Saturday, August 27, 2011

Idul Fitri, hari kasih sayang

Dua hari lagi insya’ Allah kita akan ditinggalkan Ramadhan. Bulan mulia yang penuh barokah. Ibaratnya, Ramadhan adalah bulan idola bagi orang-orang beriman. Bulan yang ditunggu-tunggu kedatangannya, dan disesali kepergiannya. Persis sebagaimana kalau kita bertemu idola kita, lantas ditinggalkan. Ada perasaan senang karena bisa bertemu dengan pujaan, tapi lantas kecewa lantaran ditinggalkannya.

Sebulan penuh kita bergaul dan bergumul dengan bulan sang ‘idola’ itu. Tidak sedikit peristiwa yang terjadi, banyak adegan yang sungguh menarik, seluruhnya sangat menyenangkan hati. Sungguh sangat berat untuk meninggalkan bulan yang penuh pengampunan dan selaksa rahmat.

Dari lubuk hati yang paling dalam, andaikata boleh meminta, akan muncul rengekan, Ramadhan jangan berangkat pergi. Sebab, sementara hati lagi asyik, hanyut tenggelam dalam kenikmatan, merasakan enaknya sentuhan cintanya, sehingga kepergiannya hampir seperti dipaksakan, air mata pun terpaksa ikut melepas turut menjadi saksi.

Memang seperti itulah kita selalu. Nanti setelah segalanya berlalu, setelah Ramadhan lewat, barulah muncul seribu sesal, meratapi segala apa yang lewat, menerima keadaan penuh kecewa. Setelah seluruhnya terlambat, barulah tersentak ingin berbuat. Apa yang ditolak kemarin dulu, sekarang baru dia tahu, kalau ternyata ia adalah ratna mutu manikam.
Itulah yang pernah dibayangkan Nabi, bahwa hari seperti ini peka sekali, mudah mengundang kenangan lama. Barang yang hilang kembali terbayang, mereka yang telah mati semua teringat. Anak-anak yatim tentu saja teringat kepada kedua orang tuanya. Apa yang mereka perbuat di hari-hari ini kalau bukan pergi menangis pilu.

Coba kita renungi nasib mereka. Bagaimana nasib para anak yatim pada hari bahagia seperti ini, ketika ia melihat anak-anak yang lain lalu-lalang, datang dan pergi bergandengan tangan dengan orang tuanya, diselingi ketawa penuh bahagia serta peluk cium yang begitu mesra sambil bergurau sepanjang jalan.

Alangkah pedih rasa hatinya. Jantungnya seperti diiris-iris sembilu, terbayang dulu ketika bersama orang tuanya di saat dia dimanja. Itu sekarang yang jadi terangsang, kepingin lagi merasakan hangatnya pelukan sayang seorang ayah, sejuknya ciuman cinta seorang ibu, seperti yang sementara dia saksikan. Aduh alangkah enaknya mereka yang punya ayah dan ibu, dan alangkah sakitnya si yatim yang malam itu. Baginya semua pemandangan yang ia saksikan, menyayat-nyayat hati.

Suasana Hari Raya memang dapat mengundang perasaan ini. Semua orang bersuka ria, mengenakan pakaian baru, berbondong-bondong ke lapangan, berbaris-baris bersilaturrahim.

Kendati pun si yatim mencoba menahan tangisnya dengan menggigit bibirnya keras-keras, sambil merenungi nasibnya yang malang, pahitnya hidup jadi anak yatim, tidak akan mungkin lagi merasakan nyamannya hidup punya ayah dan enaknya hidup bila punya ibu. Namun manakala dia sadari bahwa harapannya itu hanya khayalan, barulah tangisnya mulai kedengaran dengan suara yang putus-putus, sambil terisak-isak mulai menyesali dirinya.

Sesungguhnya mereka sudah menyadari bahwa harapannya itu hanyalah khayalan, namun tempo-tempo masih juga terlintas dalam pikirannya, alangkah bahagianya sekiranya diperkenankan bisa kembali dapat berlebaran bersama-sama dengan ayah bundanya serta kakak adiknya, walau hanya sesaat saja. Sambil menatap wajah semua orang, seolah-olah dia bertanya, kemana bisa mencari ayah, dan siapa mau menjadi ibu. Hampir begitu rata-rata maknanya tatapan mata setiap anak yatim pada hari bahagia seperti ini.

Rasulullah tahu persis keadaan ini. Itulah sebabnya pada hari-hari seperti ini, beliau membawa pulang ke rumahnya anak yatim yang didapati menangis sedih di pinggir jalan. Dimintanya istrinya menjadi ibunya dan beliau sendiri jadi ayahnya. Mereka diperlakukan persis seperti anaknya, dituntun kembali ke lapangan berlebaran bersama-sama.

Sederhana saja peristiwa itu sesungguhnya, tapi ia telah melukiskan ruh ajaran Islam yang menekankan kasih sayang kepada sesama ummat manusia. Allah berfirman, “Tidak Kami utus engkau kecuali untuk rahmat bagi semesta alam.” (QS. al-Anbiya’: 107)

Inilah misi Islam sesungguhnya, misi kasih sayang buat segenap penduduk dan penghuni semesta alam.


Tidak ada ajaran untuk merusak. Tidak ada ajaran untuk mengacau. Yang ada hanyalah menyebarkan kasih sayang, menolong dan menyantuni pihak yang lemah, pemerataan jalur kebahagiaan, pemerataan jalur senyum buat sesama umat manusia.

Jangankan mengacau, jangankan merusak, jangankan bikin keributan, dalam ajaran Islam, marah sudah merupakan amal yang terlarang.

Sehingga perjuangan Islam pada dasarnya adalah usaha untuk membagi dan meratakan kasih sayang untuk segenap umat manusia, bukan untuk kepentingan umat Islam saja.

Itulah citra ajaran Islam sebenarnya. Seluruh syariatnya selalu ditandai adanya unsur kasih sayang di dalamnya. Setiap pelaksanaan ajaran Islam harus memercikkan kasih sayang yang dapat dinikmati orang lain. Bila tidak demikian, maka berarti ada kekeliruan dalam pelaksanaannya.

Kita ambil contoh, puasa umpamanya. Orang di luar Islam pun merasakan hasilnya. Mereka merasa mendapat percikan kasih sayang yang dihasilkan bulan Ramadhan yang berupa ketertiban, keamanan, dan ketenangan.

Itulah sesungguhnya ajaran Islam, dan inilah seharusnya yang diperjuangkan, Islam tegak di muka bumi didorong oleh harapan supaya dunia ini dapat merasakan dosis kasih sayang yang cukup sebagai kebutuhan manusia sekarang.

Kita memperjuangkan Islam tidak lain kecuali ingin mematahkan kedzaliman, tirani, pemerkosaan hak, dan kesewenang-wenangan, agar umat manusia dapat merasakan perdamaian hidup, kebahagiaan, dan kenyamanan. Kita ingin semua orang dihormati hak-haknya, dijamin kemerdekaannya.

Adalah keliru sekali kalau istilah perjuangan Islam, jihad fi sabilillah ditanggapi dengan pengertian mengacau, membunuh, merusak, teror, penyanderaan, dan lain-lain. Tugas kita adalah memperbaiki citra ajaran Islam kembali.

Karenanya adalah wajar dan sungguh manusiawi manakala semua pihak turun tangan untuk membantu setiap kegiatan untuk menegakkan dan membangkitkan Islam dimana-mana.

Siapa pun yang tampil dan maju untuk memperjuangkan Islam dengan emosi, nafsu, ambisi, dan interest pribadi bukan untuk menyebarkan kasih sayang, maka sesungguhnya ia telah merusak citra Islam itu sendiri. Perjuangan demikian pada dasarnya hanya merugikan Islam, mencoreng arang ke muka wajahnya sendiri.

Kita yakin kalau kita berjuang dengan menggunakan cara-cara yang Islami, niscaya semua pihak akan merasa beruntung, tak terkecuali pemerintah. Pemerintah kita semestinya akan merasa tertolong, kalau masih ada yang mau memperjuangkan Islam, sebab dengan demikian berarti membantu mereka mewujudkan dan menciptakan keamanan dan ketenangan, membantu mereka mengurangi kriminalitas dan kejahatan.

Kita bisa periksa isi penjara. Mereka yang ada di sana dapat dipastikan adalah orang-orang yang tidak terbina dengan baik agamanya, tidak melaksanakan dengan baik syariat agamanya.

Dengan demikian, Islam bukan saja boleh diperjuangkan di bumi pertiwi ini, tetapi memang seharusnya atau lebih mutlak diperjuangkan di seluruh penjuru bumi.

No comments:

Post a Comment