Thursday, November 20, 2008

Manusia Ular

Dahulu kala ada seorang bernama Sangi. Dia adalah seorang pemburu yang tangguh. Sangi pandai menyumpit buruan. Sumpitnya selalu mengenai sasaran. Setiap kali berburu ia selalu berhasil membawa pulang daging babi hutan dan daging rusa.

Sangi bertempat tinggal di daerah aliran Sungai Mahoroi, anak Sungai Kahayan. Pada suatu hari Sangi berburu. Dari pagi hingga petang ia tidak berhasil menemukan seekor binatang buruan pun. Keadaan ini membuatnya amat kesal. Karena hari telah mulai sore, ia pun pulanglah dengan tangan kosong.
Di dalam perjalanan pulang ia melihat bahwa air tepi sungai sangat keruh. Ini pertanda bahwa seekor babi hutan baru saja minum air disana. Dugaannya itu diperkuat lagi dengan adanya bekas jejak kaki babi hutan.

Dengan penuh harapan Sangi terus mengikuti jejak binatang itu. Benar saja… tidak berapa jauh dari sana, ia menemukan babi hutan yang dicarinya itu, tetapi dalam keadaan yang amat mengerikan. Sebagian dari tubuh babi hutan itu telah berada di dalam mulut seekor ular raksasa. Kelihatannya tidak mungkin ia akan hidup kembali. Pemandangan mengerikan ini sangat menakutkan Sangi. Ia tidak dapat lari sehingga tidak ada cara lain kecuali bersembunyi di dalam semak-semak.

Beberapa waktu telah berlalu. Ular raksasa itu tidak dapat juga menelan mangsanya. Dicoba dan dicobanya berkali-kali, namun selalu gagal. Akhirnya sang ular menghentikan usahanya. Dengan murkanya dipalingkanlah kepalanya ke arah tempat Sangi bersembunyi. Secara gaib… ia berganti rupa menjadi seorang pemuda yang tampan wajahnya. Ia menghampiri Sangi dan memegang lengannya.

Pemuda itu menggertak dan memerintahkan kepada Sangi, “Telan babi hutan itu bulat-bulat karena engkau telah mengintip sang ular raksasa yang sedang menelan babi hutan.”
“Saya… tapi saya… tidak bisa.”
“Ayo cepat lakukan…”

Dengan penuh rasa ketakutan Sangi melaksanakan perintah itu. Ajaib sekali, ternyata Sangi mampu melaksanakan perintah pemuda itu dengan mudah sekali, seolah-olah ia sendiri benar-benar seekor ular.
Pemuda asal ular itu berkata bahwa karena Sangi telah berani mengintainya, sejak saat itu pula Sangi berubah menjadi seekor ular jadi-jadian.

“Untuk sementara engkau tidak usah risau,” kata pemuda asal ular itu kepada Sangi. “Selama engkau dapat merahasiakan kejadian ini, engkau akan tetap dapat mempertahankan bentuk manusiamu.”

Pemuda asal ular itu lalu menghibur Sangi dengan mengatakan bahwa nasib yang menimpa Sangi sebenarnya tidaklah terlalu jelek. Sebab, sejak kejadian itu ia bukan lagi merupakan makhluk yang dapat mati sehingga ia dapat mempertahankan kemudaannya untuk selama-lamanya.

Demikianlah, Sangi terus berusaha agar rahasianya ini tidak diketahuij orang, termasuk anggota kerabatnya sendiri dan anak cucunya. Dengan cara ini ia berhasil mencapai umur 150 tahun. Akan tetapi, keadaan yang luar biasa ini menimbulkan rasa aneh pada keturunannya. Mereka ingin mengetahui rahasia kakeknya yang dapat berusia panjang dan tetap dapat mempertahankan kemudaannya.

Oleh karena itu sejak itu mereka pun mulai menghujani kakek mereka dengan berbagai pertanyaan. Akhirnya karena terus-menerus didesak, Sangi pun terpaksa membuka rahasianya, melanggar larangan berat itu. Sebagai akibatnya, sedikit demi sedikit tubuhnya berganti rupa menjadi seekor ular raksasa. Pergantian ini dimulai dari kakinya. Sadar akan keadaan ini, Sangi menyalahkan keturunannya sebagai penyebab nasib buruk yang sedang menimpanya.

Dalam keadaan geram ia pun mengutuki keturunannya, yang dalam waktu singkat akan mati seluruhnya dalam suatu pertikaian di antara sesamanya.

Sebelum Sangi menceburkan dirinya ke dalam Sungai Kahayan bagian hulu untuk menjadi penjaganya, ia masih sempat mengambil harta pusakanya yang disimpan di dalam satu guci Cina besar. Harta pusaka yang berupa kepingan-kepingan emas itu lalu disebarkannya ke dalam air sungai. Sambil melakukan ini ia pun mengucapkan kutukan yang berbunyi:
“Siapa saja yang berani mendulang emas di daerah aliran sungai ini, akan mati tak lama setelah itu, sehingga hasil emas dulangannya akan dipergunakan untuk mengupacarakan kematiannya.”

Penduduk setempat percaya kisah ini pernah terjadi. Kepercayaan mereka itu diperkuat karena di daerah mereka ada anak Sungai Kahayan yang bernama Sungai Sangi. Menurut beberapa orang yang sering berlayar dengan biduk atau perahu bermotor, mereka pernah melihat seekor ular raksasa. Kepalanya saja berukuran sebesar drum minyak tanah. Ular raksasa itu mereka lihat berangin-angin di atas bungkah-bungkah batu sungai pada bulan purnama di musim kering.
Selain itu sampai kini orang-orang disana tidak berani mendulang emas yang katanya sebesar biji labu kuning dan banyak terdapat disana.

Kita jangan terlalu ingin mengetahui rahasia orang, apalagi sampai mendesak agar ia membukanya. Hal tersebut dapat merugikan orang itu dan mungkin juga akan merugikan kita sendiri.

Monday, November 10, 2008

Nyi Ageng Serang - Api di Tengah Peperangan

Pada awal abad 18 terdapat pejuang wanita yang patut dibanggakan yaitu Nyi Ageng Serang. Beliau disebut juga Pahlawan Nasional. Nyi Ageng Serang mempunyai silsilah dari Sunan Kalijaga:
  1. Sunan Kalijaga menikah dengan putri Sunan Gunung Jati, berputra Sunan Hadikusuma.
  2. Sunan Hadikusuma berputra Panembahan Semarang.
  3. Panembahan Semarang berputra Panembahan Pinatih.
  4. Panembahan Pinatih berputra Panembahan Keniten.
  5. Panembahan Keniten berputra Panembahan Rangga.
  6. Panembahan Rangga berputra Panembahan Rangga Notoprojo, dan seterusnya sampai keturunannya ke-14 yaitu Raden Mas Suwardi Suryaningrat.
Kemudian Raden Mas Suwardi Suryaningrat berganti nama Ki Hajar Dewantara.
Sebagai seorang pangeran merdeka yang membawahi beberapa wilayah kabupaten yang dikepalai oleh bupati, sebenarnya Panembahan Notoprojo berhak memakai gelar raja sebagai Gusti Pangeran Adipati tetapi ia tidak suka menggunakan gelar tersebut. Ia adalah seorang yang berjiwa ulama dan kerakyatan. Dari perkawinan dengan putri bangsawan Mataram, Panembahan Notoprojo dikaruniai 2 (dua) anak laki-laki dan perempuan, yaitu Nyi Ageng Serang yang masa kecilnya bernama Raden Ajeng Kustiah dan kakaknya Pangeran Notoprojo Muda. Bagaimana juga, ia adalah seorang muslimat yang terdidik dalam soal-soal falsafah agama dan ilmu kerohanian. Inti ajarannya yang berdasarkan falsafah agama Islam, ialah Cinta-Kasih.

Sesudah kerajaan Majapahit runtuh, kerajaan Mataram timbul menjadi kerajaan Islam sejati. Di bawah pemerintahan Sultan Agung Hanyakra Kusumo yang bertakhta dari tahun 1613 hingga 1645. Berbeda dengan ayahnya, sikan Sunan Amangkurat I terhadap kompeni Belanda sangat lunak. Sebagai imbalannya, Sunan memberikan hadiah yang sangat berharga kepada kompeni Belanda. Seluruh bumi Kerawang, bagian barat bumi Priangan dan kota Bandar Semarang, diserahkan olehnya. Pada tahun 1741, berkobar lagi peperangan dahsyat yang disebut “Geger Pacina” atau “Geger Cina”.
Pemberontakan yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi, cucu Sunan Amangkurat III, mendapat dukungan dan bantuan dari orang-orang Cina disebut “Geger Cina”. Sesuai dengan bunyi fatsal-fatsal yang tercantum dalam “Perjanjian Ponorogo”, Sunan Paku Buwono menghadiahkan seluruh wilayah pantai utara Pulau Jawa kepada Belanda. Ini berarti bahwa Mataram telah kehilangan pintu-pintu perdagangan dengan luar negeri. Kejadian itu mengecewakan adik Sunan Paku Buwono sendiri yang bernama Pangeran Mangkubumi.

Pangeran Mangkubumi dengan diiringi keluarga dan pengikut-pengikutnya meninggalkan Surakarta, menuju ke desa Sokawati. Dari silsilah Pangeran Mangkubumi mulai mengadakan pemberontakan. Pangeran Mangkubumi bertujuan mulia. Ia bercita-cita menghalau penjajah Belanda dari bumi Mataram, dan membebaskan Sri Sunan dari cengkeraman penjajah. Pemberontakan Pangeran Mangkubumi yang dibantu oleh Panembahan Notoprojo dapat bertahan lama dan menyebar ke seluruh wilayah Mataram. Panembahan Notoprojo sangat kecewa karena di saat itu pasukannya telah berhasil membinasakan beratus-ratus pasukan Belanda di Srondol dan Meranggen. Kerajaan Mataram dipecah menjadi dua kerajaan. Sebahagian dinamakan Surakarta dan sebahagian lagi dinamakan Yogyakarta. Kerajaan Surakarta diperintahkan oleh Sunan Paku Buwono, sedangkan kerajaan Yogyakarta diperintahkan oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamangku Buwono I.

Selama Raden Ajeng berada di keraton Sultan di Yogyakarta, pada waktu itu para sarjana sejarah keraton sedang sibuk menyusun buku sejarah “ Babad Giyanti” yang mengisahkan perjuangan Pangeran Mangkubumi ketika mendirikan Kasultanan Yogyakarta. Di antara sekian banyak buku yang terdapat di dalam perpustakaan itu ada beberapa buah buku yang sangat digemari Raden Ajeng Kustiah, antara lain buku “Sastra Gending” dan “Surya Alam” karangan Sultan Agung Hanyakra Kusumo, dan “Kitab Topah”, terjemahan dari bahasa Arab.

Dijelaskan bahwa buku “Sastra Gending” itu berisi ajaran falsafah dan pandangan hidup Sultan Hanyakra Kusumo tentang seni, sastra, pendidikan dan kebudayaan sesuai dengan ajaran-ajaran Al-Qur’an. Sedang buku “Surya Alam” adalah kitab undang-undang hukum pidana yang disusun oleh Sultan Agung pula berdasarkan ajaran-ajaran Islam. Dan “Kitab Tobah” adalah terjemahan karangan sarjana Arab yang bernama Seikh Ibn Hajr. Raden Ajeng Kustiah telah berhasil merubah wajah istana keputrian. Ia berhasil memberantas keinginan hidup bermewah-mewah, memberantas kemalasan dan kemanjaan yang menjurus kepada keborosan hidup. Penampilan Raden Ajeng Kustiah di antara para puteri keraton benar-benar mempesona hati Raden Mas Sundoro Karna. Rasa cinta yang mendalam, dan keinginan agar cinta kasihnya abadi, maka tatkala puteri Serang itu menyatakan keinginannya hendak pulang ke Serang, memenuhi panggilan orang tuanya, Raden Mas Sundoro meluluskannya, meskipun hatinya tak memperkenankannya.

Sesudah Dyah Ayu Pulangyun dan anak-anaknya melarikan diri dari Yogyakarta, terjadilah perubahan-perubahan besar di keraton Yogyakarta. Segala perubahan itu terjadi atas persetujuan dan dukungan Gubernur Jenderal Raffles.

Tindakannya untuk mengakui kedaulatan Sultan Hamengku Buwono II rupanya hanya siasat belaka guna memberikan kesan baik kepada Sri Sultan. Raffles telah memaksakan Sultan Hamengku Buwono II untuk melepaskan beberapa wilayah.

Menghadapi sikap keras Sultan, segera Raffles mengirim tentara ekspedisinya ke Yogyakarta untuk menggempur keraton. Segera sesudah berita musibah itu sampai ke Serang, Nyi Ageng Serang segera bertolak ke Yogyakarta untuk melihat keadaan puteri dan cucunya yang bernama Raden Mas Notoprojo yang sudah cukup dewasa. Oleh Nyi Ageng Serang, Gusti Mangkudiningrat dan Raden Mas Notoprojo dibawa pulang ke Serang. Sementara itu di Yogyakarta berlangsung penobatan raja baru. Pangeran Mangkubumi III untuk kedua kalinya naik takhta kerajaan, dengan gelar Sultan Hamengku Buwono III. Sultan ketiga ini adalah ayah Pangeran Diponegoro.

Judul buku : Nyi Ageng Serang Api di Tengah Peperangan
Pengarang : Bambang Sokawati Dewantara
Penerbit : Roda Pengetahuan
Tahun terbit : 1981
Jumlah halaman : -

Sunday, October 19, 2008

Ki Ageng Mangir

Dahulu di desa Mangiran, yang pada waktu itu disebut Kademangan Mangiran, ada seorang tokoh yang dikenal dengan nama Ki Ageng Wonoboyo. Tak jauh dari wilayah itu ada raja besar yang bernama Panembahan Senopati yang berkuasa di Kotagede Mataram.

Panembahan Senopati sudah melebarkan wilayah kekuasaannya ke daerah Jawa Timur dan sebagian Jawa Barat. Namun sebuah Kademangan yang tak jauh dari wilayahnya terang-terangan menyatakan menolak kebesaran Senopati selaku Raja Mataram.

Ki Ageng Mangir Wonoboyo menolak menyembah Panembahan Senopati sebab desa Mangiran, yang sekarang dikenal dengan Kabupaten Bantul itu, pada waktu itu adalah wilayah perdikan, yang artinya tanah merdeka. Karena itu, layaklah jika Ki Ageng Mangir Wonoboyo menolak memberikan upeti kepada Senopati.

Dikisahkan selanjutnya Ki Ageng Mangir Wonoboyo memiliki sebilah pisau, sederhana bentuknya, tidak terlalu besar ukurannya, mirip sebilah pisau dapur. Namun sesungguhnya, di dalam pisau itu terkandung kekuatan yang luar biasa. Oleh karena itu, tatkala seorang warga desa, Sarinem, masih perawan, cantik dan elok parasnya datang bertandang ke kademangan untuk meminjam pisau itu, Ki Wonoboyo tidak segera memberikannya. Setelah Sarinem menjelaskan bahwa ia memerlukan pisau itu untuk menyiapkan upacara bersih desa, permintaan itu diluluskannya dengan catatan agar berhati-hati. Pisau itu tidak boleh diletakkan di pangkuan seorang perawan, lebih-lebih yang begitu menarik bentuk tubuhnya. Sarinem bersedia memenuhi syarat itu, dan segera meninggalkan kademangan setelah mendapatkan pisau yang diperlukannya.

Seperti biasanya pada saat upacara bersih desa, semua penduduk desa datang berkumpul memasak makanan dan menyiapkan pembungkus makanan itu, baik dari daun pisang maupun daun pohon jati.
Saat sibuk menyiapkan masakan, tanpa sengaja, pisau sakti diletakkan di pangkuan Sarinem seketika lenyap. Ternyata, secara aneh pisau itu masuk ke dalam perutnya.

Mengetahui bahwa pisau sakti milik Ki Ageng Mangir Wonoboyo lenyap, Sarinem sangat ketakutakn. Yang dibayangkan tak lain, Ki Wonoboyo pasti akan marah sekali. Perlahan-lahan, wajah Sarinem berubah menjadi semakin pucat dan akhirnya pingsan.

Para perawan yang duduk di dekatnya segera menolongnya, demikian pula orang-orang yang sedang bekerja menyiapkan upacara itu. Tatkala Ki Tali Wangsa, ayah Sarinem, mengetahui peristiwa itu, segera melapor kepada Ki Ageng Mangir Wonoboyo. Aneh sekali, mendengar laporan itu, Ki Wonoboyo malahan tersenyum. Kepada Ki Tali Wangsa, Ki Ageng mengatakan agar ia, sebagai ayah, tidak usah cemas. Ia berjanji akan segera mengatasi persoalan itu. Bagaimana caranya? Dikatakan dengan tenang oleh Ki Ageng bahwa saat sekarang Sarinem mengandung. Untuk membersihkan aib karena perawan mengandung tanpa suami, Ki Ageng akan mengambilnya sebagai istri. Dengan demikian, upacara bersih desa itu sekaligus juga upacara pernikahan Ki Ageng dengan Sarinem.

Beberapa hari setalah upacara itu usai, Ki Ageng mengatakan kepada Sarinem bahwa ia telah memutuskan untuk bertapa. Ki Jagabaya, yang bertanggung jawab terhadap keamanan kademangan, diangkat sebagai penggantinya sementara. Ki Tali Wangsa, Ki Jaran Tirta, dan beberapa yang lain diminta tinggal di kademangan selama Ki Ageng bertapa.

Sembilan bulan berselang semenjak peristiwa aneh itu, tibalah saat Sarinem melahirkan. Pada saat di langit bulan bulat, di tengah keheningan malam, tiba-tiba terdengarlah suara gemuruh. Bayi yang dikandung Sarinem lahir. Ia bukan bayi dengan wujud manusia, tetapi seekor naga. Seluruh desa terhenyak. Para penduduk was-was. Ki Tali Wangsa merasa terpukul. Namun, Sarinem tenang-tenang saja. Dengan mesra diciumi naga itu seperti layaknya seorang ibu membelai anaknya tersayang. Demikianlah, beberapa jam kemudian naga itu mulai merengek meminta makan. Seekor ayam dilahapnya, kemudian beberapa ekor ikan dan juga telur ayam, serta itik tanpa direbus langsung dilahap semua.

Pada suatu malam Sarinem tampak bersedih. Tatkala naga itu menanyakan apa gerangan ibunya bersedih. Dijawabnya bahwa ia sudah sangat rindu kepada Ki Wonoboyo, ayah si naga. Sarinem lalu bercerita panjang lebar, siapa sesungguhnya ayah naga itu. Begitu Sarinem selesai bercerita, si naga mengajukan usul bagaimana kalau ia mencari dimana ayahnya bertapa. Sebagai anak, ia ingin menghaturkan sembah dan bakti kepada ayahnya.

Pada mulanya Sarinem tidak setuju. Setelah sang naga terus merengek, akhirnya permohonan diluluskan. Hanya saja, naga harus mendapatkan nama sebelum pergi, dan senantiasa berhati-hati dalam perjalanan. Malam itu, si naga memperoleh nama, yaitu Baru Kelinting. Dan malam itu juga, karena didorong keinginan segera bertemu ayahnya, Baru Kelinting berangkat meninggalkan Kademangan Mangiran menuju Kali Progo.

Begitu tiba di pinggir kali, Baru Kelinting segera menceburkan diri ke dalam sungai. Seketika itu juga, ia berubah menjadi naga raksasa, matanya bagaikan sepasang matahari, dengan tubuh bersisik emas, taringnya sangat tajam dan sepasang tanduknya luar biasa runcing.

Baru Kelinting yang telah berubah itu mengeluarkan suara yang mengerikan. Penduduk bertanya-tanya, suara apa gerangan ini sehingga mampu mengguncangkan pepohonan dan membuat atap rumah dan rumbai berderak-derak, bahkan ada beberapa yang roboh berantakan. Dalam waktu singkat, Baru Kelinting yang mudah lapar itu telah menelan dua orang tukang perahu, yang biasa menjual jasa kepada mereka yang ingin menyeberang Kali Progo ke Mataram untuk berdagang. Pada waktu itu, Kerajaan Mataram mulai tumbuh menjadi kota perdagangan. Oleh karena itu, pelayanan perahu di Kali Progo sangat ramai. Ini artinya, Baru Kelinting dengan gampang memperoleh mangsanya.

Cerita tentang Baru Kelinting mulai tersebar luas. Kecemasan menghantui seluruh penduduk. Ki Ageng Mangir Wonoboyo pun mendengar bisik-bisik itu. Dalam hati ia sudah menduga bahwa Baru Kelinting itu pastilah bayi yang dikandung Sarinem. Jika benar, Baru Kelinting adalah perubahan bentuk pisau dapur yang semula sederhana bentuknya, yang merasuk ke dalam perut perawan desa yang elok parasnya itu. Karena orang sudah tau bahwa Sarinem adalah istri Ki Wonoboyo, orang pun akan mengatakan bahwa Baru Kelinting adalah putra Wonoboyo.

Sekarang Baru Kelinting membuat ulah, tidak hanya mengacau tetapi membunuh dan memakan manusia. Terbayang di benak Wonoboyo, jika ia tidak segera bertindak, pasukan Mataram dan Pajang akan datang menggempur anaknya sendiri. Wonoboyo sendiri akan ditangkap dan diadili di depan orang banyak sebagai gembong perusuh, membuat rakyat sengsara.
Pada suatu malam, ia keluar dari gua pertapaannya di lereng Gunung Merapi, berjalan ke arah selatan mengikuti aliran Kali Progo, hingga akhirnya setelah tujuh hari tujuh malam perjalanan, mereka dipertemukan. Baru Kelinting kaget menghadapi manusia satu ini, karena ketenangannya. Penampilannya biasa, tutur katanya sederhana, tetapi memiliki daya tarik yang aneh. Oleh karena itu, betapapun laparnya Baru Kelinting berusaha menahan dirinya. Sorot mata Ki Wonoboyo membuat Baru Kelinting menunduk. Lalu angin malam semilir memberi tahu si naga raksasa bahwa orang di depan itu adalah ayahnya.

Baru Kelinting pun bersujud. Ia berharap diakui sebagai anak Ki Ageng. Akan tetapi Ki Ageng Mangir berkata dengan suara angker. “Aku tidak bisa menerima sembah sujudmu. Sebab selama ini kau telah menimbulkan malapetaka. Kehadiranmu di dunia gagal sebagai putra seorang yang bercita-cita menegakkan perdamaian dan serta ketentraman di bumi ini. Oleh karena itu, jika kau memang ingin menunjukkan bakti kepadaku selaku ayahmu, kau harus menebus dosa terlebih dahulu. Kau harus melingkari perut Gunung Merapi. Jika panjang tubuhmu mampu mengelilingi perut gunung itu, barulah sujudmu kuterima kau kuakui sebagai anakku.”

Naga itu menyatakan kesanggupannya. Baru Kelinting melingkari Gunung Merapi. Namun, perut gunung itu memang besar sehingga Baru Kelinting harus merentangkan tubuhnya agar ujung moncongnya dapat menyentuh ekornya. Inilah tuntutannya. Ketika tinggal satu meter usaha itu hampir tercapai, Baru Kelinting mulai putus asa. Jika ia memaksakan rentangannya, tubuhnya akan putus. Tanpa meminta izin lebih dahulu, lidah Baru Kelinting menjulur keluar. Tepat saat itu, Ki Ageng Mangir Wonoboyo menghantamkan tangannya yang sakti. Baru Kelinting menjerit. Lidahnya putus dan berubah menjadi ujung tombak. Kepala, tubuh, dan ekor si naga berubah menjadi sebatang kayu, sejenis kayu pohon baru. Ki Wonoboyo segera memungut ujung tombak itu dan kayu yang tergeletak segera dipasangkannya. Malam itu, Ki Ageng Mangir Wonoboyo memperoleh senjata ampuh dengan nama Tombak Baru Kelinting. Konon, tombak itu hampir sama saktinya dengan Kyai Plered, yang disimpan di Mataram.

Dalam perjalanan pulang ke Kademangan, Ki Ageng mendengar suara bisikan gaib, “Aku akan setia mengabdi kepadamu.”
Suara itu tak lain adalah suara si Naga Baru Kelinting yang kini menemukan bentuk pengabdiannya yang cocok, sebaga penjaga keselamatan Ki Ageng Mangir.

Tombak itu dibawa pulang, terbukti kemudian, walau Panembahan Senopati mempunyai tombak Kyai Plered yang ampuh namun ia tak mampu menaklukkan daerah Mangir yang dianggap mbalela. Barulah setelah menggunakan akal licik, yaitu dengan mengirim putrinya (Raden Ayu Pambayun) yang cantik sebagai umpan, maka Ki Ageng Mangir dapat diajak ke Kota Gede dan disana Ki Ageng dijebak di atas watu gilang hingga menemui ajalnya.


Cerita Rakyat Yogyakarta

Thursday, May 29, 2008

A Crying Stone

Long-long time ago, there was a poor old widow living in a remote village. She lived with her only daughter. Her daughter was very beautiful but lazy and very arrogant. She never helped her mother. Her daughter always wanted new clothes. She didn’t want to know what problem her mother was facing. She asked her mother to buy anything she wanted although her mother was very poor and old. She wanted to look rich and beautiful. She always made up and dressed smartly.

One day, they want to the market. It took one and half hours to reach the market. They walked slowly. Her mother brought a basket full of goods, while her daughter walked before her. Her mother wanted to sell vegetables and fruit in the market. On the way to the market, a lot of people were surprised looking at her daughter. One of the villagers asked her.
“Little girl, is that your mother”, the villager asked her.
“No. She is not my mother, but my servant”, replied that girl.
Her mother was not angry hearing her daughter’s answer. She could understand that her daughter was ashamed. Her daughter was ashamed of being poor. She was ashamed having an ugly mother.
It was 10 o’clock. They stepped their feet in the village near the market. They met a lot of people. Some of them asked.
“Little girl, is the woman behind you your mother?”, asked one of the people.
“No. She is my slave”, she answered.
Hearing her daughter’s answer. The mother could understand her daughter’s feeling. However, she couldn’t stand hearing her daughter’s answer after being asked by a lot of people. Her daughter always said that the woman behind her was a servant or slave. At last, the mother prayed to God to ask for a punishment for her impolite daughter.
“My God, please. I beg you to punish my daughter, please. Help me, please. I couldn’t stand looking at her bad behavior”, begged the poor old woman.

“Please, help me. My God, help me, please. My God, punish her”, asked the old woman earnestly.
God heard the poor old woman’s prayer. Suddenly, there was a thunderstorm. The light struck. There was no cloud or wind. Surprisingly, the body of her daughter turned into a stone little by little. She tried to escape from the God’s punishment, but she couldn’t.

“My God, forgive me, please. Pardon me, please. Don’t punish me like this,” the evil girl beg God for mercy.
“Mother forgive me, please. I know I have made a big mistake. I do not obey you. Please, help me mother. I want to be a good child”, the little evil daughter begged again and again.
It was too late. The evil body turned into stone slowly. All people in the village came to see the strange and frightening event. The girl had turned into a stone, but she still could cry. Her tears dropped from her eyes. People called the stone as a crying stone since then.

A Crying Stone

Long-long time ago, there was a poor old widow living in a remote village. She lived with her only daughter. Her daughter was very beautiful but lazy and very arrogant. She never helped her mother. Her daughter always wanted new clothes. She didn’t want to know what problem her mother was facing. She asked her mother to buy anything she wanted although her mother was very poor and old. She wanted to look rich and beautiful. She always made up and dressed smartly.

One day, they want to the market. It took one and half hours to reach the market. They walked slowly. Her mother brought a basket full of goods, while her daughter walked before her. Her mother wanted to sell vegetables and fruit in the market. On the way to the market, a lot of people were surprised looking at her daughter. One of the villagers asked her.
“Little girl, is that your mother”, the villager asked her.
“No. She is not my mother, but my servant”, replied that girl.
Her mother was not angry hearing her daughter’s answer. She could understand that her daughter was ashamed. Her daughter was ashamed of being poor. She was ashamed having an ugly mother.
It was 10 o’clock. They stepped their feet in the village near the market. They met a lot of people. Some of them asked.
“Little girl, is the woman behind you your mother?”, asked one of the people.
“No. She is my slave”, she answered.
Hearing her daughter’s answer. The mother could understand her daughter’s feeling. However, she couldn’t stand hearing her daughter’s answer after being asked by a lot of people. Her daughter always said that the woman behind her was a servant or slave. At last, the mother prayed to God to ask for a punishment for her impolite daughter.
“My God, please. I beg you to punish my daughter, please. Help me, please. I couldn’t stand looking at her bad behavior”, begged the poor old woman.

“Please, help me. My God, help me, please. My God, punish her”, asked the old woman earnestly.
God heard the poor old woman’s prayer. Suddenly, there was a thunderstorm. The light struck. There was no cloud or wind. Surprisingly, the body of her daughter turned into a stone little by little. She tried to escape from the God’s punishment, but she couldn’t.

“My God, forgive me, please. Pardon me, please. Don’t punish me like this,” the evil girl beg God for mercy.
“Mother forgive me, please. I know I have made a big mistake. I do not obey you. Please, help me mother. I want to be a good child”, the little evil daughter begged again and again.
It was too late. The evil body turned into stone slowly. All people in the village came to see the strange and frightening event. The girl had turned into a stone, but she still could cry. Her tears dropped from her eyes. People called the stone as a crying stone since then.

Wednesday, May 28, 2008

Aja Lali Marang Asale

Racake wong tinitah ing alam donya, padha pepinginan sing kepenak. Tegse, samubarang kebutuhane jasmani dalah rokhani kecukupan. Utamane kebutuhan urip padinan, kaya dene sandhang, pangan dalah papan lan sapanunggalane. Maneka cara dalan dilakoni, diluru amrih kabeh iku mau bisa diwujudke. Nyambut gawe mempeng, tekun, malahan kadhangkala ora etung wayah, tujuane mung siji yaiku kebutuhan uripe bisa kecukupan.

Dene ukuran cukup mono sifate relatif. Kabeh iku mau gumantung marang dhiri pribadi piyambak. Sebabe saben wong siji lan sijine duwe ukuran sing beda-beda. Ana sawenehing wong yen ngukur lan njarwani kecukupan, sauger wis bisa mangan kanthi lawuh prasaja, nyekolahke putra, nganggo sandhangan sing ora amoh, sarta bisa ngumumi anggone urip tetanggan, wis rumangsa ayem. Nanging uga ana sing tingkat ukurane luwih saka iku. Wong rumangsa cukup yen sakabehing pepinginane klakon. Kamangka sing jenenge pepinginan iku, sipate mulur ora ana enteke yen dituruti.

Kamangka sing jenenge urip kecukupan iku, orang mung kadonyan. Bandha, materi sing akeh, omah apik, tumpakane mobil, lan sapanunggalane. Kecukupan ing kene bisa dijarwani antarane kebutuhan jasmani lan rohani bisa lumaku kanthi salaras, saimbang.

Nanging, ora kabeh pepinginane iku klakon. Semono uga dalan kanggo nggayuh kamulyaning urip, iku ora lempeng. Saengga gelis tekan marang apa sing dikarepke. Racake dalan sing arep diliwati pating gronjal, menggak-menggok, munggah mudhun, kasar alus, lan sapanunggalane. Direwangi rekasa wae, pepinginane dalah kamulyaning urip durung mesthi klakon. Yen wis mengkono kuwi, apa banjur mupus? Kudune ora. Jer minangka titahe Gusti Kang Maha Kuwasa, kita wajib ikhtiar, ngupaya, ngrekadayan, amrih pepinginane bisa kasembadan.

Saakeh-akehe wong, durung mesthi nduweni nasib sing mujur. Mujur ing kene bisa dijarwani luwih jembar. Kaya dene mujur, nalika dilairke kawit cilik uripe ora nate kekurangan. Mujur ing babagan karir, senadyan kepinteran sing diduweni pas-pasan, nanging ndilalahe kersane Gusti Allah, bisa dadi pejabat, nyekel panguwasa, lan sapanunggalane. Karana sing diarani kabegjan iku anggone teka ora bisa disangka lan dinyana.

Ana gandheng cenenge karo nasib mujur kasebut, saupama wong iku ora kuat imane racake banjur salah dalan. Tegese, mumpung cekel panguwasa, ngregem jabatan, dalah wewenang ing sawenehing babagan, anggone ngecakake ora nganggo petung. Sing diuja mung hawa nefsune, sifate uga kadonyan.

Jaman saiki, akeh conto-conto, akeh materi, pejabat DPR/MPR, nalika ngregem panguwasa banjur lali marang asale. Jarene nalika njago, arep ngupayake sarte merjuangke kesejahteraan rakyat. Sing kakawit duwe pangarep-arep piyambake dadi coronge masarakat, tibake cabar. Wis lali marang janjine, sarta asal muasale nalika arep dadi wakil rakyat.

Ngaca Wewarah Jawa
Wis samesthine, minangka wong kang urip ing alam donya kudu ngluru kebutuhan uripe. Kebutuhan lair lan batin bisa mlaku seimbang. Yen bisa nglakoni urip kanthi cara mengkono iku mau, muga-muga bisa nemoke ketentreman urip. Apa maneh yen gelem nyinau, ngaca wewarah luhur tinggalane nenek moyang kita, yaiku ‘Aja lali marang asale’. Kanggone bebrayan Jawa, wewarah iku asring kita rungu, ing ngendi wae papan dalah ing kahanan apa wae. Dadia wong, sing aja pisan-pisan “lali marang asale!” Apa maneh wis dadi wong sugih, pinter. Yen wis dadi sugih aja semugih. Suwalike dadi wong piner, aja banjur keminter. Kepinterane sing diduweni mung kanggo minteri liyan.

Wewarah luhur kasebut, yen kita gelem ngonceki, ngemot pitutur luhur sing dhuwur pengajine. Upamane, saiki kita bisa urip luwih kepenak, yen dibandhingke karo jaman biyen utawa sadurunge, paling becik sikap dalah sifat, tingkah laku, marang wong liya aja diowahi. Apa maneh, banjur umuk, keminter, kemlinthi, dalah ngasorke sapadha-padha.

Kudu tansah dieling-eling, sumber sakabehing kabecikan, kamulyaning urip mung paringane Gusti Kang Maha Kuwasa. Minangka manungsa, kasugihan mung saderma nggadhuh. Sawayah-wayah bisa dipundhut maneh. Bandha kadonyan iku sifate mung titipan. Dene jabatan, panguwasa, iku mujudake amanah sing kudu dilakoni kanthi bener lan pener. Wis dadi kewajiban kita, yen pinaringan bandha rada cukup ing kono ana sebagean hake bocah yatim piatu, fakir miskin, kaum dhuafa, sing kudu ditulungi.

Semono uga kepinteran, ilmu pengetahuan sing dikuasani, rasane ora ana gunane yen ora diamalke. Apa gunane nduweni kepinteran, yen ora kanggo minterke wong liya.

Ing masarakat Jawa, urip iku diibaratke cakra manggilingan. Panguripane manungsa iku kaya dene rodha sing mubeng. Kadhang kala tiba dhuwur, liya dina ing ngisor. Panguripane manungsa iku ngalami obah owah, seneng-susah, sengsara-kepenak, tansah gilir gumanti. Kaya dene gumantine rina lawan wengi.

Mula saka iku, nalika urip kita nembe seneng aja nganti ‘lali dharatan’. Sing kudu dilakoni, yaiku suwalike, tansah ngeling-eling nalika kita nembe nglakoni urip sengsara, susah, sarwa kekurangan, lan sapanunggalane. Kesugihan, kepinteran, kamulyaning urip, iku asale saka Gusti Kang Maha Kuwasa. Mula wis samesthine, marang umat-E, tansah ngaturke konjuk syukur marang piyambak-E. Carane iku, tansah nglakoni apa sing wis diajarke manut kapitayane (agama) dhewe-dhewe. Sarta ora nerak wewalere, dalah larangane.

‘Aja lali marang asale’ mujudke salah sijining kekuwatan sing bisa ngendhaleni, amrih kita ora nglalekke Gusti Allah, minangka sumber sakabehing kabecikan, sarta kautaman sing ora diduweni dening manungsa.

Cak-cakane Jaman Saiki
Jenenge wae manungsa, racake isih kedunungan sifat lali. Ora sithik nalika nembe sugih, cekel panguwasa banjur lali sakabehe. Tumindak korupsi wis dudu wewadi umum maneh. Ora ngetung dhuwit iku sumbere saka rakyat, sing kudune dibalekke kanggo kepentingan umum.

Manipulasi data, dadi pakulinan sing angel diilangke. Dhuwit proyek mudhun, dinggo bancakan dhisik, turahane nembe kanggo nglakoke proyek.

Yen kita tansah ngeling-eling wewarah “Aja lali marang asale’ tumindak sing kaya mengkono iku mau bisa diendhani. Yen wis kebacut dilakoni, suwening-suwe uga konangan. Kurang begjane jabatane malah dicopot. Apa iku ora malah rugi dhewe? Wis asmane kucem ing masarakat, isih mlebu kunjara maneh. Anggone seneng mung sagebyaran.
“Aja lali marang asale’, yen ditrapke kanthi bener lan pener, bisa dadi rem sing paling becik kanggo wong sing nembe kasinungan jabatan, kasugihan, kamulyaning urip, lan sejenise. Bisa ora piyambake ngerem tumindak sing ora samesthine, aja pisan-pisan nduweni watak dalah sikap nyepelekake, ngasorke, sedulur-sedulur, andhahane, dalah kerabat, kenalan sing luwih jembar laladane, kang kahanan mlarat, sarwa kekurangan, tinimbang piyambake.
Mangkono uga nalika nembe cekel panguwasa, sugih sakabehe, pinter, banjur ‘salin salaga’, yaiku sikape diowahi, sarta nyimpang saka pakulinane.

Kabeh iku mau mbutuhke iman sing kandel marang Gusti Kang Maha Kuwasa. Iman sing pengkuh, kulina ngetrapke kejujuran, ora bakal ngglimpangke kamulyan sing nembe diregem. Jer, kabeh iku mau tetep dibalekke maneh marang Gusti Kang Maha Kuwasa. Kesugihan, nduweni jabatan, cekel panguwasa, sing nembe diduweni, yen dilakokke kanthi bener len pener, ora nyimpang saka paugeran dalah undhang-undhang, muga-muga bisa langgeng tekan kapan wae.
Nalika kesinungan urip sugih, tansah elingan jaman rekasane. Semono uga nalika ngregem panguwasa, tansah eling jaman perjuangane kang rumpil. Yen wis kebacut ‘lali marang asale’, padatan manungsa banjur nduweni sikap kemaruk ing babagan apa wae. Ora nate marem marang kenikmatan sing diparingke dening Gusti Kang Maha Kuwasa.
Wasana sumangga anggone ngestreni babagan iki.

Tuesday, April 15, 2008

Sifat Riya'

Ketinggian dan kemuliaan seseorang menurut Islam bukan diukur berdasarkan kekayaan, pangkat atau keturunan yang dimilikinya. Akan tetapi ia dilihat dari sudut ketakwaannya kepada Allah SWT disamping melihat kepada kesucian hatinya yang bebas daripada segala sifat mazmumah.

Rasulullah saw. menjelaskan perkara ini ketika ditanya oleh seorang sahabat “Wahai Rasulullah saw, siapakah manusia yang terbaik?”. Jawab baginda saw., “Orang mukmin yang bersih hatinya.” Tanya sahabat lagi, “Apakah maksud orang yang bersih hatinya?”. Jawab baginda saw., “Ialah orang yang bertakwa, bersih yakni tidak ada kederhakaan, pengkhianatan, dendam dan kedengkian”. Riwayat Ibnu Majjah.

Seseorang yang tipis dan tidak kuat imannya akan mudah dihinggapi penyakit hati, karena penyakit ini muncul dari dorongan hawa nafsu yang jahat dan hasil dari godaan syaitan yang senantiasa ingin menyesatkan manusia.

Pengertian Sifat Riya’
Sifat Riya’ adalah sifat yang sangat berbahaya karena dapat menghapuskan segala kebajikan atau amal sholeh yang telah dikerjakan oleh seseorang, sehingga tidak ternilai di sisi Allah swt. Orang yang riya’ membuat ibadah atau apa saja amalan bukan untuk mengharapkan keridhaan Allah swt melainkan karena mengharapkan pujian dan penilaian dari manusia. Hal ini terdapat dalam firman Allah SWT berikut:
“Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat, yaitu bagi orang-orang yang lalai dari sholatnya, orang-orang yang berkeadaan riya’.”
Dalam mengerjakan apa jua bentuk amal sholeh atau beribadah kepada Allah SWT jika didasarkan kepada riya’maka akan sia-sialah ibadah itu. Sesungguhnya Allah SWT memerintahkan hambanya agar beribadah dengan penuh ikhlas. Hal ini terdapat dalam firman Allah SWT berikut:
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya (ikhlas) dalam menjalankan agama dengan lurus dan supaya mendirikan sholat dan menunaikan zakat dan yang demikian itula agama yang lurus, maka jelaslah amalan yang didasarkan kepada riya’ itu tadi tidak akan mendapat pahala.”
Apa yang nyata riya’ tidak akan meninggalkan kesan positif kepada pelakunya orang riya’ yang tidak ikhlas biasanya amalannya atau budinya tidak kemana. Apabila tiada manusia yang memuji atau tidak mendapat pujian, orang yang riya’ itu akan berhenti dari beramal.