Friday, September 16, 2011

Nyanyian Malam

Selentingan tentang Jebris kian meluas. Seperti bau terasi terbakar, selentingan itu menyusup ke setiap rumah di pojok dusun itu. Kini rasanya tak seorang pun yang tinggal di sana belum tahu bahwa Jebris sudah jadi pelacur. Maka orang berkata, Jebris seorang janda beranak satu, telah menghidupkan kembali aib lama, aib pojok dusun itu yang dikenal sebagai tempat kelahiran pelacur-pelacur.

Itu dulu. Dan sejak beberapa tahun belakangan orang sepakat mengakhiri aib seperti itu. Di pojok dusun itu kini sudah berdiri sebuah surau yang seperti demikian adanya, terletak hanya beberapa langkah dari rumah Jebris. Di sana juga sudah ada rukun tetangga dengan seksi pembinaan rohani. Para perempuan sering berhimpun dalam pertemuan atau arisan. Dalam kesempatan seperti itu, selalu ada acara ceramah pembinaan kesejahteraan keluarga atau pengajian. Tetapi siapa saja boleh bersaksi bahwa kepelacuran Jebris makin mapan saja. Tiap sore Jebris naik bus ke daerah batas kota, sekitar terminal, yang pada malam hari menjadi wilayah mesum. Menjelang matahari terbit, Jebris sudah berada di rumah karena dia selalu menumpang bus paling awal.
Orang bilang, sebenarnya Jebris sudah beberapa kali mendapat peringatan. Ia pernah didatangi seorang hansip yang memberinya nasihat banyak-banyak. Mendengar nasihat itu, demikian orang bilang, Jebris mengangguk-angguk dan dari mulutnya terdengar “ya, ya”. Jebris juga menghidangkan kopi untuk Pak Hansip. Tetapi ketika menghidangkan minuman itu, Jebris hanya bepinjung kain batik, tanpa kebaya, dan rambut tergerai. Kata orang, Pak Hansip tak bisa berkata sepatah kata pun dan langsung pergi.

Cerita lain mengatakan, ketua RT juga pernah mendatangi Jebris. Seperti Pak Hansip, ketua RT pun banyak memberi nasihat agar Jebris berhenti melacur. Ketika mendengar nasihat ketua RT, Jebris juga mengangguk-angguk. Dari mulutnya juga terdengar “ya, ya”. Tetapi sore hari Jebris kembali berangkat naik bus terakhir dan pulang menjelang pagi dengan bus pertama. Atau seperti dibisikkan oleh orang tertentu, sesungguhnya tak pernah ada hansip atau pengurus RT yang mencoba menghentikan Jebris. Mereka, para hansip dan sebagian pengurus RT, adalah sontoloyo yang sebenarnya tidak keberatan Jebris menjadi pelacur.
Di pojok dusun itu mungkin hanya Sar, istri Ratib, yang benar-benar sedih melihat Jebris. Sar dan Jebris bertetangga sejak bocah, bahkan sampai sekarang pun mereka tinggal sepekarangan, hanya terpisah oleh surau itu, surau yang dipimpin oleh Ratib, suami Sar. Selain menjadi imam surau, Ratib juga menjadi ketua seksi pembinaan rohani dalam kepengurusan RT. Maka ada orang bilang, kepelacuran Jebris mencolok mata Ratib, suami Sar.

Karena tak punya sumur sendiri, setiap hari Jebris menggunakan sumur keluarga Sar. Bahkan tidak jarang Jebris mencuri-curi membersihkan badan di kamar mandi Sar. Bila hendak pergi menjajakan diri, Jebris menunggu bus tepat di depan rumah Sar karena rumahnya tak punya gang ke jalan besar. Lalu sering terjadi Jebris berpapasan dengan anak-anak yang mau mengaji di surau menjelang magrib dan bertemu lagi dengan anak-anak itu lepas subuh.

Sampai demikian jauh, Sar masih bisa menahan kesedihannya. Sar tetap menyokong Jebris dengan beberapa rantang beras jatah setiap bulan. Sar tidak akan lupa, bagaimanapun keadaan Jebris, dia adalah teman sejak anak-anak. Banyak sekali pengalaman masa kecil bersama Jebris yang tak mudah terlupa. Memang, ulah Jebris acapkali merupakan ujian yang lumayan berat bagi kesabaran Sar. Jebris nakal. Dia suka mengambil sabun atau deterjen. Jebris malah sering juga mengambil pakaian dalam Sar yang sedang dikeringkan. Hati Sar selalu kecut bila membayangkan pakaian dalamnya dikenakan Jebris. Dan Sar merinding bila mengingat suatu ketika pakaian dalam yang melekat pada tubuh Jebris digerayangi tangan bajul buntung. Dan Sar harus menghadapi ujian terberat ketika suatu hari datang seorang lelaki asing. Lelaki itu mengajak Sar pergi berkenan, karena dia mengira Sar adalah Jebris.

Boleh jadi Sar akan tetap bertahan dalam kesabarannya apabila di pojok dusun itu tidak berkembang selentingan baru. Orang bilang, Jebris tidak hanya menjajakan diri di tempat mesum sekitar terminal. Diam-diam Jebris sudah berani menerima lelaki di rumahnya yang hanya beberapa langkah dari surau dan dekat sekali dengan rumah Sar. Kabar terbaru ini membuat Sar harus bicara, paling tidak kepada Ratib, suaminya.

“Kang Ratib, kata orang, keberkahan tidak akan datang pada empat puluh rumah di sekitar tempat mesum. Apa iya, Kang?”
“Ya, mungkin.”
“Kalau begitu hidup kita tidak bisa berkah, ya Kang?”
“Maksudmu selentingan terbaru tentang Jebris?”

Sar menggangguk. Ratib menarik napas panjang. Sar menunggu tanggapan suaminya, tetapi Ratib hanya menjawab dengan senyum. Sar terpaksa ikut tersenyum. Senyum keduanya kaku dan terasa buntu. Sar ingin berkata sesuatu, namun kemudian sadar bahwa di dalam kepalanya tidak ada gagasan apa pun. Yang kemudian datang malah kenangan masa anak-anak bersama Jebris. Ketika bocah, tubuh Jebris seperti Mendol; gemuk dan putih. Betisnya penuh. Karena gemas, Sar sering mencubit pantat Jebris yang berwajah agak bloon, tetapi pandai mencatut karet gelang milik Sar. Anehnya, Sar tak mau berpisah dengan Jebris karena sebagai teman bermain Jebris setia dan patuh.

Sar juga sering menemani Jebris menunggu ayahnya pulang dari hutan jati. Selain membawa sepikul kayu bakar, ayah Jebris selalu membawa seikat kacang lamtoro. Keluarga Jebris menggunakan lamtoro sebagai lauk. Jadi, Sar dulu sering bertanya kepada Jebris, “Makan nasi kok pakai lauk biji lamtoro. Apa enak?” Jawaban Jebris selalu sama, “Enak, asal jangan disertai ikan asin sebab cacing di perut bisa keluar. Saya takut cacing.”

Emak Jebris penjual gembus, kue singkong yang digoreng dan berbentuk gelang. Ada sebuah gubuk di pinggir jalan. Di situlah emak Jebris tiap malam menggoreng gembus dan langsung dijajakan. Jebris senang menemani emaknya berjualan hingga larut malam, karena selalu ada lelaki pembeli gembus yang memberinya uang receh. Bila sudah terasa ngantuk, Jebris berbaring di balai-balai kecil di belakang emaknya. Dan menit-menit sebelum terlelap adalah saat yang mengesankan bagi Jebris. Ia sering mendengar emaknya bergurau, berseloroh, bahkan cubit-cubitan dengan lelaki pelanggan. Suatu kali, ayahnya datang ketika emaknya sedang berpegangan tangan dengan seorang pembeli. Tetapi emaknya tenang saja, ayahnya hanya menundukkan kepala.

Sar dan Jebris bersama-sama masuk Sekolah Rakyat. Tetapi Jebris hanya bertahan selama dua tahun. Jebris keluar setelah emaknya meninggal. Pada usia 16 tahun, Jebris kawin dengan seorang pedagang yang membuka kios kelontong dekat terminal. Jebris diboyong dan harus menyesuaikan diri dengan gaya hidup suaminya yang nyantri. Setiap hari Jebris mengenakan kebaya panjang dan kerudung. Gelang dan kalung emasnya besar. Pada tahun kedua, Mendol lahir. Orang bilang, Jebris adalah anak yang beruntung.
Orang juga bilang bahwa Jebris adalah anak yang mujur ketika mereka melihat ibu muda itu mulai dipercaya menjaga kios suaminya yang lumayan besar. Namun, satu tahun kemudian, sudah terdengar selentingan bahwa dalam berdagang Jebris meniru emaknya. Jebris akrab dan hangat terhadap supir, kernet-kernet dan tukang-tukang ojek. Kiosnya selalu meriah oleh irama musik gendang dan tawa anak-anak muda. Lalu Jebris kedapatan menghilang bersama Gombyok, tukang ojek yang langsing dan berkulit manis. Ketika itu pun orang bilang, “Tidak heran, Jebris meniru emaknya penjual gembus itu. Apa kamu tidak tahu gembus bisa berarti macam-macam?”

Jebris kembali ke rumah ayahnya karena diceraikan oleh suaminya. Orang bilang, keberuntungannya telah berakhir. Sar yang menjadi tetangga dekat sangat merasakan kebenaran apa yang dibilang orang. Jebris kelihatan sangat berat menghidupi diri, anak serta ayahnya sudah sakit-sakitan karena dia tak punya penghasilan apa pun. Jebris pernah mengadu untung ke kota, namun segera pulang karena katanya, tak tega meninggalkan Mendol serta ayah yang sudah lebih banyak tergeletak di balai-balai. Sar yang sudah menjadi guru setiap bulan menyokong Jebris dengan beberapa rantang beras jatah. Tetapi Sar tahu apalah arti sokongan itu bagi kehidupan Jebris.

“Kang Ratib, kamu kok diam sih?” tanya Sar.

Ratib mengerutkan kening. Sambil menggendong tangan, Ratib berjalan berputar-putar. Mungkin dia akan mengucapkan sesuatu ketika dia berhenti dan menghadap Sar. Namun, pada saat yang sama terdengar suara langkah diseret-seret diiringi bunyi tongkat menginjak tanah. Ratib berpaling dan berjalan menuju pintu. Setelah pintu dibuka, Ratib berhadapan dengan seorang kakek yang sangat lusuh dan lemah. Ayah Jebris. Wajahnya sangat pasi, kedua kakinya bengkak dan bibirnya gemetar. Ratib menyilakan ayah Jebris masuk, tetapi lelaki tua itu menolak. Dia memilih berdiri di samping pintu bertelekan pada tongkatnya. Napasnya masih tersengal ketika dia mulai bicara.

“Nak Ratib, sudah dua hari Jebris tidak pulang. Pagi tadi ada orang melihat Jebris di kantor polisi. Dihukum.”
“Dihukum?”
“Ya. Kalau tidak dihukum, mengapa Jebris ada di kantor polisi? Nak Ratib, kasihan si Mendol. Dia tak mau makan dan menangis minta menyusul emaknya.”
“Jadi?”
“Nak Ratib, aku tidak tahu harus berbuat apa?”
“Ya. Kakek sudah terlalu lemah. Kakek tinggal saja di rumah. Biar aku yang menyusul Jebris dan bila mungkin membawanya pulang,” kata Ratib.

Bibir ayah Jebris tergerak-gerak. Jakunnya turun naik. Matanya berkaca-kaca. Tanpa sepatah kata pun yang bisa terucap, ayah Jebris pulang menyeret kedua kakinya yang sudah membengkak.

“Pasti Jebris kena razia lagi,” ujar Sar.
“Lagi?”

Sar mengangguk. Sar bilang, Jebris sudah dua kali kena razia. Yang ketiga Jebris berhasil lolos dari kejaran para petugas. Dia bersembunyi di balik rumpun pisang di pinggir sawah. Hampir semalaman menjadi umpan nyamuk, pagi-pagi Jebris demam. Bila tidak ada orang yang berbaik hati mengantarnya pulang, Jebris akan tetap terpuruk di bawah rumpun pisang.

“Kang Ratib, jadi kamu hendak mengambil Jebris dari kantor polisi?”
“Ya. Dan kuharap kamu tidak keberatan.”
“Lalu?”
“Juga bila kamu tidak keberatan, Jebris kita coba ajak bekerja di rumah ktia. Mungkin dia bisa masak dan cuci pakaian.”
“Andaikan dia mau, apakah kamu tidak merasa risi ada pelacur di antara kita?”
“Yah, ada risinya juga. Tetapi mungkin itu jalan yang bisa kita tempuh.”
“Bila Jebris tidak mau?”
“Kita akan terus bertetangga dengan dia. Dan kamu tak usah khawatir malaikat pembawa berkah tidak akan datang ke rumah ini bila kamu tetap punya kesabaran dan sedikit empati terhadap anak penjual gembus itu.”

Thursday, September 15, 2011

Bawang Putih and Bawang Merah

The sky was cloudy when Bawang Putih went home from her father’s funeral. Bawang Merah and her stepmother were waiting in the house.
Mother : “What took you so long?”

Bawang Putih : “I’m sorry, Mother. I was talking to father.”

Mother : “Talking? You were talking to a dead man?! What an ignorant girl! Go cook us some dinner!

Bawang Merah : “Don’t take too long, sweetie.”

Bawang Putih was a very kind girl. She would do anything to please stepmother and stepsister, even though it made her exhausted sometimes. She didn’t want to live on her house alone.

Bawang Putih : “Dinner’s ready, Mother.”

Her stepmother hurried and headed into the kitchen, followed by her stepsister. Bawang Putih did not eat right away as she thought that she must clean herself up. After the whole day helping in her father’s funeral, she felt that her body was sweating and might cause unpleasant odor.

Bawang Putih loved her stepmother. However, her stepmother didn’t seem to love her. Neither did her stepsister, Bawang Merah. Everyday, they were just sitting around, eating, and going around the city.

Mother : “You duty is stay at home. Guard the house, clean the house, take care of the house, and cook delicious meals.”

Bawang Putih : “But, Mother … “

Mother : “No ‘but’. You have to obey my rule.”

Since then, Bawang Putih never came out of the house except when she washed the clothes. There were so many work she had to do, as if it never would end.

Early in the morning, soon as she woke up, Bawang Putih filled the water tank for her stepmother and Bawang Merah to bath. Then, she swept and cleaned the floor, cooked breakfast, and then went to the river to wash the clothes.

If her stepmother found no water to bathing, no breakfast, or that the house was still messy, she would become so angry. Bawang Putih didn’t want that to happen. She wanted her stepmother to feel at home.

One day, after washing the clothes, Bawang Putih rushed back home. She was petrified.

Mother : “What happen?”

Bawang Putih : “I’m…sorry, Mother.”

Mother : “Sorry for what? What’s wrong? What have you done?”

Bawang Putih : “I’m sorry, Mother. Your golden dress drifted away when I was about to wash it.”

Mother : “What?! Go find it!! Now!!”

Bawang Putih just kept silent and obeyed her stepmother. Without saying any words, she went out to find her stepmother’s dress. In fact, she hadn’t had her breakfast yet. She was so hungry.

Bawang Putih : “Oh, God, where would I find it?”

Shepherd : “What are you looking for, young lady?”

Bawang Putih : “A dress, Sir. Did you see a golden dress drifting along the river?”

Shepherd : “Oh…yes, I saw it. Try to go that way, young lady. Maybe the dress wasn’t carried away too far from here.”

After spending a day searching, Bawang Putih finally arrived at the upper course of the river. Yet there was no sign of her stepmother’s dress. As the day was getting dark, she was looking for a shelter. She saw a small hut in the river bank.

Bawang Putih : “Hopefully, the owner would let me in.”

Grandmother : “Who is it? Come in! The door is unlocked.”

Feeling a bit scared, Bawang Putih opened the door. She saw an old lady eating alone on very simple table alone. The old lady looked spooky.

Bawang Putih : “Ohh…could it be…could it be a witch?”

Grandmother : “Who are you?”

Bawang Putih : “I’m … I’m Bawang Putih, Granny. It’s late and I need shelter.

Then, Bawang Putih told the story that led her to the old lady’s hut.
The old lady smiled. All of her teeth looked black.

Bawang Putih : “Maybe she never brushed her teeth.”

Grandmother : “What a coincidence. I found the golden dress at the river bank this afternoon.”

Hearing the explanation, Bawang Putih felt so relieved.

Grandmother : “Alright, you may stay here tonight, then. But you better have your dinner with me first.”

Bawang Putih smiled as she accepted the old lady’s offer. Being a little disgusted by the indecent meal, Bawang Putih yet ate all of the food as she was so hungry.
As a sign of gratitude, Bawang Putih cleaned all of the old lady’s dining and kitchen sets. Then, she fell asleep until the morning sun brightly shone.

Bawang Putih : “I’m sorry, Granny. I woke up late.”

Grandmother : “It’s okay. You slept so tight. I didn’t have the heart to wake you up.”

On the same day, the old lady and Bawang Putih made an agreement. The old lady would returned the dress in one condition. Bawang Putih must accompany her for a week.

Bawang Putih was truly a diligent girl. She spent her week in the old lady’s house, doing the work as she usually did. The old lady was very pleased. A week had passed very quickly.

Grandmother : “Bawang Putih, you’re a nice girl. Thank you for staying with me.”

Bawang Putih : “Thank you, it’s also very nice of you giving me shelter to stay.”

Grandmother : “As a reward, besides going back home with your stepmother;s dress, you may also choose one of these pumpkins.

Bawang Putih was startled when she was asked to choose. She felt there was nothing special of what she had done in the old lady’s house. No reward was needed. So, Bawang Putih politely declined.

Grandmother : “You have to pick one of these two pumpkins, my dear.”

After careful thought, Bawang Putih finally picked the smaller one.

Grandmother : “Why did you choose the small one?”

Bawang Putih : “Because I’m afraid I won’tbe able to carry the big one, Granny.”

Her explanation made the old lady smile. After that, Bawang Putih said goodbye.
What happen to the pumpkin when Bawang Putih arrived home? It was really surprising. The pumpkin was filled with gold and jewelleries.

Mother : “Where did you get these things?”

Bawang Putih : “From the old lady near the river bank, Mother.”

The stepmother couldn’t stop smiling and tried on all the jewelleries. And so did Bawang Merah. The shiny jewelleries made the stepmother greedy. Secretly, she made a plan for Bawang Merah.

Mother : “So, how is it, dear? Do you want to do something to get more golds and diamonds?”

Apparently, the stepmother and Bawang Merah conspired to make the same scenario as what happen to Bawang Putih. Bawang Merah pretended to wash the clothes and let a piece of cloth drift down the river.
Bawang Merah tried to search for her cloth up the upper course of the river and met the old lady just like Bawang Putih did.

Bawang Merah : “Excuse me, Granny. Do you see a red cloth drifting down the river?”

The old lady nodded. Just like Bawang Putih experienced, Bawang Merah was asked to stay with the old lady for a week.

For a week, Bawang Merah helped the old lady with grudges. Consequently, she did the work carelessly. The old lady concluded that Bawang Merah was a lazy girl. Before Bawang Merah went home, the old lady gave her a choice to pick the two pumpkins for her reward. Bawang Merah choose the big pumpkin because she thought the bigger pumpkin would be filled with more jewelries.
When she got home, she opened the pumpkin. Do you know what’s in it? It turned out that the pumpkin was filled with small poisonous creatures such as snakes, scorpions, centipedes, and so on.

Since then, the stepmother and Bawang Merah realized that what they had done to Bawang Putih was wrong. Bawang Putih was very pleased. Now, all works were done together to make everything easier.

Monday, September 05, 2011

Mencegah Nafsu Amarah

Salah satu bidikan yang semestinya dihasilkan dari puasa yang baru saja kita lewati, baik wajib maupun sunnah, adalah terkendalikannya sifat-sifat negatif manusia. Salah satu sifat negatif yang potensial pada diri manusia adalah marah.

Secara alamiah, orang yang berpuasa terlatih untuk mengendalikan sifat marahnya. Bahkan secara khusus Rasulullah mengajarkan kepada orang yang sedang berpuasa, bila ada yang mengajaknya bertengkar, maka sebaiknya ia menolak secara halus. Pertengkaran yang dimaksud ini bisa berupa adu mulut, lebih-lebih adu fisik.

Suatu hari Rasulullah kedatangan tamu orang Badui. Ia bertanya kepada Rasulullah tentang Islam. Rasulullah menjawabnya dengan sangat singkat, “Jangan marah.” Tampaknya Rasulullah tahu bahwa salah satu sifat menonjol pada orang Badui tersebut adalah gampang marah. Ia sangat mudah naik pitam. Darahnya mendidih jika menghadapi suatu persoalan.

Orang yang marah, cenderung mengabaikan sesuatu yang besar. Orang yang sedang marah merasa semua persoalan itu kecil. Bagi dirinya, apa yang menyebabkan kemarahannya itulah persoalan besar.

Itulah sebabnya, jangan heran bila mendapati orang yang marah mengambil suatu keputusan dengan sangat ringan. Suami istri yang sedang dilanda kemarahan bisa dengan mudah dan ringan saling memutuskan untuk bercerai. Padahal demi jalinan cinta kasih mereka selama ini telah mengorbankan segala-galanya. Akan tetapi kemarahan menyebabkan pengorbanan itu tidak ada artinya apa-apa lagi. Semua menjadi kecil. Yang besar adalah kemarahan itu sendiri.

Seorang ayah dengan sangat mudah membanting peralatan rumah tangga, karena jengkel terhadap ulah salah satu anggota keluarganya. Adahal untuk mengumpulkan benda-benda tadi ia butuhkan waktu yang sangat panjang sekali. Mungkin bertahun-tahun. Tapi semua itu bisa lenyap seketika hanya karena kobaran api kemarahan.

Orang yang sedang marah, sering ringan tangan dan mulutnya. Tangannya gampang sekali digerakkan untuk menyakiti orang lain. Demikian juga mulutnya. Mereka tak segan-segan mengeluarkan kata-kata kasar, yang menyinggung bahkan menyakitkan hati banyak orang. Menempeleng, memukul, menendang, bahkan sampai membunuh menjadi suatu hal yang sangat ringan pada saat kepala dikuasai nafsu amarah. Pandangan dan pertimbangan mereka menjadi sangat pendek. Yang ada di benak hanya keinginanbalas dendam. Padahal dalam keadaan biasa, bisa jadi untuk melakukan hal serupa itu dibutuhkan waktu berbulan-bulan untuk menimbang dan berpikir.

Pertengkaran, besar atau kecil biasanya didahului dengan adu mulut. Indikasi kemarahan seseorang bisa dilihat dari seberapa jauh tingkat kekasaran dan kekerasan ucapannya. Semakin marah, semakin kasar. Jika sudah tidak tertahankan, maka adu mulut itu berkembang menjadi adu fisik, perkelahian. Dari perkelahian kecil bisa berkembang menjadi pembunuhan.

Melihat bahaya yang bisa ditimbulkan oleh sifat marah ini, maka Islam memberikan arahan kepada ummatnya untuk bisa menahan diri. Caranya adalah dengan diam. Jika seorang muslim sedang marah, hendaknya ia diam. Jangan banyak bicara, sebab pembicaraan itulah yang biasanya memanaskan suasana. Demikianlah Rasulullah berpesan sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad.

Tutup mulut rapat-rapat sampai emosi bisa dikendalikan, suasana kembali tenang, dan situasi tidak tegang. Dalam suasana seperti ni baru boleh berbicara, baik dalam rangka memberi penjelasan ataupun melakukan pembelaan.

Yang dianjurkan untuk diam sebenarnya tidak hanya mulut, tapi juga anggota tubuh yang lain. Jika seseorang marah sedang ia dalam posisi berjalan, hendaknya ia menghentikan langkahnya. Jika ia sedang berdiri, hendaknya duduk. Jika dalam keadaan duduk masih juga memendam kemarahan yang tak bisa ditahan, maka dianjurkan untuk berbaring.

Akan lebih baik lagi jika orang yang sedang marah itu mengambil air wudhu’. Insya’ Allah dengan cara seperti ini kemarahan yang sudah memuncak itu bisa didinginkan lagi. Air, kata Rasulullah bisa mendinginkan perasaan. Untuk itu bila sedang marah, cepat-cepatlah ke kamar mandi. Ambil air wudhu’, bahkan jika mungkin mandi sekaligus.

Sepertinya solusi ini sederhana, tapi pelaksanaannya tidak semudah yang kita bayangkan. Seorang yang sedang marah cenderung mendekati musuhnya. Untuk menghentikan langkah merupakan suatu perjuangan yang tidak kecil.

Malah mereka cenderung untuk berdiri, bila sebelumnya ia duduk manis. Lihatlah di sekitar kita, termasuk di persidangan ataupun di forum-forum diskusi. Pengacara yang asalnya duduk baik-baik, jika sudah marah, tiba-tiba berdiri, menyampaikan argumentasinya dengan berapi-api. Jika hanya pengacara maupun jaksanya yang marah itu masih belum seberapa, tapi jika hakumnya juga tak mau kalah, maka sungguh sangat berbahaya sekali. Untuk itu hakim yang sedang marah tidak boleh memutuskan perkara.

Sebenarnya tidak hanya hakim saja yang tidak boleh memutuskan perkara dalam keadaan emosi, tapi semua orang dalam posisi apa pun tidak boleh mengambil keputusan pada saat seperti itu. Apakah saat itu seseorang sedang dalam posisi sebagai guru, polisi, pimpinan, atau bahkan sebagai suami, istri, maupun anak. Dalam keadaan bagaimanapun jika sedang marah, jangan mengambil keputusan. Bisa jadi keputusan itu akan sangat subyektif. Tidak banyak pertimbangan. Sangat dangkal, dan merugikan pihak-pihak lain, bahkan dirinya sendiri.

Sebagai manusia biasa, Rasulullah juga pernah marah. Tapi beliau mampu mengendalikannya. Kemarahannya tidak sampai membahayakan orang lain, baik melalui kata-kata maupun tindakannya. Tak satu pun keputusan, baik berupa tindakan maupun ucapan yang dilakukan Rasulullah pada saat seperti ini. Beliau memilih diam. Bahkan jika marah, beliau justru mengganti kemarahannya dengan amalan atau imbalan hadiah kepada orang yang menyebabkan kemarahannya.

Penyulut kemarahan malah diberi hadiah? Barangkali hal ini tidak terbayangkan oleh kita, bagaimana mungkin orang yang kita marahi, malah diberi hadiah. Tapi Rasulullah bisa melakukannya sebagai bukti kedewasaannya. Hanya orang-orang yang sudah matang yang bisa melakukannya.

Imam Tabrani meriwayatkan suatu hadits yang bersumber dari Abdullah bin Salam mengenai hal ini. Ia menceritakan bahwa suatu hari Rasulullah keluar bersama para sahabat, di antaranya Ali bin Abi Thalib. Tiba-tiba seorang Badui mengadu, “Wahai Rasul, di desa itu ada sekelompok penduduk yang sudah Islam dengan alasan akan mendapatkan kemurahan rezeki dari Allah. Kenyataannya setelah mereka Islam, musim kering dan panas serta paceklik pun datang. Mereka dilanda kelaparan. Wahai Rasul saw, saya khawatir jika mereka kembali murtad hanya karena masalah perut. Saya berharap engkau sudi mengirim bantuan untuk mereka.”

Mendengar berita itu, Rasulullah saw pun menoleh kepada Ali bin Abi Thalib, dan Ali pun mengerti seraya berucap, “Wahai Rasulullah, kita sudah tidak mempunyai persediaan makanan lagi.”

Zaid bin Sa’nah yang hadir ketika itu segera mendekat dan berkata, “Wahai Muhammad, andaikata engkau suka, saya akan belikan korma yang baik dari kebun desa ini, dan mereka berhutang kepadaku dengan persyaratan tertentu.” Rasulullah saw bersabda, “Sebaiknya korma itu jangan mereka yang berhutang, tetapi belilah dan kamilah yang meminjam korma itu dari padamu.” Usul Rasulullah itu disetujui Sa’nah dan dibuatlah perjanjian.

Untuk pembayarannya, Zaid mengeluarkan emas sebanyak 70 mitsqal, lalu menyerahkan kepada Rasulullah dengan perjanjian akan dibayar kembali dalam masa yang ditentukan. Korma itu pun dibagi-bagikan kepada penduduk desa yang tengah ditimpa kelaparan.

Zaid bin Sa’nah berkata, “Beberapa hari (2 atau 3 hari) menjelang perjanjian pelunasan hutang tersebut, Rasul keluar bersama-sama Abubakar, Umar, Utsman dan beberapa sahabat lainnya. Setelah Rasul menshalatkan jenazah seseorang, beliau duduk menyandarkan badan ke dinding, saya pun berkata kepadanya, “Hai Muhammad, bayarlah hutangmu kepadaku. Demi Allah, setahuku, keluarga Abdul Muthalib itu sejak dulu selalu mengundur-undur waktu dalam pembayaran hutangnya.”

Mendengar kata-kata kasarku itu, wajah Umar bin Kaththab memerah, kedua biji matanya bergerak-gerak bagaikan perahu oleng, seraya melemparkan pandangannya kepadaku dan berkata, “Hai musuh Allah, alangkah kasarnya ucapanmu terhadap Rasulullah. Demi jiwaku yang ada di tangan-Nya, kalau bukan karena menghormati Rasulullah yang di hadapanku, tentu akan kutebas lehermu dengan pedangku ini.”

Rasul tetap saja memandang dengan tenang, seraya bersabda, “Hai Umar, sadarilah bahwa antara aku dan dia ada soal hutang-piutang. Adapun yang aku harapkan, engkau menyuruh aku membayarkan hutang itu kepadanya.” Sementara itu Rasulullah saw mengisyaratkan kepada Umar untuk pergi ke tempat penyimpanan korma, lalu melunasi hutang itu dengan menambahkan 20 sha’ (takaran) sebagai imbalan untuk menghilangkan amarahnya.”

Selanjutnya, Zaid bin Sa’nah menceritakan, “Setelah Umar membayar hutang Rasul disertai tambahan 20 sha’, akupun bertanya, “Apa arti tambahan ini, hai Umar?”

Umar menjawab, “Rasulullah saw menyuruh sebagai imbalan kemarahanmu.”

Aku berkata kepada Umar, “Hai Umar, kenalkah engkau, siapakah aku ini?”

Umar berkata, “Tidak.”

Aku menerangkan, “Aku adalah Zaid bin Sa’nah.

Umar balik bertanya, “Engkau Zaid bin Sa’nah, pendeta Yahudi itu?”

“Ya.”, kataku.

Umar berkata, “Mengapa engkau sekasar itu berucap? Engkau terlalu menghina.”

Lalu aku berucap, “Sebenarnya lewat kitab Taurat, aku telah lama mengenal Muhammad dari berbagai ciri kenabiannya. Dia adalah Rasul Allah, budi bahasanya senantiasa mengalahkan amarahnya, bahkan Muhammad semakin sopan terhadap mereka yang kesyetanan. Aku berbuat demikian, menguji dan memastikan dialah Rasul Allah. Wahai Umar, putera Kaththab, engkau sebagai saksi. Aku ridha ber-Tuhankan Allah, ber-Agamakan Islam dan ber-Nabikan Muhammad. Umar, ketahuilah, aku adalah orang yang terkaya di kalangan keluarga Yahudi. Kini harta kekayaanku itu kuserahkan separuhnya buat ummat Muhammad saw.”

Menyambut penyerahan Zaid bin Sa’nah itu, Umar berkata, “Tentu yang engkau maksudkan ialah untuk sebagian ummat Muhammad.” Dan Zaid pun menjawab, “Ya, benar.”

Mereka pun bersama-sama menemui Nabi saw, dan Zaid bin Sa’nah pun mengucapkan dua kalimah Syahadat serta berjanji akan berjuang bersama-sama untuk kejayaan Islam. Kemudian di dalam tarikh diriwayatkan, Zaid bin Sa’nah mati syahid di tengah sebuah front pertempuran Tabuk, dekat daerah Palestina.

masih tentang Lebaran

Setelah hilang penat kita mengurus lebaran, maka kini tiba saatnya bagi kita untuk mendengar berbagai kalkulasi dari peristiwa besar itu. Salah satu yang perlu kita mengerti, bahwa ternyata umat Islam telah membelanjakan dalam jumlah yang luar biasa selama menjelang dan saat berlebaran. Nilai belanja untuk pakaian berlipat tiga puluh kali, sedang untuk pakaian antara empat puluh hingga lima puluh kali! Sebuah rekor yang layak untuk dipertanyakan. Betapa borosnya kita?

Kesempatan itu telah dimanfaatkan oleh mereka yang mengerti persis kebiasaan kaum muslimin, dan kebetulan mereka mempunyai kesempatan maupun fasilitas. Banyak produk yang hanya habis di saat lebaran, padahal di waktu-waktu yang lain selalu menumpuk di gudang-gudang. Bahkan ada pula jenis pakaian tertentu yang diproduksi selama setahun hanya untuk memenuhi permintaan selama lebaran itu.

Hal ini bisa terjadi karena tidaklah mungkin melayani melonjaknya kebutuhan belanja umat Islam selama Ramadhan dan Syawal hanya dengan produksi beberapa saat sebelumnya. Bahkan momen itu bisa dimanfaatkan untuk menghabiskan persediaan-persediaan afkiran, yang semestinya sudah tidak layak jual.

Beberapa kerugian yang diderita umat Islam dari kebiasaan ini di antaranya, mereka gampang tertipu barang jelek dengan harga tinggi. Menjelang lebaran orang biasanya tiak terlalu ambil pusing dengan harga yang berlipat. Yang penting beli. Apalagi dicantumkan disana diskon sekian persen. Tidak ada yang peduli, bahwa tanpa didiskon di luar Ramadhan dengan didiskon di bulan Ramadhan ternyata masih lebih mahal yang didiskon!

Barang yang kurang baik, pada saat semua orang butuh, gampang dicampurkan dengan barang-barang yang baik sehingga tertutupi cacatnya. Sementara berjubelnya orang di toko-toko semakin tidak memungkinkan mereka memilih secara lebih teliti dan hati-hati. Alhasil, sesampai di rumah, mereka dapati kekurangannya di sana-sini. Atau ternyata tidak seawet yang diperkirakan.

Fenomena ini patut menjadi perhatian kita. Sekalipun kita masih bisa maklum mengingat banyak di antara umat Islam yang hanya memiliki kelapangan rezeki menjelang Idul Fitri. Tetapi bila dibiarkan, justru kalangan yang hidupnya pas-pasan itulah yang akan tertimpa lebih banyak kerugian. Mereka tidak mampu berbelanja di bulan lain, lalu pada saat harus membeli, harga telah jauh lebih tinggi.

Satu hal lain, kebiasaan yang kemudian mendongkrak harga itu jelas akan meningkatkan angka inflasi atau penurunan nilai uang. Yang ini merupakan kerugian bagi semuanya.

Ke Solo, ke Njati …

Bus jurusan Wonogiri mulai bergerak meninggalkan terminal. Habis sudah harapannya untuk ikut terangkut. Orang begitu terjejal, berebut masuk. Tidak mungkin dia akan dapat peluang, betapa pun kecil itu, untuk dapat menyeruak masuk di antara desakan berpuluh manusia yang mau naik. Bawaannya ber-genteyong-an di pundak dan punggungnya, belum lagi tangannya yang mesti menggandeng kedua anak-anaknya yang masih kecil.

Kemarin, di hari Lebaran pertama, dia sudah hampir bisa masuk. Tangannya memegang erat-erat anak-anaknya, tangannya sebelah sudah memegang pinggiran pintu. Tiba-tiba anaknya berteriak mainannya jatuh dan sekelebat dilihatnya sebuah tangan ingin merenggut tasnya. Dengan sigap dikibaskannya tangannya menangkis tangan yang ingin menggapai tasnya, dan dengan kegesitan yang sama tangannya yang sebelah melepaskan pegangan anak-anaknya untuk memungut
mainan anaknya yang jatuh di tanah. Bersamaan dengan itu orang-orang di belakangnya mendapat kesempatan untuk menyisihkan dia dan anak-anaknya terlempar ke pinggir. Kalau kernet bis yang berdiri di dekatnya tidak sigap menahan tubuhnya, pastilah dia dan anak-anaknya sudah tercampak di tanah.

Anak-anaknya pada menangis dan ia pun segera minggir mencari tempat yang agak sela. Anak-anaknya berhenti menangis sesudah dibelikan teh kotak dan sebungkus kerupuk chiki. Ditariknya napas panjang di pinggir warung itu. Dipandangnya bis yang masih berdiri dengan teguhnya diguncang-guncang orang yang pada mau mudik.

“Bu, kita jadi mudik ke Njat, ya, Bu?” anaknya yang besar, yang berumur enam tahun, bertanya.

“Wah, nampaknya susah, Ti. Lihat tuh penuhnya orang.”
“Kita nggak jadi mudik, ya, Bu.”
“Besok kita coba lagi, ya?”
Itulah keputusannya kemarin. Anak-anaknya pada menggerutu dan mau menangis.

“Sekarang kita mau ke mana, Bu?”
“Ya, pulang, Ti.”

Pulang. Itu berarti pulang ke kamar sewaan yang terselip di tengah kampung yang agak kumuh di bilangan Kali Malang. Anak-anaknya yang sudah lelah menurut saja digandeng ibunya dan kemudian didorong masuk ke sebuah bajaj yang pada sore hari itu memungut biaya entah berapa kali lipat daripada biasanya. Anaknya yang kecil langsung tertidur begitu bajaj bergerak. Anaknya yang besar diam, entah membayangkan atau memikirkan apa.

Pagi-pagi, sebelum mereka bersiap untuk pergi ke terminal pada sore hari, dibawanya anak-anaknya ke makam suaminya, di kuburan yang terletak tidak jauh dari kampung tempat dia tinggal. Suaminya, yang semasa hidupnya adalah buruh bangunan pada sebuah perusahaan pemborong, meninggal kira-kira tiga tahun yang lalu. Dia meninggal tertimpa dinding yang roboh. Untunglah perusahaan cukup berbaik hati dan mau mengurus pemakamannya dan memberi santunan sekadarnya.

Tetapi, sesudah itu, hidup terasa lebih berat dan getir. Pendapatannya sebagai pembantu di rumah kompleks perumahan itu mepet sekali untuk mengongkosi hidup mereka. Apalagi Ti, anak sulungnya itu, sudah harus sekolah.

Hari demi hari dijalaninya dengan kedatangan dan kebosanan, tetapi, entah bagaimana, dia sanggup juga mengikutinya. Tahu-tahu, ajaib juga, tabungannya yang dikumpulkannya dari sisa dan persenan dari sana-sini terkumpul agak banyak juga selama tiga tahun itu. Kemudian terpikirlah untuk pulang mudik ke Njati tahun ini. Anak-anaknya belum pernah kenal Njati dan embah-embahnya serta sanak saudaranya yang lain. Sudah waktunya mereka kenal dengan mereka, pikirnya. Juga desa mungkin akan memberikan suasana yang lebih menyenangkan, pikirnya lagi. Setidaknya lain dengan tempat tinggalnya yang sumpek di Jakarta. Maka diputuskannyalah untuk nekat pulang Lebaran tahun ini.

Mbok kamu jangan pulang Lebaran. Tahun ini, anak-anak saya pada kumpul di sini. Banyak kerjaan.”
“Wah, nuwun sewu, Bu. Saya sudah telanjur janji anak-anak.”
“Kalau kamu tidak mudik dan tetap masuk pasti dapat banyak persen dari tamu-tamu. Ya, tidak usah pulang.”
“Wah, nuwun sewu, Bu. Saya sudah telanjur janji anak-anak.”

Dengan kemantapan tekad begitulah dia memutuskan untuk mudik. Anak-anaknya mulai diceriterakan tentang Njati, sawah-sawahnya, kerbau dan sapinya, bentuk-bentuk rumah di desa. Juga tentang embah-embahnya yang sudah pada memutih rambutnya. Juga tentang kota-kota yang bakal mereka lewati, yang akan dapat mereka lihat sekilas-sekilas dari jendela bis yang akan membawa mereka.

“Waduh, kota-kota mana saja itu, Bu?”
“Wah, banyak. Mungkin Cirebon, mungkin Purwokerto, mungkin lewat Semarang, pasti Magelang, pasti Yogya, Solo, terus menuju Njati dan Wonogiri.”
“Waduh. Yang paling bagus kota mana, ya, Bu.”
“Wah, embuh. Mestinya, ya, Solo.”
“Waa, kita mau lihat Soli, Dik. Solo, Solo, Solo.”
“Solo, Solo, Solo …”

Dia berhenti termenung. Anaknya yang kecil sudah tidur dengan pulas di tempat tidur. Kakaknya sudah bersiap juga untuk menyeruak menggeletak di samping adiknya. Ditatapnya muka anak-anaknya sambil juga merebahkan tubuhnya berdesakan dengan anak-anak mereka.

“Jangan terlalu kecewa, ya, Ti. Besok kita coba lagi. Kita pasti akan ke Njati. Dan juga pasti lihat Kota Solo.” Dilihatnya anaknya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan setengah mengantuk dia mengucap, “Solo, Solo, Solo…”.

Itu kemarin, pada hari Lebaran pertama. Sekarang, pada hari Lebaran kedua, mereka gagal lagi. Kemungkinan itu bahkan lebih tidak ada lagi. Karcis yang dibelinya dari calo, seperti kemarin, memang sudah di tangan. Tetapi, orang-orang itu kok malah jauh lebih banyak dari kemarin. Bahkan lebih beringas. Dia dan anak-anaknya dengan genteyongan barang mereka seperti kemarin, ditarik, didesak, digencet, sehingga akhirnya tersisih jauh ke pinggir lagi. Satu, dua bis dicobanya. Gagal lagi. Orang masih sangat, sangat banyak dan kuat, untuk dapat ditembus. Dan, akhirnya, dengan berdiri termangu di pinggir-pinggir warung, dilindungi kain terpal, di bawah hujan, mereka melihat bis terakhir ke Wonogiri berangkat.

“Yaa, kita nggak jadi betul ke Njati, ya, Bu.”
Ibunya melihat anak-anak dengan senyum yang dipaksakan.
“Iya, Nak. Nggak apa, ya? Tahun depan kita coba lagi.”
“Yaa.”
“Yaa.”
“Iya, dong. Ibu harus kumpul uang lagi, kan?”
“Memangnya sekarang sudah habis, Bu?”
Ibunya menggigit bibirnya. Tersenyum lagi.
“Masih, masih. Tapi, hanya bisa ke Kebon Binatang besok. Ke Njati tahun depan saja, ya?”
Anak-anaknya diam. Hujan mulai agak reda. Dilihatnya hujan yang mereda itu agak menggembirakan anaknya.
“Yuk, yuk, kita lari keluar cari bajaj, yuk.”

Anak-anak itu mengangguk, kemudian mengikuti ibunya digandeng sambil berlari-lari kecil. Di dalam bajaj anak-anak mulai bernyanyi ciptaan mereka yang terbaru.

“Solo, Solo, Solo. Solo, Solo, Solo.”
Mereka tertawa.
“Njati, Njati, Njati. Njati, Njati, Njati.”

Mereka tertawa lagi, mungkin senang bisa menciptakan lagu. Ibunya ikut senang juga melihat anak-anaknya tidak menangis atau merengek-rengek. Dia ingat akan janjinya kepada anak-anaknya untuk mengajak mereka ke Kebon Binatang. Wah, dengan uang apa? Uangnya yang terbanyak sudah habis dimakan calo karcis, ongkos bolak-balik bajaj, jajan, oleh-oleh yang sekarang sudah pada peyot semua. Tinggal lagi sisa untuk beberapa hari. Wah. Tidak apa, pikirnya. Uang itu cukup untuk ongkos ke Kebon Binatang. Saya akan ke gedong malam ini, pikirnya. Pasti masih banyak kerjaan, pastinya. Siapa tahu tamu-tamu belum pada pulang dan banyak persennya, harapnya. Di kamar sewaannya, anak-anaknya segera ditidurkannya dan sekali lagi dibisikkannya janjinya untuk ke Kebon Binatang besok.

“Lekas tidur. Besok kita ke Kebon Binatang.”
“Asyik, asyik, asyik.”
“Ibu pergi sebentar ke gedong, ya? Baik-baik di rumah, ya? Tidur.”
“Gajah, gajah, gajah. Jrapah, jrapah, jrapah…”
“Ssst, tidur.”

Ibunya dengan tersenyum menutup pintu. Tetapi, waktu di luar, dia dengar anak-anaknya menyanyi yang lain lagi.

“Solo, Solo, Solo. Njati, Njati, Njati…”
Ibunya menggigit lagi bibirnya sejenak. Kemudian dengan pasti melangkahkan kakinya.

Di gedong, nyonya rumah berteriak waktu melihat dia masuk rumah lewat pintu samping.
To, saya bilang apa. Saya bilang apa. Sokur tidak dapat bis kamu. Ayo sini bantu kami sini. Tuh piring-piring kotor masih menumpuk di dapur. Sana…”