Friday, May 27, 2011

Kota Kediri Diserbu Mall

Pemilik Toko Terancam Gulung Tikar
Menjamurnya pengusaha mal yang memperluas usahanya di Kota Kediri menjadi ancaman serius bagi para pengusaha lokal. Bisa jadi, pengusaha lokal yang membuka usaha di pertokoan dan rumah toko (ruko) terancam gulung tikar.

Saat ini, di Kota Kediri sudah berdiri dua mal besar, Golden Swalayan (buka tahun 1994) serta Kediri Mall (dahulu bernama Sri Ratu, buka tahun 2001) di Jalan Hayam Wuruk. Dua mal besar lainnya kini tengah dibangun, yakni Ramayana Mall di Jalan Panglima Sudirman dan Matahari Mall yang berlokasi di Jalan Hasanudin.

Berdasarkan survei yang dilakukan Aliansi Mahasiswa Peduli Pembangunan Kota Kediri (AMPPK2) dampak dari berdirinya Kediri Mall dalam tiga tahun terakhir, telah mengakibatkan tutupnya puluhan pengusaha pertokoan. Sebagian besar pemilik usaha toko yang tutup itu merupakan warga ber-KTP Kota Kediri.

“Dari hitungan kami, setiap tahun sekitar 30 persen pemilik toko dan ruko yang tutup karena usahanya sepi. Mereka kalah bersaing dengan mal dan pasar swalayan,” ungkap Aris Cahyo Widigdo, Koordinator AMPPK2.

Dampak dari keberadaan satu mal saja sudah membuat usaha pertokoan banyak yang gulung tikar. Diprediksi jika ada dua atau tiga mal besar yang mulai beroperasi, bisa dipastikan semakin banyak lagi pengusaha toko yang terancam bangkrut.
Dijelaskan Aris, berdasarkan hasil penelitiannya keberadaan Kediri Mall telah membuat pengusaha toko menjadi kalah bersaing dalam pelayanan. “Mayoritas pengunjung sekarang lebih suka belanja di mal yang lebih luas dan nyaman,” tambahnya.

Ancaman Serius
Aris juga memprediksi pembangunan Ramayana Mall di Jalan Panglima Sudirman diprediksi mematikan ratusan usaha pertokoan dan ruko yang ada di daerah sekitarnya. Termasuk pertokoan yangada di Jalan Dhoho yang selama ini menjadi ikon pusat bisnis di Kota Kediri.

Usaha pertokoan di Kota Kediri diprediksi banyak yang gulung tikar karena pengunjung tersedot belanja di mal yang lebih besar. “Sebagian pengusaha toko yang kami temui juga mengaku khawatir usahanya terancam karena dipastikan mereka akan kalah bersaing,” ungkapnya.

Aris juga mempertanyakan izin analisa mengenai dampak lingkungan (Amdal) pembangunan Ramayana Mall karena sampai sekarang warga yang ada di sekitarnya belum pernah dimintai persetujuan. Pembangunan Ramayana Mall kini terus dikebut pagi hingga malam karena ditargetkan sebelum bulan puasa mendatang sudah harus tuntas. Warga sekitar juga mengeluhkan suara bising mesin proyek yang tetap menderu di malam hari.

Menyusul kekhawatiran warga tersebut, AMPPK2 telah mengirimkan surat petisi ke DPRD Kota Kediri. Para mahasiswa meminta anggota dewan untuk lebih pro aktif memberikan perlindungan kepada para pengusaha lokal yang terancam serbuan pengusaha mall.
“Kami minta anggota dewan lebih pro aktif memberikan proteksi pengusaha lokal. Paling tidak pendirian toko modern harus sesuai dengan tata ruang yang ada di Kota Kediri,” tambahnya.

Dikonfirmasi terpisah, Kabag Humas Pemkot Kota Kediri, Tri Krisminarno menjelaskan izin Amdal pembangunan Ramayana Mall tidak ditangani pemkot, tapi langsung ditangani Kantor Lingkungan Hidup Pemprov Jatim. “Setahu kami sudah proses sidang penetapan. Tapi apakah izin Amdal-nya sudah turun atau belum yang mengetahui permohonannya,” jelasnya.

Dari Segi Modal, Kami Kalah Telak
Salah satu pengusaha toko di Kota Kediri saat dikonfirmasi mengaku kini mulai resah dan gelisah menyusul semakin banyaknya pengusaha mal yang berinvestasi di kotanya. Masalahnya, serbuan mal tersebut bakal mematikan pengusaha lokal.

“Dari segi permodalan jelas kami akan kalah telak. Mereka mengambil barang langsung dari pabrikan, sedangkan kami harus lewat agen sehingga selisih harganya sudah besar,” ungkap pengusaha yang minta namanya tidak dikorankan.

Diakuinya, dengan adanya tambahan dua mal besar di Kota Kediri pada tahun ini dipastikan usahanya kalah bersaing. Apalagi lokasi kedua mal itu menjepit kawasan pertokoan di Jalan Dhoho karena Ramayana berlokasi di sisi selatan dan Matahari di utara.

“Dua mal itu dikenal pakaian dan alat kebutuhan sehari-hari lebih unggul. Padahal mayoritas pemilik toko di Jalan Dhoho penjual baju dan kebutuhan sehari-hari, sehingga usaha kami juga terancam,” papar pengusaha yang membuka usaha di Jalan Dhoho. Diungkapkan, kalangan pengusaha juga menyesalkan tidak adanya perlindungan bagi pengusaha lokal dari aparat pemerintah. Sehingga dua mal besar itu lolos mendapatkan perizinan membuka usaha di Kota Kediri.

“Prospek usaha di Kota Kediri memang sangat bagus, tapi kalau yang berebut semakin banyak, kami yang bermodal kecil bakal tersisih. Ke depan, pengusaha lokal hanya jadi penonton saja,” tuturnya.

Lebih Selektif Terbitkan Izin
Anggota DPRD Kota Kediri, H. Sunarko mengakui keberadaan mal akan membawa dampak negatif dan positif. Dampak negatifnya, pengusaha kecil pertokoan bakal terancam, namun positifnya mampu menyerap banyak tenaga kerja.

Untuk mengantisipasi dampak negatifnya, pemkot harus lebih selektif mengeluarkan izin Amdal. Selain itu, tambahan mal harus dikaji lebih mendalam sehingga tidak merugikan. “Menjamurnya Alfamart dan Indomaret saja memberi dampak bagi usaha toko kecil, apalagi ada mal,” tambahnya.

Produk Lokal Harus Diberi Tempat
Wakil Wali Kota Kediri Abdullah Abubakar mengakui serbuan pengusaha mal bakal mengancam eksistensi para pengusaha lokal. Selain itu, semakin menjamurnya mal juga mengakibatkan tingkat konsumsi menjadi tinggi sehingga berpengaruh pada tingkat inflasi.

Dijelaskan Abdullah, tambahan dua mal besar berdampak semakin terjepitnya pengusaha toko yang umumnya dimiliki pengusaha lokal. “Kami sendiri juga kaget, ternyata ada dua mal besar yang akan beroperasi mulai tahun ini,” ujarnya.

Untuk mengantisipasi dampak negatifnya, pihak pemkot akan membuat agreement dengan para pengusaha mal untuk memberikan peluang masuknya produk-produk lokal.
“Produk lokal Kota Kediri harus diberi tempat yang layak dipasarkan di mal, termasuk tenaga kerja yang bakal diserap nanti 90 persen harus memprioritaskan masyarakat kota,” tandasnya.

Thursday, May 26, 2011

Mesin Penyedot Pul$a Bernama RBT

“Terima kasih untuk tetap berlangganan RBT Dirimu Satu”. Kalimat tersebut tiba-tiba masuk ke HP saya. Satu hal yang sangat aneh, karena saya tidak pernah mendaftarkan diri ke 1212 ataupun tertarik dengan RBT. Bagi saya RBT tak lebih dari mesin penyedot pulsa konsumen. Di beberapa situs forum seperti kaskus ternyata kasus seperti yang saya alami banyak pula dialami pengguna telepon dengan semua provider.

Hingga kini saya lihat Badan Regulasi dan Telekomunikasi Indonesia (BRTI) belum bisa membenahi karut-marut masalah ini. Yang paling mengenaskan lagi, di situs 3 (Tri), tidak dijelaskan secara gamblang bagaimana menghentikan RBT. Untuk sekedar menghentikan RBT ini saja, saya harus menelusuri internet dan membuka situs-situs diskusi atau blog uneg-uneg konsumen. Satu hal yang pasti untuk unreg saja kita harus membuang-buang pulsa, lebih dari sepuluh ribu rupiah pulsa kita tersedot untuk hal remeh seperti ini.

Setelah saya cek ternyata modusnya pertama konsumen diberi layanan RBT gratis, yang ternyata menjadikan dalih bagi provider untuk mengesahkan bahwa pengguna tertarik dengan RBT. Lepas dari setuju atau tidak, pulsa pelanggan akan terpotong secara otomatis. Sampai kapan hal ini akan berakhir? Berapa pengguna seluler lagi yang akan diakali? Sampai kapan pula kita terganggu dengan iklan-iklan dari provider yang sering menjebak kita.

Sunday, May 22, 2011

Bendera Pusaka dan Paskibraka

Sejarah Bendera Pusaka
Proklamasi Kemerdekaan RI dikumandangkan pada hari Jum’at, 17 Agustus 1945, pukul 10 pagi di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Setelah pernyataan kemerdekaan Indonesia, untuk kali pertama secara resmi bendera kebangsaan Merah Putih dikibarkan oleh dua orang muda-mudi dan dipimpin Latief Hendraningrat. Bendera ini dijahit tangan oleh Ibu Fatmawati Soekarno (ukuran 185x275cm) dan bendera ini pula yang kemudian disebut “Bendera Pusaka”.Bendera pusaka berkibar siang dan malam di tengah hujan tembakan sampai Ibukota Republik Indonesia dipindahkan ke Yogyakarta pada tahun 1946. Bendera Pusaka dibawa ke Yogyakarta dan dimasukkan dalam kopor pribadi Presiden Soekarno. Selanjutnya Ibukota Republik Indonesia dipindahkan ke Yogyakarta.

Tanggal 19 Desember 1948, Belanda melancarkan agresi militer yang kedua. Pada saat Istana Presiden Gedung Agung Yogyakarta dikepung oleh Belanda,Presiden memanggil Hussein Mutahar dan menugaskannya untuk menyelamatkan Bendera Pusaka.

Untuk menyelamatkan Bendera Pusaka itu, Hussein Mutahar harus memisahkan antara bagian merah dan putihnya. Dengan dibantu Ibu Perna Dinata, benang jahitan diantara bendera pusaka tersebut berhasil dipisahkan. Selanjutnya, bendera pusaka tersebut dimasukkan pada dasar dua tas milik Hussein Mutahar untuk menghindari penyitaan yang dilakukan tentara Belanda.

Setelah sekian lama dan merasa aman, Hussein Mutahar menjahit kembali bendera pusaka yang terpisah dua itu dengan meminjam mesin jahit milik seorang istri dokter. Akan tetapi, dua centimeter dari ujung bendera pusaka terdapat sedikit kesalahan jahitan. Kemudian hari, dengan dibungkus kertas koran, bendera pusaka tersebut diserahkan kembali kepada Presiden RI Soekarno di Bangka (tempat pengasingan) melalui Bapak Soejono (Delegasi RI).

Sebagai penghargaan atas jasa menyelamatkan Bendera Pusaka yang dilakukan oleh Hussein Mutahar, Pemerintah RI telah menganugerahkan Bintang Mahaputra pada tahun 1961 yang disematkan sendiri oleh Presiden Soekarno.

Pengibaran Bendera Merah Putih di Gedung Agung Yogyakarta
Menjelang peringatan Hari Ulang Tahun Ke-2 Kemerdekaan Republik Indonesia, Presiden Soekarno memanggil salah seorang ajudan beliau, Mayor (L) Hussein Mutahar. Selanjutnya Hussein Mutahar diberikan tugas mempersiapkan dan memimpin upacara peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1946 di halaman Istana Presiden Gedung Agung Yogyakarta.

Hussein Mutahar mempunyai pemikiran bahwa untuk menumbuhkan rasa persatuan bangsa, maka pengibaran Bendera Pusaka sebaiknya dilakukan oleh pemuda se-Indonesia. Kemudian beliau menunjuk 5 (lima) orang pemuda yang terdiri atas 3 (tiga) putri dan 2 (dua) putra perwakilan daerah yang berada di Yogyakarta. Penunjukan atas 5 (lima) orang tersebut sebagai simbol dari Pancasila.

Pengibaran Bendera Pusaka ini berlanjut tahun berikutnya sampai tahun 1949 di Yogyakarta. Setelah empat tahun ditinggalkan, Jakarta kembali menjadi Ibukota RI. Pada hari itu, Bendera Pusaka Sang Merah Putih juga dibawah ke Jakarta.

Untuk kali pertama peringatan HUT Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1950 diselenggarakan di Istana Merdeka Jakarta. Regu-regu pengibar dari tahun 1950-1966 dibentuk dan diatur oleh Rumah Tangga Kepresidenan.

Pembentukan Pasukan Pengerek Bendera Pusaka Tahun 1967-1968
Tahun 1967, Hussein Mutahar dipanggil oleh Presiden Soeharto ke Istana Negara Jakarta untuk menangani lagi masalah Pengibaran Bendera Pusaka. Dengan ide dasar dari pelaksanaan upacara tahun 1946 di Yogyakarta, beliau kemudian mengembangkan lagi formasi pengibaran menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu:
  1. Kelompok 17/Pengiring(PEMANDU)
  2. Kelompok 8/Pembawa (INTI)
  3. Kelompok 45/Pengawal
Ini merupakan simbol dari tanggal Proklamasi Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945 (17-8-45). Pada waktu itu, dengan situasi kondisi yang ada, beliau melibatkan putra daerah yang ada di Jakarta dan menjadi anggota Pandu/Pramuka untuk melaksanakan tugas Pengibaran Bendera Pusaka.

Semula rencana beliau untuk kelompok 45 (pengawal) akan terdiri atas para Mahasiswa AKABRI (Generasi Muda ABRI). Akan tetapi ketika ada usulan lain menggunakan anggota Pasukan Khusus ABRI (seperti RPKAD, PGT, Marinir dan Brimob) juga tidak mudah, akhirnya kelompok 45 (pengawal) diambil dari Pasukan Pengawal Presiden (PASWALPRES) yang mudah dihubungi dan sekaligus mereka bertugas di Istana Negara.

Pada 17 Agustus 1968, petugas pengibar Bendera Pusaka adalah para pemuda utusan propinsi. Tetapi propinsi-propinsi belum seluruhnya mengirimkan utusan sehingga masih harus ditambah oleh eks anggota pasukan pengibar tahun 1967.

Tanggal 5 Agustus 1969, di Istana Negara berlangsung upacara penyerahan duplikat Bendera Pusaka Merah Putih dan reproduksi Naskah Proklamasi oleh Presiden Soeharto kepada Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I seluruh Indonesia.

Bendera duplikat pusaka mulai dikibarkan menggantikan Bendera Pusaka pada peringatan Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1969 di Istana Merdeka Jakarta, sedangkan Bendera Pusaka hanya bertugas mengantar dan menjemput bendera duplikat yang dikibar/turunkan. Dengan demikian Bendera Pusaka terakhir kali dikibarkan pada 17 Agustus 1968.

Pada tahun 1969, secara resmi anggota PASKIBRAKA adalah para remaja siswa SMTA se-tanah air Indonesia yang merupakan utusan dari 26 propinsi di Indonesia, dan tiap propinsi diwakili oleh sepasang remaja (putra dan putri). Dari tahun 1967 sampai tahun 1972, anggota yang terlibat sebagai pasukan pengibar masih dinamakan sebagai anggota “Pasukan Pengerek Bendera Pusaka” atau PASERAKA.

Patut dicatat disini, pada tanggal 17 Agustus 1969, bendera pusaka sudah tidak lagi dikibarkan di Istana Negara karena dianggap sudah terlalu tua, sehingga dibuatlah duplikatnyadari bahan bendera (wool). Bendera duplikat pusaka terbuat dari katun Inggris tanpa jahitan dengan ukuran 200x300cm dan dibuat oleh Balai Penelitian Tekstil Bandung dibantuk oleh PT. Ratna di Ciawi, Bogor.

Pada tahun 1973, salah seorang Pembina yang berama Idik Sulaeman melontarkan suatu nama untuk Pasukan Pengibar Bendera Pusaka dengan sebutan PASKIBRAKA. PAS berasal dari PASukan, KIB berasal dari KIBar mengandung pengertian pengibar, RA berarti bendeRA dan KA berarti pusaKA. Mulai saat itu singkatan anggota Pasukan Pengibar Bendera Pusaka adalah PASKIBRAKA.

Keterangan:
PASWALPRES sekarang disebut Pasukan Pengamanan Presiden (PASPAMPRES)