Saturday, August 27, 2011

Idul Fitri, hari kasih sayang

Dua hari lagi insya’ Allah kita akan ditinggalkan Ramadhan. Bulan mulia yang penuh barokah. Ibaratnya, Ramadhan adalah bulan idola bagi orang-orang beriman. Bulan yang ditunggu-tunggu kedatangannya, dan disesali kepergiannya. Persis sebagaimana kalau kita bertemu idola kita, lantas ditinggalkan. Ada perasaan senang karena bisa bertemu dengan pujaan, tapi lantas kecewa lantaran ditinggalkannya.

Sebulan penuh kita bergaul dan bergumul dengan bulan sang ‘idola’ itu. Tidak sedikit peristiwa yang terjadi, banyak adegan yang sungguh menarik, seluruhnya sangat menyenangkan hati. Sungguh sangat berat untuk meninggalkan bulan yang penuh pengampunan dan selaksa rahmat.

Dari lubuk hati yang paling dalam, andaikata boleh meminta, akan muncul rengekan, Ramadhan jangan berangkat pergi. Sebab, sementara hati lagi asyik, hanyut tenggelam dalam kenikmatan, merasakan enaknya sentuhan cintanya, sehingga kepergiannya hampir seperti dipaksakan, air mata pun terpaksa ikut melepas turut menjadi saksi.

Memang seperti itulah kita selalu. Nanti setelah segalanya berlalu, setelah Ramadhan lewat, barulah muncul seribu sesal, meratapi segala apa yang lewat, menerima keadaan penuh kecewa. Setelah seluruhnya terlambat, barulah tersentak ingin berbuat. Apa yang ditolak kemarin dulu, sekarang baru dia tahu, kalau ternyata ia adalah ratna mutu manikam.
Itulah yang pernah dibayangkan Nabi, bahwa hari seperti ini peka sekali, mudah mengundang kenangan lama. Barang yang hilang kembali terbayang, mereka yang telah mati semua teringat. Anak-anak yatim tentu saja teringat kepada kedua orang tuanya. Apa yang mereka perbuat di hari-hari ini kalau bukan pergi menangis pilu.

Coba kita renungi nasib mereka. Bagaimana nasib para anak yatim pada hari bahagia seperti ini, ketika ia melihat anak-anak yang lain lalu-lalang, datang dan pergi bergandengan tangan dengan orang tuanya, diselingi ketawa penuh bahagia serta peluk cium yang begitu mesra sambil bergurau sepanjang jalan.

Alangkah pedih rasa hatinya. Jantungnya seperti diiris-iris sembilu, terbayang dulu ketika bersama orang tuanya di saat dia dimanja. Itu sekarang yang jadi terangsang, kepingin lagi merasakan hangatnya pelukan sayang seorang ayah, sejuknya ciuman cinta seorang ibu, seperti yang sementara dia saksikan. Aduh alangkah enaknya mereka yang punya ayah dan ibu, dan alangkah sakitnya si yatim yang malam itu. Baginya semua pemandangan yang ia saksikan, menyayat-nyayat hati.

Suasana Hari Raya memang dapat mengundang perasaan ini. Semua orang bersuka ria, mengenakan pakaian baru, berbondong-bondong ke lapangan, berbaris-baris bersilaturrahim.

Kendati pun si yatim mencoba menahan tangisnya dengan menggigit bibirnya keras-keras, sambil merenungi nasibnya yang malang, pahitnya hidup jadi anak yatim, tidak akan mungkin lagi merasakan nyamannya hidup punya ayah dan enaknya hidup bila punya ibu. Namun manakala dia sadari bahwa harapannya itu hanya khayalan, barulah tangisnya mulai kedengaran dengan suara yang putus-putus, sambil terisak-isak mulai menyesali dirinya.

Sesungguhnya mereka sudah menyadari bahwa harapannya itu hanyalah khayalan, namun tempo-tempo masih juga terlintas dalam pikirannya, alangkah bahagianya sekiranya diperkenankan bisa kembali dapat berlebaran bersama-sama dengan ayah bundanya serta kakak adiknya, walau hanya sesaat saja. Sambil menatap wajah semua orang, seolah-olah dia bertanya, kemana bisa mencari ayah, dan siapa mau menjadi ibu. Hampir begitu rata-rata maknanya tatapan mata setiap anak yatim pada hari bahagia seperti ini.

Rasulullah tahu persis keadaan ini. Itulah sebabnya pada hari-hari seperti ini, beliau membawa pulang ke rumahnya anak yatim yang didapati menangis sedih di pinggir jalan. Dimintanya istrinya menjadi ibunya dan beliau sendiri jadi ayahnya. Mereka diperlakukan persis seperti anaknya, dituntun kembali ke lapangan berlebaran bersama-sama.

Sederhana saja peristiwa itu sesungguhnya, tapi ia telah melukiskan ruh ajaran Islam yang menekankan kasih sayang kepada sesama ummat manusia. Allah berfirman, “Tidak Kami utus engkau kecuali untuk rahmat bagi semesta alam.” (QS. al-Anbiya’: 107)

Inilah misi Islam sesungguhnya, misi kasih sayang buat segenap penduduk dan penghuni semesta alam.


Tidak ada ajaran untuk merusak. Tidak ada ajaran untuk mengacau. Yang ada hanyalah menyebarkan kasih sayang, menolong dan menyantuni pihak yang lemah, pemerataan jalur kebahagiaan, pemerataan jalur senyum buat sesama umat manusia.

Jangankan mengacau, jangankan merusak, jangankan bikin keributan, dalam ajaran Islam, marah sudah merupakan amal yang terlarang.

Sehingga perjuangan Islam pada dasarnya adalah usaha untuk membagi dan meratakan kasih sayang untuk segenap umat manusia, bukan untuk kepentingan umat Islam saja.

Itulah citra ajaran Islam sebenarnya. Seluruh syariatnya selalu ditandai adanya unsur kasih sayang di dalamnya. Setiap pelaksanaan ajaran Islam harus memercikkan kasih sayang yang dapat dinikmati orang lain. Bila tidak demikian, maka berarti ada kekeliruan dalam pelaksanaannya.

Kita ambil contoh, puasa umpamanya. Orang di luar Islam pun merasakan hasilnya. Mereka merasa mendapat percikan kasih sayang yang dihasilkan bulan Ramadhan yang berupa ketertiban, keamanan, dan ketenangan.

Itulah sesungguhnya ajaran Islam, dan inilah seharusnya yang diperjuangkan, Islam tegak di muka bumi didorong oleh harapan supaya dunia ini dapat merasakan dosis kasih sayang yang cukup sebagai kebutuhan manusia sekarang.

Kita memperjuangkan Islam tidak lain kecuali ingin mematahkan kedzaliman, tirani, pemerkosaan hak, dan kesewenang-wenangan, agar umat manusia dapat merasakan perdamaian hidup, kebahagiaan, dan kenyamanan. Kita ingin semua orang dihormati hak-haknya, dijamin kemerdekaannya.

Adalah keliru sekali kalau istilah perjuangan Islam, jihad fi sabilillah ditanggapi dengan pengertian mengacau, membunuh, merusak, teror, penyanderaan, dan lain-lain. Tugas kita adalah memperbaiki citra ajaran Islam kembali.

Karenanya adalah wajar dan sungguh manusiawi manakala semua pihak turun tangan untuk membantu setiap kegiatan untuk menegakkan dan membangkitkan Islam dimana-mana.

Siapa pun yang tampil dan maju untuk memperjuangkan Islam dengan emosi, nafsu, ambisi, dan interest pribadi bukan untuk menyebarkan kasih sayang, maka sesungguhnya ia telah merusak citra Islam itu sendiri. Perjuangan demikian pada dasarnya hanya merugikan Islam, mencoreng arang ke muka wajahnya sendiri.

Kita yakin kalau kita berjuang dengan menggunakan cara-cara yang Islami, niscaya semua pihak akan merasa beruntung, tak terkecuali pemerintah. Pemerintah kita semestinya akan merasa tertolong, kalau masih ada yang mau memperjuangkan Islam, sebab dengan demikian berarti membantu mereka mewujudkan dan menciptakan keamanan dan ketenangan, membantu mereka mengurangi kriminalitas dan kejahatan.

Kita bisa periksa isi penjara. Mereka yang ada di sana dapat dipastikan adalah orang-orang yang tidak terbina dengan baik agamanya, tidak melaksanakan dengan baik syariat agamanya.

Dengan demikian, Islam bukan saja boleh diperjuangkan di bumi pertiwi ini, tetapi memang seharusnya atau lebih mutlak diperjuangkan di seluruh penjuru bumi.

Thursday, August 18, 2011

agar Do'a makbul

Pada suatu hari Saad bin Abi Waqqas bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, doakan aku kepada Allah, agar aku dijadikan Allah orang yang makbul doanya." Rasulullah menjawab, “Hai Saad, makanlah yang baik (halal) tentu engkau menjadi orang yang makbul doanya. Demi Allah yang memegang jiwa Muhammad, sesungguhnya seorang yang pernah melemparkan sesuap makanan haram ke dalam mulutnya (perutnya), maka tidaklah akan dikabulkan doanya selama 40 hari. Siapa saja manusia yang dagingnya tumbuh dari makanan yang haram, maka nerakalah yang berhak untuk orang itu.” (HR. Alhaafidh Abubakar bin Mardawih dikutip oleh Alhaafidh Ibnu Kathin dalam tafsirnya).
Sudah lelah rasanya berdoa dan memunajat, namun mengapa Allah tidak pula memperkenankan. Permohonan dan permintaan tidak pula Dia kabulkan. Kadang kecewa dan putus asa bila demikian adanya. Bahkan timbul penilaian, Allah telah ingkar janji dengan perkataan-Nya sendiri. Padahal Dia telah menyatakan, “Ud’uunii astajiblakum”, berdoalah kepadaKu, niscaya Kukabulkan bagimu. Tapi mana buktinya??!

Inilah ucapan dari orang-orang yang tidak pernah mempelajari al-Qur’an dan al-hadits. Mereka tidak mengerti bahwa berdoa itu tidak dikerjakan secara sembrono dan sembarangan, tetapi perlu adab-adab dan syarat-syarat tertentu. Mereka menganggap berdoa ini pekerjaan yang sepele dan gampang. Sehingga mereka sering meremehkan dan akibatnya doa tak pernah dikabulkan. Kemudian timbul persangkaan buruk kepada Allah.

Jadi, apa yang menyebabkan doa tidak dikabulkan? Banyak hal yang menyebabkan permohonan dan permintaan tidak diperkenankan Allah. Sudahkah kita menghindari perut kita dari makanan dan minuman yang diharamkan Allah? Bila masih tetap saja perut kita terisi dengan hal yang haram, tentulah doa yang kita panjatkan tak pernah Allah kabulkan.

Sesuap makanan saja, akan mengakibatkan doa kita selama 40 hari tidak terkabul, apalagi bila makanan haram yang masuk ke perut kita lebih dari sesuap bahkan berkali-kali sehingga tak terhitung lagi, sudah tentu sampai mati pun kita berdoa, Allah tak akan mengabulkannya.

Untuk itu agar doa dikabulkan Allah, perlu pengetahuan dalam tata cara berdoa yang diberitakan Rasulullah. Bagaimana sunnahnya agar permohonan dan permintaan diperkenankan?

Langkah pertama, hindari perut dari kemasukan barang-barang haram. Jangan sampai sesuap pun makanan haram yang kita telan. Jangan seteguk pun minuman haram yang kita minum. Karena hal inilah faktor utama penyebab doa kita tidak terkabul. Selektiflah dalam memilih makanan, yang meragukan sebaiknya ditinggalkan. Pilih saja makanan atau minuman yang benar-benar halal dan baik. Allah berfirman, “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan, karena sesungguhnya syetan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. al-Baqarah: 168)

Memakan makanan yang halal dan baik merupakan salah satu bentuk dari ketaatan kita kepada Allah dalam memenuhi segala perintah-Nya. Bila kita selalu taat kepada Allah dan dalam mengarungi kehidupan ini senantiasa berada dalam kebenaran, tentulah segala apa yang kita mohon, kita panjatkan, dan kita minta pastilah Allah akan mengabulkannya.
Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepadaku maka hendaklah mereka itu memenuhi segala perintahKu dan hendaklah mereka berikan kepadaKu, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. al-Baqarah: 186)
Langkah kedua, karena doa ini pekerjaan yang agung dan sangat utama, sebagai inti ibadah, maka dalam pelaksanaannya harus khusyu’ dan serius tidak dengan main-main. Usahakan dalam berdoa ini dengan penuh keyakinan, penuh harap dan rasa takut. Merendahkan diri dengan suara yang lirih, tenang tidak tergesa-gesa, dengan keimanan, dan tahu akan hakikat yang diminta. Allah telah menyatakan:
Berdoalah kepada Tuhanmu dengan merendah diri dan suara yang lembut…” (QS. al A’raf: 55)

Langkah ketiga, mengetahui waktu-waktu doa dikabulkan. Walaupun berdoa ini bisa dilakukan sembarang waktu, namun ada waktu-waktu yang memang disunnahkan. Insya Allah pada waktu-waktu ini segala doa akan diperkenankan dan dikabulkan.

Di tengah malam yang sunyi dimana orang-orang terlelap dengan tidurnya, ditemani mimpi-mimpi, kita terjaga, berdiri, ruku’, sujud, dan memunajat kepada-Nya dengan penuh kekhusyu’an dan penuh harap, tentulah Allah akan mendengar dan memperkenankan ratapan, permintaan, dan permohonan kita.



Di akhir-akhir shalat fardhu, di waktu tahiyyat akhir (sebelum), adalah waktu-waktu yang sangat tepat untuk berdoa. Doa apa saja, yang mengarah kepada kebaikan, tentu Allah akan mengabulkannya, Rasulullah saw ditanya, “Pada waktu apa doa manusia lebih didengar Allah?” Lalu Rasulullah menjawab, “Pada tengah malam, pada akhir tiap shalat fardhu.” (Mashabih Assunnah)

Selain tengah malam dan akhir shalat fardhu, ada juga waktu-waktu yang dimakbulkan doanya sudah tidak diragukan lagi, dan ini pun merupakan sunnah-sunnah Rasulullah saw. Seperti di sepertiga malam sampai fajar, di antara adzan dan iqamat, di waktu sujud, di bulan Ramadhan, dan di malam lailatul qadar.

Langkah keempat, orang-orang tertentu yang dikabulkan doanya. Walaupun setiap orang yang berdoa kepada Allah dengan sungguh-sungguh dan memenuhi persyaratan-persyaratan akan dikabulkan, namun ada orang-orang yang doanya dijamin diperkenankan Allah. Setiap ratapan doanya didengar dan dikabulkan. Segala permintaan dan permohonannya mesti diberikan tanpa terkecuali. Allah ridha kepada mereka dan begitu menaruh perhatian yang sangat. Allah istimewakan mereka, karena pengorbanan dan pengabdiannya yang tiada tara, akhlak yang mulia dan juga ketabahannya dalam menapaki kebenaran.

Allah istimewakan kedua orang tua yang mengasuh, mendidik, dan menafkahi anaknya dengan penuh kasih sayang. Mereka bimbing anaknya menuju jalan yang diridhai Allah, sampai usia anak dewasa. Orang tua seperti inilah yang segala permintaan dan permohonannya dikabulkan.

Musafir yang berpergian untuk maksud baik dan tujuan mulia, orang yang menolong orang lain yang dalam kesempitan, seorang muslim yang mendoakan teman-temannya yang tidak hadir, dan orang shalih, doanya akan diperkenankan dan dikabulkan Allah swt. Seperti halnya orang tua yang mengasuh anaknya tadi.

Di samping orang-orang yang telah disebut di atas yang dikabulkan doanya, ada juga doa orang-orang yang diangkat Allah ke atas awan, dibukakan pintu langit, dan Allah tidak menolak doanya, yaitu orang yang berpuasa sampai dia berbuka, penguasa yang adil dan orang yang teraniaya.

Ada tiga orang yang tidak ditolak doa mereka: orang yang berpuasa sampai dia berbuka, seorang penguasa yang adil, dan doa orang yang teraniaya. Doa mereka diangkat Allah ke atas awan dan dibukakan baginya pintu langit dan Allah bertitah. Demi keperkasaanKu, Aku akan memenangkanmu (menolongmu) meski tidak segera.” (HR. Tirmidzi).

Dari rangkaian ulasan tentang doa di atas, nyatalah bahwa berdoa itu tidak sembarangan, dan main-main, tapi memerlukan syarat-syarat yang harus dipenuhi, sehingga janji-janji Allah yang akan mengabulkan doa-doa hamba-Nya akan menjadi kenyataan. Namun harus diingat bahwa Allah dalam mengabulkan doa seseorang hambaNya ada yang langsung terkabul di dunia, ada yang ditabung sampai di akherat, dan ada pula diganti dengan mencegahnya dari bencana.

Tiada seorang berdoa kepada Allah dengan suatu doa, kecuali dikabulkanNya dan dia memperoleh salah satu dari tiga hal, yaitu dipercepat terkabulnya baginya di dunia, disimpan (ditabung) untuknya sampai di akherat, atau diganti dengan mencegahnya dari musibah (bencana) yang serupa. (HR. Atthabrani)

Monday, August 15, 2011

Sombong Itu Akan Rugi

Narator : Di siang hari yang sejuk. Para buah yang bersahabat sedang bercakap-cakap di halaman kebun. Mereka pada menyombongkan diri sendiri dan mereka pun tidak ingin mengalah. Akhirnya mereka jadi bertengkar terus.


Pisang : Hei, apel! Apakah kamu sadar bahwa rasamu itu kurang enak?

Apel : Jangan salah, pisang! Rasaku itu enak sekali. Sampai-sampai ada yang mengimpor aku. Selain itu, aku juga bervitamin dan bergizi. Aku pun juga memiliki jenis bermacam-macam seperti : apel merah dan hijau.

Pisang : Aku pun tak kalah denganmu. Coba kamu bayangkan, banyak orang yang suka pisang goreng, bukan? Pisang goreng itu berasal dari aku.

Nanas : Apakah ada pisang dengan rasa manis?

Pisang : Tentu saja ada. Namanya pisang raja.

Nanas : Wah, kalian payah! Coba seperti aku ini. Aku itu asalnya dari Brazil, di Amerika Selatan. Aku pun sering dijadikan bahan minuman yang segar. Aku pun juga bermacam-macam jenisnya, ada nanas Serawak, Moris, Masmerah dan Gandul.

Apel : Apakah tidak ada negara yang mengimpor nanas?

Nanas : Pasti ada. Contohnya seperti Singapura, Brunei, Jepang, Hongkong, Taiwan dan Amerika Serikat.

Jeruk : Asal kalian tahu, bahwa aku ini sangat penting untuk kesehatan tubuh. Karena aku ini mengandung vitamin C. Tanpa aku, pasti semua orang akan terkena penyakit panas dalam.

Anggur : Jika kalian ketahui, aku itu sangat bernilai harganya. Karena aku ini jika diolah dapat menjadi minuman alkohol. Kalian tahu bukan, bahwa hanya orang tertentu yang dapat minum alkohol.

Narator : Mereka pun akhirnya bertengkar terus-menerus. Mereka pada sombong semua. Apakah mereka akan sadar atas kesalahan mereka? Pasti mereka akan sadar.

Apel : Wah, pasti diantara kita semua akulah yang paling hebat.

Anggur : Mana mungkin kamu paling hebat. Jika kamu sudah dipotong dan dibiarkan terbuka, pasti akan cepat busuk.

Nanas : Aku jadi sadar, bahwa kita ini semua juga memiliki kekurangan.

Pisang : Benar juga katamu, nanas.

Jeruk : Jika dipikir-pikir, aku memiliki kekurangan yang juga banyak. Contohnya seperti buahku juga mudah busuk. Jika makan buahku harus diambil bijinya dahulu dan kadang ada buah jeruk yang rasanya kecut.

Apel : Berarti kita semua telah sadar apa yang kita perbuat.

Anggur : Memang kesombongan itu merupakan perbuatan tidak terpuji.

Jeruk : Sombong itu hanya akan membuat persahabatan kita menjadi retak.

Narator : Setelah mereka sadar, mereka saling bermaafan atas kesalahan yang telah diperbuat.

Apel : Maafkan aku, ya! Aku menyesal telah berbuat yang tidak terpuji kepada kalian.

Jeruk : Aku juga minta maaf, ya!

Anggur : Aku juga minta maaf.

Nanas : Aku juga minta maaf atas perbuatanku!

Pisang : Aku juga minta maaf, ya.

Jeruk : Jadi kita sekarang sudah saling berminta maaf dan kita harus saling memaafinya. Dan kita kembali bersahabat.

Narator : Akhirnya para buah kembali bersahabat dengan damai dan tentram.

Monday, August 08, 2011

dimana memburu Malam Qadar

Di akhir Ramadhan ini, yang paling ramai dibicarakan biasanya adalah perburuan ‘Lailatur Qadr’. Apakah ia hadir pada hari tertentu dan hanya untuk orang-orang tertentu?
Nabi s.a.w. menganjurkan ummatnya untuk meningkatkan secara sungguh-sungguh gerak dan semangat ibadah dalam mengakhiri bulan Ramadhan. Anjuran itu bahkan bukan berhenti sebagai ‘perintah’ saja, melainkan dicontohkan langsung. Rasul biasa tidak pulang pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan, kecuali untuk keperluan-keperluan mendesak. Kegiatan beliau terpusat di masjid, siang ataupun malam.

I’tikaf seperti yang dicontohkan beliau itu kini juga sudah banyak diikuti ummatnya. Ada kalangan yang sengaja meliburkan semua kegiatannya di akhir Ramadhan, diganti dengan i’tikaf. Di antara semangat i’tikaf itu ialah untuk mendapatkan kesempatan berjumpa dengan satu malam paling mulia, malam Qadar.



Bahwa malam Qadar memiliki keutamaan yang luar biasa, sudah sama-sama kita ketahui. Bahkan Allah telah memberikan nama terhadap salah satu surah al-Qadr: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Qur’an pada malam Qadar. Dan tahukah kamu, apakah malam Qadar itu? Itulah malam yang lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu para malaikat dan Malaikat Jibril turun dengan izin Rabb-nya untuk mengatur segala urusan. Malam itu penuh kesejahteraan hingga terbit fajar.

Ada yang menghitung seribu bulan dengan 83 tahun lebih, sehingga begitu menggebu untuk mendapatkannya. Tetapi ada pula yang lebih memahami kata ‘seribu bulan’ itu sebagai kiasan bahwa tingkat kemuliaan malam itu memang tiada bandingnya. Umur rata-rata manusia saja tidak sampai 83 tahun, sehingga bila ia mendapati malam itu, berarti sepanjang hidupnya akan penuh dengan kemuliaan.

Tetapi benarkah gampang mendapatkan janji Allah itu? Bagaimanakah sosok dan cara menjumpainya yang memiliki dampak secara nyata? Apakah mungkin mendapatkannya secara kebetulan, ibarat mendapat lotre?

Allah memang Maha Berkehendak. Kalau ia mau, gampang saja menakdirkan si A atau si B untuk mendapatkannya. Tetapi ada yang namanya sunnatullah, sebagai ‘cara’ Allah menetapkan sesuatu yang bisa dipahami oleh hamba-Nya. Sunnatullah itu berlaku universal, penuh keadilan, dan logis, sehingga tidak mungkin mengundang protes. Itulah pula yang berlaku dalam penentuan ‘nasib’ manusia.

Allah telah berfirman, “Sesungguhnya keadaan-Nya, apabila Dia menghendaki sesuatu hanya berkata, ‘Jadilah’, maka ia jadi.” (QS. Yasin: 82)

Tetapi dalam ‘kun’ (jadilah) itu sendiri terkandung ketentuan-Nya yang berupa sunnatullah. Dr. Quraish Shihab menulis dalam salah satu tafsirnya, bahwa ‘kun’ itu tetaplah melalui suatu proses. Hal ini sama sekali bukan dimaksudkan mengurangi kekuasaan Allah, tetapi dalam hubungan dengan hamba-Nya, Allah tetap memberlakukan cara yang biasa dipahami oleh hamba itu. Karena bila tidak demikian, maka bagaimana bisa manusia bisa yakin terhadap janji-janji dan ancaman-Nya? Manusia bisa berdalih, ‘Bila Allah menghendaki saya baik, maka saya akan baik dengan sendirinya.’ Dan bila ternyata tidak, mereka akan menimpakan ‘kesalahan’ itu kepada yang menentukan ‘takdir’.

Karena itu tetap ada keterkaitan antara masuk surganya seseorang dengan amal dia selama di dunia. Sementara untuk bisa beramal yang baik, ia tentu juga harus melakukan upaya sebelumnya. Artinya, hidayah Allah yang menuntunnya kepada kebaikan itu tidak datang dengan begitu saja. Ada proses yang mendahuluinya, yang bersifat subyektif.

Mereka yang tidak pernah berbuat baik kepada orang lain – dan karenanya tidak layak masuk surga – tentu saja juga sulit untuk mendapatkan hidayah semasa di dunia, kecuali ada proses taubat terlebih dahulu. Mereka yang terbiasa makan barang haram, juga tidak bisa berharap terjadi keajaiban lalu tiba-tiba mendapatkan petunjuk Allah lantas mengakhiri hidupnya dengan husnul-khatimah.

Demikianlah pula halnya dengan anugerah Lailatu-Qadr. Malam penuh kemuliaan yang bisa menjamin seseorang hidup mulai sepanjang hayat itu tidak akan turun kepada sembarang orang. Jangan mimpi, mereka yang tidak peduli terhadap malam Ramadhan yang lain, lantas ‘menghadang’ Malam Qadar di akhir Ramadhan. Jangan pula berkhayal bisa mendapatkannya bila kehidupan sehari-hari sebelumnya penuh dengan kesia-siaan dan kemaksiatan. Allah tidaklah bodoh dengan memberikan anugerah ke tangan yang salah.

Sebuah karunia – yang bisa disetarakan dengan hadiah atau penghargaan – senantiasa hanya akan diberikan kepada mereka yang layak untuk mendapatkannya. Allah memang bersifat Rahman, yang berarti selalu memberikan kasih sayang kepada semua makhluk tanpa pandang bulu. Tetapi kasih sayang berupa rezeki itu sebenarnya tidak selalu membawa penerimanya kepada kondisi yang lebih baik. Tergantung bagaimana mereka menyikapi dan menggunakannya. Hamba yang tidak mendapatkan rezeki itu untuk sesuatu yang bermanfaat dunia akhirat. Justru fasilitas dari Allah itu dipergunakannya untuk melicinkan jalan kemaksiatan. Orang demikian, layaknya adalah mendapatkan hukuman, bukan penghargaan.

Karena itu, tiada jalan lain untuk mendapatkan karunia besar Allah berupa Malam Qadar kecuali dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas semua unsur peribadatan. Prosesnya pun tidak bisa sebentar. Bila tahun ini tak tertangkap, mungkin tahun depan. Bahkan mungkin bertahun-tahun. Setelah Allah melihat tingkat keistiqamahan, melihat kesungguhannya, melihat pengorbanannya, melihat jihad dan hijrahnya, dan lain-lainnya, barulah ‘pengakuan’ diberikan. Caranya bisa bermacam-macam, salah satunya dengan dipertemukannya dengan Malam Qadar.

Apakah bila demikian, kemudian kita yang merasa diri belum cukup baik ini tak perlu melakukan sesuatu untuk menyongsong Malam Ramadhan? Tentunya juga tidak. Malam-malam di bulan Ramadhan, pada hari keberapa pun, tetap perlu untuk dihidupkan sebagaimana anjuran Nabi saw. Kita meningkatkan voluma dan kualitas ibadah di akhir Ramadhan pun sebenarnya dalam rangka memenuhi perintah Nabi saw. Adapun tentang menjumpai Malam Qadar, itu akan terjadi secara otomatis bila setiap malam kita sudah aktif. Sungguh wajar, orang yang biasa melek malam akan menyaksikan sesuatu yang terjadi pada malam hari. Bila meleknya diisi dengan main kartu di gardu, maka yang disaksikannya paling-paling adalah kejar-kejaran anjing dengan kucing, misalnya. Tetapi mereka yang terbiasa mengisi malam harinya dengan sesuatu yang bermanfaat, mengisi hari sesuai anjuran Nabi, maka mereka akan mendapatkan lebih banyak jalan untuk berbuat baik.

Malam Qadar ibarat sebuah ‘pengakuan’ dari Allah, sekaligus pengumuman kepada khalayak bahwa sang penerima layak mendapatkan predikat yang mulia.