekali dengan promo G24TIS, yaitu: gratis bonus data 24Mb yang di-breakdown ke sekian bulan/hari (5 bulan ya?) setelah kartu aktif.

Nah, dengan asumsi tersebut (setelah mendapat bonus data yang ketiga, yaitu sebesar 7Mb), sudah pasti setelah waktu tersebut TIDAK AKAN ADA LAGI bonus data yang akan diterima seandainya kartu saya (yang masuk program promo G24TIS) tersebut masih aktif.
Okelah, namanya juga coba-coba. Setidaknya saya dapat pengalaman.

Tiga puluh hari berselang, pesan yang saya nantikan datang:
Selamat, kamu dpt gratis sampai 240 SMS/hari ke semua operator dan tambahan bonus data 9Mb berlaku 30 hari.
Sender:
INDOSAT
Sent:
12:52:01
01.06.2011

Namun coba kita amati dari pesan tersebut (untuk pemberitahuan dengan bonus data 9Mb). Bandingkan dengan ketiga pesan pemberitahuan bonus data yang sebelumnya. Tidak ada kata-kata “Nikmati gratis…jika masih aktif…”, bukan?
Saat itu, sudah jelas saya beranggapan bahwa SETELAH INI, ato ketika masa berlaku bonus data 30 hari habis, TIDAK AKAN ADA BONUS DATA LAGI.

Fine lah…
Saya masih ada nomor utama kok. Kan saya beli nomor itu buat coba-coba. Hehehe…

Lalu saya kaget bukan main, saat mendapat pesan dari INDOSAT:
Selamat, kamu dpt gratis sampai 240 SMS/hari ke semua operator dan tambahan bonus data 9Mb berlaku 30 hari.
Sender:
INDOSAT
Sent:
16:05:47
30.06.2011

Nah, tuh kan??!!
Lihat tanggal kirim pesan tersebut. Tertanggal 30 Juni?!?! Bulan Juni ada 30 hari, kan? Bukan 31 hari. Secara model manut-manut’an ama SMS itu, seharusnya saya mendapat pemberitahuan bonus tersebut pada tanggal 1 Juli. Ya kan?

Kalau Anda tau apa yang ada di dalam pikiran saya waktu itu, besar kemungkinan Anda akan tertawa ngakak. Why? Karena saya beranggapan kalo “wah, si provider niat nggodain nih…”.
Kok bisa? Jelas aja dunk!!
Siapa sih yang ga nolak dapat bonus’an? Belom ada 30 hari lagi…
Dimana kenyataannya saya sudah info ke teman-teman bahwa nomor tersebut sudah saya pensiunkan per Juli 2011. Kalo udah gini, nomor tersebut masih on tentunya. Yang jelas, pulsanya tinggal 50,2 rupiah.
Makasih INDOSAT, …bener-bener kamu nggodain aku. :-P
Semoga sebulan’an lagi masih ada bonus data di nomor yang ini. *dasar*

Tuesday, June 07, 2011

Saya Kecewa, mBak.....

Bisa dikatakan, toko Anda selalu dijejali pelanggan setiap kali buka. Yang beli handphone lah, casing lah, asessoris lah, flashdisk lah, kartu memori lah, …semua sarwo ono (serba ada) kalo urusan pernik-pernik handphone. Bahkan terhitung tiga kali saya sempat datang tapi toko Anda tutup, mBak. Bisa jadi (1) saya yang tidak tahu jam buka toko; (2) kemungkinan besar karena saya jarang banget punya urusan dengan yang namanya handphone. Bahkan kalau sampeyan (Anda) pengin tahu berapa kali saya punya handphone, belum ada dalam hitungan jari satu tangan.
Itulah yang menjadi pertimbangan ketika saya punya handphone lumayan bagus, saya memutuskan untuk TETAP mendatangi toko Anda, mBak. Mestinya saat itu juga saya langsung meluncur ke toko Anda untuk memasangkan screen guard (plastik pelapis layar handphone). Namun baru beberapa hari kemudian saya baru bisa “menyempatkan” diri, serta mengingat “kalau handphone ini tidak segera saya pasangi screen guard, nanti bisa percuma karena alasnya sudah terlanjur terkena debu.”
Petaka (bagi saya) terjadi saat …udah deh ini gambarnya:


(3) Apakah instruksi saya yang kurang jelas tersampaikan di telinga Anda, atau (4) sampeyan tidak mau ribet dengan permintaan “pelanggan baru” Anda.
Karena tidak sesuai dengan apa yang saya maksudkan, untuk kali kedua saya minta ganti lagi (dan membayar lagi, tentunya). Kali ini saya manut dengan APA YANG ANDA BISA, mBak. Coba deh, sebenarnya dimana letak error-nya.
Kekecewaan saya bertambah karena kali kedua ini saya baru DISODORI nota. Kecewa bangett…. :-(

Friday, May 27, 2011

Kota Kediri Diserbu Mall

Pemilik Toko Terancam Gulung Tikar
Menjamurnya pengusaha mal yang memperluas usahanya di Kota Kediri menjadi ancaman serius bagi para pengusaha lokal. Bisa jadi, pengusaha lokal yang membuka usaha di pertokoan dan rumah toko (ruko) terancam gulung tikar.

Saat ini, di Kota Kediri sudah berdiri dua mal besar, Golden Swalayan (buka tahun 1994) serta Kediri Mall (dahulu bernama Sri Ratu, buka tahun 2001) di Jalan Hayam Wuruk. Dua mal besar lainnya kini tengah dibangun, yakni Ramayana Mall di Jalan Panglima Sudirman dan Matahari Mall yang berlokasi di Jalan Hasanudin.

Berdasarkan survei yang dilakukan Aliansi Mahasiswa Peduli Pembangunan Kota Kediri (AMPPK2) dampak dari berdirinya Kediri Mall dalam tiga tahun terakhir, telah mengakibatkan tutupnya puluhan pengusaha pertokoan. Sebagian besar pemilik usaha toko yang tutup itu merupakan warga ber-KTP Kota Kediri.

“Dari hitungan kami, setiap tahun sekitar 30 persen pemilik toko dan ruko yang tutup karena usahanya sepi. Mereka kalah bersaing dengan mal dan pasar swalayan,” ungkap Aris Cahyo Widigdo, Koordinator AMPPK2.

Dampak dari keberadaan satu mal saja sudah membuat usaha pertokoan banyak yang gulung tikar. Diprediksi jika ada dua atau tiga mal besar yang mulai beroperasi, bisa dipastikan semakin banyak lagi pengusaha toko yang terancam bangkrut.
Dijelaskan Aris, berdasarkan hasil penelitiannya keberadaan Kediri Mall telah membuat pengusaha toko menjadi kalah bersaing dalam pelayanan. “Mayoritas pengunjung sekarang lebih suka belanja di mal yang lebih luas dan nyaman,” tambahnya.

Ancaman Serius
Aris juga memprediksi pembangunan Ramayana Mall di Jalan Panglima Sudirman diprediksi mematikan ratusan usaha pertokoan dan ruko yang ada di daerah sekitarnya. Termasuk pertokoan yangada di Jalan Dhoho yang selama ini menjadi ikon pusat bisnis di Kota Kediri.

Usaha pertokoan di Kota Kediri diprediksi banyak yang gulung tikar karena pengunjung tersedot belanja di mal yang lebih besar. “Sebagian pengusaha toko yang kami temui juga mengaku khawatir usahanya terancam karena dipastikan mereka akan kalah bersaing,” ungkapnya.

Aris juga mempertanyakan izin analisa mengenai dampak lingkungan (Amdal) pembangunan Ramayana Mall karena sampai sekarang warga yang ada di sekitarnya belum pernah dimintai persetujuan. Pembangunan Ramayana Mall kini terus dikebut pagi hingga malam karena ditargetkan sebelum bulan puasa mendatang sudah harus tuntas. Warga sekitar juga mengeluhkan suara bising mesin proyek yang tetap menderu di malam hari.

Menyusul kekhawatiran warga tersebut, AMPPK2 telah mengirimkan surat petisi ke DPRD Kota Kediri. Para mahasiswa meminta anggota dewan untuk lebih pro aktif memberikan perlindungan kepada para pengusaha lokal yang terancam serbuan pengusaha mall.
“Kami minta anggota dewan lebih pro aktif memberikan proteksi pengusaha lokal. Paling tidak pendirian toko modern harus sesuai dengan tata ruang yang ada di Kota Kediri,” tambahnya.

Dikonfirmasi terpisah, Kabag Humas Pemkot Kota Kediri, Tri Krisminarno menjelaskan izin Amdal pembangunan Ramayana Mall tidak ditangani pemkot, tapi langsung ditangani Kantor Lingkungan Hidup Pemprov Jatim. “Setahu kami sudah proses sidang penetapan. Tapi apakah izin Amdal-nya sudah turun atau belum yang mengetahui permohonannya,” jelasnya.

Dari Segi Modal, Kami Kalah Telak
Salah satu pengusaha toko di Kota Kediri saat dikonfirmasi mengaku kini mulai resah dan gelisah menyusul semakin banyaknya pengusaha mal yang berinvestasi di kotanya. Masalahnya, serbuan mal tersebut bakal mematikan pengusaha lokal.

“Dari segi permodalan jelas kami akan kalah telak. Mereka mengambil barang langsung dari pabrikan, sedangkan kami harus lewat agen sehingga selisih harganya sudah besar,” ungkap pengusaha yang minta namanya tidak dikorankan.

Diakuinya, dengan adanya tambahan dua mal besar di Kota Kediri pada tahun ini dipastikan usahanya kalah bersaing. Apalagi lokasi kedua mal itu menjepit kawasan pertokoan di Jalan Dhoho karena Ramayana berlokasi di sisi selatan dan Matahari di utara.

“Dua mal itu dikenal pakaian dan alat kebutuhan sehari-hari lebih unggul. Padahal mayoritas pemilik toko di Jalan Dhoho penjual baju dan kebutuhan sehari-hari, sehingga usaha kami juga terancam,” papar pengusaha yang membuka usaha di Jalan Dhoho. Diungkapkan, kalangan pengusaha juga menyesalkan tidak adanya perlindungan bagi pengusaha lokal dari aparat pemerintah. Sehingga dua mal besar itu lolos mendapatkan perizinan membuka usaha di Kota Kediri.

“Prospek usaha di Kota Kediri memang sangat bagus, tapi kalau yang berebut semakin banyak, kami yang bermodal kecil bakal tersisih. Ke depan, pengusaha lokal hanya jadi penonton saja,” tuturnya.

Lebih Selektif Terbitkan Izin
Anggota DPRD Kota Kediri, H. Sunarko mengakui keberadaan mal akan membawa dampak negatif dan positif. Dampak negatifnya, pengusaha kecil pertokoan bakal terancam, namun positifnya mampu menyerap banyak tenaga kerja.

Untuk mengantisipasi dampak negatifnya, pemkot harus lebih selektif mengeluarkan izin Amdal. Selain itu, tambahan mal harus dikaji lebih mendalam sehingga tidak merugikan. “Menjamurnya Alfamart dan Indomaret saja memberi dampak bagi usaha toko kecil, apalagi ada mal,” tambahnya.

Produk Lokal Harus Diberi Tempat
Wakil Wali Kota Kediri Abdullah Abubakar mengakui serbuan pengusaha mal bakal mengancam eksistensi para pengusaha lokal. Selain itu, semakin menjamurnya mal juga mengakibatkan tingkat konsumsi menjadi tinggi sehingga berpengaruh pada tingkat inflasi.

Dijelaskan Abdullah, tambahan dua mal besar berdampak semakin terjepitnya pengusaha toko yang umumnya dimiliki pengusaha lokal. “Kami sendiri juga kaget, ternyata ada dua mal besar yang akan beroperasi mulai tahun ini,” ujarnya.

Untuk mengantisipasi dampak negatifnya, pihak pemkot akan membuat agreement dengan para pengusaha mal untuk memberikan peluang masuknya produk-produk lokal.
“Produk lokal Kota Kediri harus diberi tempat yang layak dipasarkan di mal, termasuk tenaga kerja yang bakal diserap nanti 90 persen harus memprioritaskan masyarakat kota,” tandasnya.

Thursday, May 26, 2011

Mesin Penyedot Pul$a Bernama RBT

“Terima kasih untuk tetap berlangganan RBT Dirimu Satu”. Kalimat tersebut tiba-tiba masuk ke HP saya. Satu hal yang sangat aneh, karena saya tidak pernah mendaftarkan diri ke 1212 ataupun tertarik dengan RBT. Bagi saya RBT tak lebih dari mesin penyedot pulsa konsumen. Di beberapa situs forum seperti kaskus ternyata kasus seperti yang saya alami banyak pula dialami pengguna telepon dengan semua provider.

Hingga kini saya lihat Badan Regulasi dan Telekomunikasi Indonesia (BRTI) belum bisa membenahi karut-marut masalah ini. Yang paling mengenaskan lagi, di situs 3 (Tri), tidak dijelaskan secara gamblang bagaimana menghentikan RBT. Untuk sekedar menghentikan RBT ini saja, saya harus menelusuri internet dan membuka situs-situs diskusi atau blog uneg-uneg konsumen. Satu hal yang pasti untuk unreg saja kita harus membuang-buang pulsa, lebih dari sepuluh ribu rupiah pulsa kita tersedot untuk hal remeh seperti ini.

Setelah saya cek ternyata modusnya pertama konsumen diberi layanan RBT gratis, yang ternyata menjadikan dalih bagi provider untuk mengesahkan bahwa pengguna tertarik dengan RBT. Lepas dari setuju atau tidak, pulsa pelanggan akan terpotong secara otomatis. Sampai kapan hal ini akan berakhir? Berapa pengguna seluler lagi yang akan diakali? Sampai kapan pula kita terganggu dengan iklan-iklan dari provider yang sering menjebak kita.

Sunday, May 22, 2011

Bendera Pusaka dan Paskibraka

Sejarah Bendera Pusaka
Proklamasi Kemerdekaan RI dikumandangkan pada hari Jum’at, 17 Agustus 1945, pukul 10 pagi di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Setelah pernyataan kemerdekaan Indonesia, untuk kali pertama secara resmi bendera kebangsaan Merah Putih dikibarkan oleh dua orang muda-mudi dan dipimpin Latief Hendraningrat. Bendera ini dijahit tangan oleh Ibu Fatmawati Soekarno (ukuran 185x275cm) dan bendera ini pula yang kemudian disebut “Bendera Pusaka”.Bendera pusaka berkibar siang dan malam di tengah hujan tembakan sampai Ibukota Republik Indonesia dipindahkan ke Yogyakarta pada tahun 1946. Bendera Pusaka dibawa ke Yogyakarta dan dimasukkan dalam kopor pribadi Presiden Soekarno. Selanjutnya Ibukota Republik Indonesia dipindahkan ke Yogyakarta.

Tanggal 19 Desember 1948, Belanda melancarkan agresi militer yang kedua. Pada saat Istana Presiden Gedung Agung Yogyakarta dikepung oleh Belanda,Presiden memanggil Hussein Mutahar dan menugaskannya untuk menyelamatkan Bendera Pusaka.

Untuk menyelamatkan Bendera Pusaka itu, Hussein Mutahar harus memisahkan antara bagian merah dan putihnya. Dengan dibantu Ibu Perna Dinata, benang jahitan diantara bendera pusaka tersebut berhasil dipisahkan. Selanjutnya, bendera pusaka tersebut dimasukkan pada dasar dua tas milik Hussein Mutahar untuk menghindari penyitaan yang dilakukan tentara Belanda.

Setelah sekian lama dan merasa aman, Hussein Mutahar menjahit kembali bendera pusaka yang terpisah dua itu dengan meminjam mesin jahit milik seorang istri dokter. Akan tetapi, dua centimeter dari ujung bendera pusaka terdapat sedikit kesalahan jahitan. Kemudian hari, dengan dibungkus kertas koran, bendera pusaka tersebut diserahkan kembali kepada Presiden RI Soekarno di Bangka (tempat pengasingan) melalui Bapak Soejono (Delegasi RI).

Sebagai penghargaan atas jasa menyelamatkan Bendera Pusaka yang dilakukan oleh Hussein Mutahar, Pemerintah RI telah menganugerahkan Bintang Mahaputra pada tahun 1961 yang disematkan sendiri oleh Presiden Soekarno.

Pengibaran Bendera Merah Putih di Gedung Agung Yogyakarta
Menjelang peringatan Hari Ulang Tahun Ke-2 Kemerdekaan Republik Indonesia, Presiden Soekarno memanggil salah seorang ajudan beliau, Mayor (L) Hussein Mutahar. Selanjutnya Hussein Mutahar diberikan tugas mempersiapkan dan memimpin upacara peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1946 di halaman Istana Presiden Gedung Agung Yogyakarta.

Hussein Mutahar mempunyai pemikiran bahwa untuk menumbuhkan rasa persatuan bangsa, maka pengibaran Bendera Pusaka sebaiknya dilakukan oleh pemuda se-Indonesia. Kemudian beliau menunjuk 5 (lima) orang pemuda yang terdiri atas 3 (tiga) putri dan 2 (dua) putra perwakilan daerah yang berada di Yogyakarta. Penunjukan atas 5 (lima) orang tersebut sebagai simbol dari Pancasila.

Pengibaran Bendera Pusaka ini berlanjut tahun berikutnya sampai tahun 1949 di Yogyakarta. Setelah empat tahun ditinggalkan, Jakarta kembali menjadi Ibukota RI. Pada hari itu, Bendera Pusaka Sang Merah Putih juga dibawah ke Jakarta.

Untuk kali pertama peringatan HUT Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1950 diselenggarakan di Istana Merdeka Jakarta. Regu-regu pengibar dari tahun 1950-1966 dibentuk dan diatur oleh Rumah Tangga Kepresidenan.

Pembentukan Pasukan Pengerek Bendera Pusaka Tahun 1967-1968
Tahun 1967, Hussein Mutahar dipanggil oleh Presiden Soeharto ke Istana Negara Jakarta untuk menangani lagi masalah Pengibaran Bendera Pusaka. Dengan ide dasar dari pelaksanaan upacara tahun 1946 di Yogyakarta, beliau kemudian mengembangkan lagi formasi pengibaran menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu:
  1. Kelompok 17/Pengiring(PEMANDU)
  2. Kelompok 8/Pembawa (INTI)
  3. Kelompok 45/Pengawal
Ini merupakan simbol dari tanggal Proklamasi Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945 (17-8-45). Pada waktu itu, dengan situasi kondisi yang ada, beliau melibatkan putra daerah yang ada di Jakarta dan menjadi anggota Pandu/Pramuka untuk melaksanakan tugas Pengibaran Bendera Pusaka.

Semula rencana beliau untuk kelompok 45 (pengawal) akan terdiri atas para Mahasiswa AKABRI (Generasi Muda ABRI). Akan tetapi ketika ada usulan lain menggunakan anggota Pasukan Khusus ABRI (seperti RPKAD, PGT, Marinir dan Brimob) juga tidak mudah, akhirnya kelompok 45 (pengawal) diambil dari Pasukan Pengawal Presiden (PASWALPRES) yang mudah dihubungi dan sekaligus mereka bertugas di Istana Negara.

Pada 17 Agustus 1968, petugas pengibar Bendera Pusaka adalah para pemuda utusan propinsi. Tetapi propinsi-propinsi belum seluruhnya mengirimkan utusan sehingga masih harus ditambah oleh eks anggota pasukan pengibar tahun 1967.

Tanggal 5 Agustus 1969, di Istana Negara berlangsung upacara penyerahan duplikat Bendera Pusaka Merah Putih dan reproduksi Naskah Proklamasi oleh Presiden Soeharto kepada Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I seluruh Indonesia.

Bendera duplikat pusaka mulai dikibarkan menggantikan Bendera Pusaka pada peringatan Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1969 di Istana Merdeka Jakarta, sedangkan Bendera Pusaka hanya bertugas mengantar dan menjemput bendera duplikat yang dikibar/turunkan. Dengan demikian Bendera Pusaka terakhir kali dikibarkan pada 17 Agustus 1968.

Pada tahun 1969, secara resmi anggota PASKIBRAKA adalah para remaja siswa SMTA se-tanah air Indonesia yang merupakan utusan dari 26 propinsi di Indonesia, dan tiap propinsi diwakili oleh sepasang remaja (putra dan putri). Dari tahun 1967 sampai tahun 1972, anggota yang terlibat sebagai pasukan pengibar masih dinamakan sebagai anggota “Pasukan Pengerek Bendera Pusaka” atau PASERAKA.

Patut dicatat disini, pada tanggal 17 Agustus 1969, bendera pusaka sudah tidak lagi dikibarkan di Istana Negara karena dianggap sudah terlalu tua, sehingga dibuatlah duplikatnyadari bahan bendera (wool). Bendera duplikat pusaka terbuat dari katun Inggris tanpa jahitan dengan ukuran 200x300cm dan dibuat oleh Balai Penelitian Tekstil Bandung dibantuk oleh PT. Ratna di Ciawi, Bogor.

Pada tahun 1973, salah seorang Pembina yang berama Idik Sulaeman melontarkan suatu nama untuk Pasukan Pengibar Bendera Pusaka dengan sebutan PASKIBRAKA. PAS berasal dari PASukan, KIB berasal dari KIBar mengandung pengertian pengibar, RA berarti bendeRA dan KA berarti pusaKA. Mulai saat itu singkatan anggota Pasukan Pengibar Bendera Pusaka adalah PASKIBRAKA.

Keterangan:
PASWALPRES sekarang disebut Pasukan Pengamanan Presiden (PASPAMPRES)