Tuesday, November 08, 2011

Narkoba

Tanda-tanda Kemungkinan Penyalahgunaan Narkotika dan Zat Adiktif

Fisik

  • berat badan turun drastis
  • mata terlihat cekung dan merah, muka pucat, dan bibir kehitam-hitaman
  • tangan penuh dengan bintik-bintik merah, seperti bekas gigitan nyamuk dan ada tanda bekas luka sayatan. Goresan dan perubahan warna kulit di tempat bekas suntikan
  • buang air besar dan kecil kurang lancar
  • sembelit atau sakit perut tanpa alasan yang jelas

Emosi

  • sangat sensitif dan cepat bosan
  • bila ditegur atau dimarahi, dia malah menunjukkan sikap membangkang
  • emosinya naik turun dan tidak ragu untuk memukul orang atau berbicara kasar terhadap anggota keluarga atau orang di sekitarnya
  • nafsu makan tidak menentu

Perilaku

  • malas dan sering melupakan tanggung jawab dan tugas-tugas rutinnya
  • menunjukkan sikap tidak peduli dan jauh dari keluarga
  • sering bertemu dengan orang yang tidak dikenal keluarga, pergi tanpa pamit dan pulang lewat tengah malam
  • suka mencuri uang di rumah, sekolah ataupun tempat pekerjaan dan menggadaikan barang-barang berharga di rumah. Begitupun dengan barang-barang berharga miliknya banyak yang hilang
  • selalu kehabisan uang
  • waktunya di rumah kerapkali dihabiskan di kamar tidur, kloset, gudang, ruang yang gelap, kamar mandi, atau tempat-tempat sepi lainnya
  • takut akan air. Jika terkena akan terasa sakit, karena itu mereka jadi malas mandi
  • sering batuk-batuk dan pilek berkepanjangan
  • sikapnya cenderung jadi manipulatif dan tiba-tiba tampak manis bila ada maunya, seperti saat membutuhkan uang untuk beli obat
  • sering berbohong dan ingkar janji dengan berbagai macam alasan
  • mengalami jantung berdebar-debar
  • sering menguap
  • mengeluarkan air mata dan keringat berlebihan
  • sering mengalami mimpi buruk
  • mengalami nyeri kepala dan sendi-sendi

Komunikasi Orangtua – Anak Mencegah Penyalahgunaan Alkohol
dan Obat-obatan

Di bawah ini adalah beberapa tips dasar untuk meningkatkan kemapuan diskusi dengan anak-anak Anda tentang alkohol dan obat-obatan terlarang:
  • Jadilah pendengar yang baik.
  • Sediakanlah waktu untuk mendiskusikan hal-hal yang sensitif.
  • Berikanlah dorongan.
  • Sampaikan pesan dengan jelas.
  • Berilah contoh yang baik.
Tips berkomunikasi dengan anak:

Mendengarkan

  1. Berikan perhatian penuh
  2. Jangan memotong pembicaraan anak. Biarkan sang anak berbicara dan kemudian menanyakan tanggapan Anda.

Memperhatikan

  1. Perhatikan ekspresi/mimik muka dan bahasa tubuh anak.
  2. Sepanjang diskusi dengan anak Anda ini berlangsung, perhatikan apa yang dikatakannya.

Menanggapi

  1. “Saya sangat tertarik dengan ……” atau “Saya mengerti bahwa hal itu memang sangat sulit ……” adalah ungkapan yang lebih baik dibandingkan: “Seharusnya kamu ……” atau “Kalau saya seperti kamu ……” atau “Waktu saya seumur kamu, saya ……”
  2. Jika anak Anda menyampaikan hal-hal yang sesungguhnya tidak ingin Anda dengar, jangan diabaikan.
  3. Janganlah memberikan nasihat setelah setiap kalimat yang anak Anda nyatakan.
  4. Yakinkan bila Anda mengerti apa yang dimaksud oleh anak Anda. Bila perlu, tanyalah untuk konfirmasi.

Pengobatan Narkoba:
  1. Pengobatan adiksi (detoks)
  2. Pengobatan infeksi
  3. Rehabilitasi
  4. Pelatihan mandiri

Pencegahan Narkoba:
  1. Memperkuat keimanan
  2. Memilih lingkungan pergaulan yang sehat
  3. Komunikasi yang baik
  4. Hindari pintu masuk narkoba, yaitu rokok.

Pertolongan Pertama

Pertolongan pertama penderita dimandikan dengan air hangat, minum banyak, makan makanan bergizi dalam jumlah sedikit dan sering dan dialihkan perhatiannya dari narkoba. Bila tidak berhasil perlu pertolongan dokter. Pengguna harus diyakinkan bahwa gejala-gejala sakaw mencapai puncak dalam 3-5 hari dan setelah 10 hari akan hilang.

Empat Cara Alternatif Menurunkan Resiko atau “Harm Reduction”

  1. Menggunakan jarum suntik sekali pakai
  2. Mensucihamakan (sterilisasi) jarum suntik
  3. Mengganti kebiasaan menyuntik dengan menghirup atau oral dengan tablet
  4. Menghentikan sama sekali penggunaan narkoba

Wednesday, November 02, 2011

Antara Ngayogyakarta-Surakarta

“Kalau saya, terserah masyarakat Jogja. Tanya mereka, maunya seperti apa.” Begitu jawaban Gubernur Daerah Istimewa Jogjakarta (DIJ) Sri Sultan Hamengku Buwono X setiap kali ditanya tentang polemik RUU Keistimewaan Jogjakarta yang belakangan kembali menghangat dan menjadi isu nasional.

Bukan tanpa alasan bila sultan selalu menjawab demikian setiap kali ditanya soal perkembangan RUU yang menjadi bola liar setelah Presiden SBY menyinggung sistem monarki itu. Raja Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat itu ingin meletakkan persoalan ke proporsi bahwa rakyat Jogja-lah yang akhirnya punya hak untuk memilih gubernur dan wakil gubernur DIJ melalui penetapan (otomatis sultan dan paku alam) atau pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung.

Kenapa? Sebab, berbicara tentang Jogjakarta tentu berbicara tentang budaya. Termasuk, budaya yang melingkupi sistem pemerintahan di kesultanan tersebut. Termasuk pula, budaya yang melatarbelakangi ijab kabul (pernyataan serah terima) bergabungnya Kesultananan Ngayogyakarta Hadiningrat ke pangkuan NKRI pada pemerintahan Soekarno (1945)-yang berkonsekuensi penentuan pengisi jabatan gubernur dan wakil gubernur DIJ lewat penetapan, bukan pemilihan.

Masyarakatlah pemilik absolut sebuah budaya. Kalau memang rakyat Jogja ingin mempertahankan budaya, termasuk sultan dan paku alam otomatis menjadi gubernur dan wakil gubernur DIJ, berarti itulah yang dikehendaki rakyat Jogja. Begitu pula bila rakyat Jogja ingin gubernur dan wakil gubernur dipilih melalui pilkada.

Penetapan Masih Ideal?

Apa keistimewaan Provinsi DIJ? Salah satu yang paling menonjol dan tidak ada di daerah lain memang terkait dengan posisi gubernur dan wakil gubernur yang dijabat Sri Sultan HB X sebagai raja kesultanan dan Paku Alam IX sebagai raja Pakualaman. Karena gubernur dan wakil gubernur sekaligus raja dan patih di Provinsi DIJ itu, dalam momen-momen tertentu dua pemimpin daerah tersebut kerap berkomunikasi dengan masyarakat lewat tradisi turun-temurun ala keraton.

Pun, itu terbukti efektif. Meskipun, saat berkomunikasi tersebut posisi raja dan gubernur kadang sulit dipisah karena melekat pada satu figur. Cara berkomunikasi itu juga tidak menghalangi maupun menjadi hambatan atau kendala berjalannya roda pemerintahan di Provinsi DIJ meskipun gubernurnya seorang raja. Deretan prestasi Provinsi DIJ juga tidak kalah jika dibandingkan dengan provinsi lain.

Belum lagi bicara tentang anggaran bila gubernur dan wakil gubernur DIJ ditentukan melalui pemilihan. Hampir pasti dana APBD Jogja tersedot ratusan miliar rupiah hanya untuk memilih gubernur dan wakil gubernur. Pun, sudah cukup banyak bukti mahalnya hajatan politik seperti pilkada yang pada akhirnya hanya memunculkan gubernur, bupati, dan walikota korup.
Pilkada langsung di Jogjakarta hanya akan membuat kekhawatiran soal tidak kondusifnya Jogjakarta, seperti halnya ketika Belanda mengacak-acak keraton dengan politik devide et impera yang membuat wilayah Ngayogyakarta Hadiningrat terbelah menjadi kesultanan dengan Sri Sultan sebagai raja dan Kadipaten Pakualaman dengan paku alam selaku raja.

Kekhawatiran pemerintah pusat, bila gubernur dan wakil gubernur DIJ ditentukan melalui penetapan, bisa muncul gubernur yang terlalu sepuh alias tua dan yang masih muda karena sosok raja kesultanan dan Pakualaman. Sebenarnya, kemungkinan itu bisa diantisipasi lewat RUU DIJ tersebut. Kompromikan atau cari jalan tengah saja aturan pada salah satu klausul RUU DIJ itu: Sultan ditetapkan sebagai gubernur bila usianya sudah mencapai sekian atau otomatis tidak menjadi gubernur jika usianya sudah sekian maupun sakit permanen sehingga perlu pelaksana tugas (Plt) atau opsi lain.

Benteng Terakhir


Berbicara tentang Jogjakarta tentu tidak lepas dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, yang tidak lain trah dinasti Kerajaan Mataram. Bisa dikatakan, itulah provinsi yang juga simbol dari kerajaan yang masih eksis setelah Mataram terbelah menjadi dua karena perjanjian Giyanti pada 1755. Yakni, Kasunanan Surakarta (Keraton Solo) di bawah pimpinan Paku Buwono dan Kesultanan Ngayogyakarta (Keraton Jogja) di bawah mangkubumi yang bergelar Hamengku Buwono.

Memang banyak faktor yang melatarbelakangi nasib dua keraton tersebut. Tentu tidak semata-mata karena penetapan raja Ngayogyakarta otomatis menjadi gubernur DIJ dan raja Kasunanan Surakarta Hadiningrat tidak otomatis menjadi wakil kota Surakarta atau Solo. Tentu bukan faktor itu pula yang membuat Keraton Jogja masih eksis dan moncer jika dibandingkan dengan nasib Keraton Surakarta yang didera konflik berkepanjangan sehingga memunculkan dua raja (Hangabehi dan Tedjowulan)-yang mengakibatkan aura keraton tersebut kian redup.

Juga bukan faktor penetapan raja menjadi kepala daerah yang mengakibatkan nama Surakarta kalah populer oleh Solo. Padahal, Solo itu ya Surakarta. Surakarta itu ya Solo. Nama Surakarta yang sebenarnya merupakan cikal bakal nama trah dinasti Mataram tersebut kini hanya semakin bermakna administratif-formal. Sementara itu, nama Solo lebih bermakna kultural sehingga lebih populer. Kini eksistensi Kasunanan Surakarta Hadiningrat kian terancam dan hanya benar-benar menjadi tetenger budaya.

Artinya, kalau kita memang bangsa yang menghargai sejarah dan berusaha melestarikan budaya adiluhung itu, jangan hanya karena alasan demokrasi, lantas mengingkari sejarah dan mengacak-acak panatakrama yang sudah tertata apik dan istimewa tersebut. Kecuali, memang pelan-pelan kita rela bahwa tidak ada keistimewaan yang menonjol pada provinsi yang baru saja dihajar wedhus gembel Merapi itu. (*)