Thursday, March 07, 2013

Nasgor/Mi Khas Kediri

Menyusuri Kampung Nasgor di Ngaglik, Dandangan

Sejak Kanak-Kanak Sudah Tertular Ilmu Kuliner Khasnya

Anda doyan menyantap nasi goreng (nasgor) atau mi goreng khas Kediri? Tahukah Anda dari mana ratusan pedagang nasgor yang memenuhi Jalan Dhoho dan jalan-jalan lain di sepanjang Kota Kediri itu kala malam hari? Cobalah tanya mereka, nanti akan bertemu satu kata kunci: Ngaglik.

Pukul 15.00. Matahari semakin condong ke arah barat. Ansori (38), Suratman (40) dan Fatkur (44) mulai sibuk menyiapkan dagangan. Daging ayam yang sudah direbus sejak pagi ditata rapi di gerobak dorong masing-masing. Ada kepala, sayap, paha dan dada. Juga sayuran berupa sawi hijau, kubis dan tomat. Tak lupa puluhan butir telur ayam. Barang-barang itu di-display di dalam rak kaca, di atas gerobak. Di bawahnya, ada ruang kecil untuk menyimpan nasi dan mi. Ada yang menempatkannya dalam bakul plastik besar, ada pula yang masih menggunakan bakul dari anyaman bambu.

BERANGKAT: Suratman alias Pak Ndut mendorong gerobak nasgornya keluar dari 'gang limas' di Ngaglik, Dandangan kemarin sore

Di bagian depan gerobak, mereka menata aneka bumbu. Ada minyak goreng yang sudah dicampur bawang tumbuk sebagai bumbu khas, garam, merica, penyedap, sambal dari cabai yang digiling atau ditumbuk, hingga kecap manis dan kecap asin.

Sementara, di sebelahnya, ada lubang untuk memasukkan dandang besar yang berisi kaldu dari rebusan daging ayam.

Bahan-bahan untuk memasak siap. Mereka lalu menata piring, sendok dan garpu di dalam laci di bagian bawah gerobak. Juga meja dan kursi untuk pembeli yang digantungkan bodi gerobak dan sebagian dinaikkan ke atap. Setelah mandi, sekitar pukul 16.30, satu per satu mulai keluar dari mulut gang kecil di dekat kompleks pabrik PT Gudang Garam (GG) tersebut.

Gang itu tanpa nama, tapi beberapa orang ada yang menyebutnya gang limas. Di sepanjang gang dengan rumah berimpitan itu, ada sekitar 30 pedagang nasgor dengan gerobak-gerobak dorong khasnya. Dan, gang tersebut bukan satu-satunya. Di banyak gang lain, bahkan pinggir jalan, banyak ditemukan gerobak-gerobak dorong serupa khas pedagang nasgor. Jumlahnya bisa mencapai ratusan.

“Ya kalau boleh dibilang, semua pedagang nasi goreng di Kota Kediri itu asalnya dari sini,” kata Fatkur yang mengaku sudah ikut berjualan nasgor sejak zaman pikulan pada 1977 saat ditemui wartawan koran ini, Sabtu (11/5).

Fatkur dan Suratman merupakan kakak-beradik. Keduanya adalah penerus ayah mereka, almarhum Abdul Manab alias Mbah Gerot. Di antara lima anak lelaki Mbah Gerot yang melanjutkan usahanya, tinggal mereka berdua yang masih bertahan hingga kini. “Dulu saya ikut kakak waktu masih zaman jualan keliling pakai pikulan,” kisah Fatkur.

Fatkur dan Suratman yang memiliki gerobak sendiri-sendiri memilih berjualan di sekitar Jl. S. Parman, Burengan. Ansori di Jl. Mayor Bismo, Semampir. Adapun teman-temannya di gang tersebut ada yang di Jl. Hayam Wuruk, Jl, Brawijaya, Jl. Dhoho, serta jalan-jalan lain di sekitarnya. “Semua menyebar,” imbuh Ansori yang sejak SD sudah sering ikut berjualan di Jl. Dhoho bersama tetangganya itu.

Khusus yang di Jl. Dhoho, para pedagang nasgor itu baru masuk di atas pukul 21.00 setelah toko-toko di sana tutup. Mereka itulah yang berdampingan dengan para pedagang lesehan nasi pecel dan tumpang. Sebelumnya, mereka berjualan menyebar di jalan-jalan kecil di sekitarnya.

Di gang limas yang tembus hingga Jl. Teuku Umar dan gang-gang lainnya, aktifitas pedagang nasgor sudah dimulai sejak pukul 06.00, bahkan lebih pagi. Padahal, mereka biasanya baru pulang berjualan di atas pukul 01.00 dini hari. Ini berarti, mereka hanya punya waktu beristirahat kurang dari lima jam sebelum beraktifitas lagi.

Para enterpreneur kaki lima itu memulainya dengan belanja kebutuhan dagangan di pasar. Terutama ayam dan sayuran berupa sawi hijau dan kubis. Untuk ayam, mereka biasanya membeli di Pasar Banjaran. “Harus ayam kampung,” kata Ansori.

Ayam itu kemudian dibawa pulang untuk disembelih dan dibersihkan bulunya. Karena banyak pedagang nasgor, ada salah seorang yang bekerja sebagai “tukang bubut” di gang tersebut. Dialah yang menerima order membersihkan ayam-ayam yang dibeli para penjual nasgor itu.

Bagi Ansori dkk, keberadaan tukang bubut itu cukup membantu. Memang, ada ongkos yang dibayar untuk setiap ekor. Tapi, itu sepadan dengan penghematan waktu yang bisa mereka dapat. Sebab, saat ayam dibersihkan, mereka bisa mengerjakan yang lain seperti membuat bumbu, membersihkan dan memotong sayuran, atau yang lain. “Kami terima sudah dalam bentuk daging,” terangnya.

Daging ayam itulah yang kemudian direbus. Biasanya dengan daun bawang agar aromanya lebih harum. Air rebusannya lantas menjadi kaldu yang digunakan untuk memasak mi atau sup. Adapun dagingnya yang telah matang ditiriskan, digunakan untuk campuran menu mereka, diiris tipis-tipis.

Ansori memperkirakan, ada sekitar 150 pedagang nasgor yang berasal dari Ngaglik. Sebagian di antaranya lantas pindah tempat tinggal. Terkadang karena menikah, terkadang karena tuntutan untuk mendekati lokasi jualannya. “Tapi, mereka tetap punya keterikatan dengan Ngaglik,” terangnya.

Keterampilan mereka memasak nasgor dan mi khas Kediri itu diperoleh secara otodidak. Ada yang dari orang tua, saudara, maupun tetangga-tetangganya. Seperti Fatkur yang merupakan keturunan Mbah Gerot. Dia justru tidak memperoleh pengetahuan mengolah nasi goreng dan mi goreng itu dari ayahnya langsung, melainkan dari kakaknya. Yaitu, dengan menjadi asistennya terlebih dulu saat masih berjualan keliling dengan pikulan. Setelah kakaknya tidak berjualan, dia yang melanjutkan.

Demikian pula Ansori, sebelum berjualan sendiri tujuh tahun terakhir, dia sempat menjadi asisten Edi Pramono, teman sekaligus tetangganya yang lebih dulu berkiprah sebagai PKL nasgor. Apalagi, sejak SD dia sudah sering ikut-ikutan membantu tetangganya berjualan hingga ke Jl. Dhoho. Sehingga, tanpa disadari, ilmu kuliner khas Kediri itu sudah meresap di buluh nadinya sejak masih kecil.

Padahal, sebelum itu, Ansori sempat bekerja di beberapa tempat. Mulai distributor makanan anak-anak hingga menjalankan armada angkutan milik keluarganya sendiri. Itu juga terjadi pada Suratman alias Pak Ndut yang sebelumnya sempat berjualan sandal.

Namun, Ngaglik sebagai kampung kuliner nasgor khas Kediri tampaknya memanggil alam bawah sadar mereka. Darah enterpreneur tangguh PKL nasgor mengalir deras di tubuhnya. Merekalah yang diakui atau tidak, ikut menggerakkan perekonomian riil Kota Kediri. Bahkan ikut membuat kota ini terkenal hingga ke luar karena kuliner nasgor dan mi goreng khasnya.

Resep Asli Kediri Berusia Seabad Lebih

Sejak kapan sebenarnya kuliner nasi goreng (nasgor) dan mi goreng khas Kediri itu muncul? Tak ada yang mengetahui pasti. Namun, sejumlah sumber di Ngaglik memperkirakan sudah ada sejak zaman penjajahan.

Sardjan (75), salah satu pedagang nasgor paling senior di Ngaglik yang masih aktif hingga kini, mengaku sudah berjualan sejak 1963. Tepatnya setelah menikah dengan Rusmi (65).

Dia mengawalinya dengan menjadi asisten orang lain, yaitu almarhum Mbah Mayar. “Yang membantu Pak Mayar banyak, salah satunya saya,” kisahnya saat ditemui Radar Kediri di rumahnya, Sabtu (11/5) lalu.
Mbah Mayar adalah salah satu tokoh pedagang nasgor khas Kediri. Yang seangkatan dengannya dan namanya masih menjadi trade mark hingga kini adalah Mbah Riman alias Mbah Man.

Sardjan ikut membantu dengan membawa pikulannya keliling Kota Kediri. Dulu, dia bisa berjualan di kawasan pecinan, sekitar Jl. Pattimura dan Jl. Yos Sudarso (Kelenteng Tjoe Hwie Kiong). “Yang membantu Pak Mayar banyak, salah satunya saya,” lanjut dia.

Berbeda dengan sekarang yang menggunakan gerobak dorong, dulu para pedagang nasgor harus mengangkut dagangannya dengan pikulan. Pikulan sebelah kanan berisi blek atau kaleng bekas berisi kuah dan angklo atau tungku tanah. Sedangkan, pikulan sebelah kiri berisi daging ayam, sayuran, bumbu-bumbu, nasi, serta mi siap masak. “Dulu kuah masih disimpan di blek bekas wadah minyak goreng, bukan dandang seperti sekarang,” ungkap Sardjan.

Berat seluruh barang yang harus dipikul keliling itu sekitar 60 kilogram. Meski sudah terbiasa, diakuinya, terkadang terasa berat juga. Pada 1969, setelah memiliki anak, Sardjan mulai berjualan sendiri. Tapi, tetap dengan pikulan.

Baru sekitar 1975 dia bisa berjualan dengan gerobak dorong. Itu pun gerobak bekas jualan bubur kacang hijau dari mertuanya. “Tahun-tahun itu, rombong (gerobak dorong, Red) masih sangat jarang. Wong tahun itu untuk mencari baut kayunya saja di Kediri tidak ada,” tuturnya yang kini berjualan dengan gerobak dorongnya di depan Rumah Sakit (RS) Bhayangkara.

Baru pada 1980-an gerobak dorong bermunculan. Pikulan pun ditinggalkan karena berat. “Pakai rombong lebih praktis. Tinggal mendorong,” sambungnya. Ada tukang khusus yang bisa membuatnya.

Akan tetapi, bentuk pikulan itu masih ada yang mempertahankannya. Hanya, tidak lagi dibawa keliling. 
Melainkan sekedar sebagai ‘aksesoris’ di warungnya yang telah menetap. Hal itu antara lain bisa dilihat di warung Pak Temon di kawasan ‘cemoro’ dekat kompleks pabrik PT Gudang Garam (GG) atau di warung milik Sriatun (64), di Dandangan.

Sriatun adalah keponakan Mbah Riman yang menjadi salah satu penerusnya. “Mbah Riman sendiri tidak punya anak,” ungkapnya. Dulu, Mbah Riman alias Mbah Man berjualan di Jl. Stasiun. Setelah Mbah Riman meninggal pada 1980-an, usahanya diteruskan sang istri. Tapi, sang istri memilih buka warung sendiri di rumahnya, Dandangan. Adapun yang di Jl. Stasiun diteruskan oleh orang-orang yang dulu membantunya. “Setelah Mbah Riman putri meninggal, ganti saya sekarang yang melanjutkan,” lanjutnya.

TRADISIONAL: Sriatun, penerus Mbah Riman, yang mempertahankan pikulan di warung nasi/mi gorengnya di Dandangan.
 Mbah Riman atau Mbah Mawar sudah berjualan nasi goreng sejak 1950-an. Namun, keduanya bukanlah tokoh yang ‘babat’ usaha kuliner nasi dan mi goreng khas Kediri. Mereka juga belajar dari orang lain. “Pak Riman pendatang yang belajar ke mbah saya, Mbah Kusnadi. Mbah saya dulu punya banyak pikulan yang dijalankan orang lain, salah satunya Pak Riman,” tutur Sriatun.

Ini dibenarkan oleh Edi Pramono, anak Mbah Mayar, yang kini juga berjualan nasgor di belakang Hotel Penataran. Menurut dia, ayahnya bukanlah generasi awal kuliner nasi goreng khas Kediri. “Dulu, bapak belajar dari mbah saya, Mbah Urip dan Mbah Singokarso. Bersama pakde saya, Pak Moyong,” jelas warga Ngaglik ini.

Padahal, lanjut Edi, ayahnya sendiri konon kelahiran 1912. “Nah, dari mana mbah saya itu belajar, saya sudah tidak tahu. Tapi, yang jelas, sejak zaman penjajahan Belanda maupun Jepang, ayah dan mbah saya sudah jualan nasi goreng,” lanjut dia.

Panijan (75), warga Ngaglik lainnya, membenarkan hal itu. sebab, dia pernah ikut jualan bersama Mbah Moyong pada 1940-an. Tepatnya saat agresi militer Belanda ke Indonesia. “Saya ditembaki Belanda itu ya waktu ikut jualan di Pasar Pagu bersama Pak Moyong,” kisahnya.

Sepanjang waktu tersebut, setahu Panijan, resep khas nasi dan mi goreng itu ya berasal dari orang-orang Kediri sendiri seperti Mbah Mayar atau Mbah Moyong dan generasi sebelumnya. Bukan dari resep Tiongkok, misalnya, yang juga terkenal dengan aneka olahan mi-nya. “Seumur hidup saya, yang namanya nasi goreng dan mi goreng Kediri itu bumbunya ya begini ini,” tandasnya saat ditemui di tempat jualan Edi. Ya, resep yang boleh jadi sudah berusia lebih dari seabad hingga sekarang. Resep asli Kediri!

Dulu kalau Mau Tambah Telur Harus ‘Nggegem’ Sendiri

Bagi orang luar, sangat jelas perbedaan nasi/mi goreng Kediri dengan menu serupa dari daerah lain. Coba saja lihat dari tungkunya. Hingga kini, para penjualnya tetap mempertahankan tungku dari tanah liat dengan bahan bakar arang. Bukan kompor minyak atau kompor gas.

Arang di atas tungku itulah yang dikipasi dengan kipas tradisional dari anyaman bambu. Meskipun, sejak beberapa tahun lalu, banyak yang beralih ke kipas elektrik hasil modifikasi sendiri. Memasaknya juga satu-satu, tidak massal. “Sekali masak hanya untuk satu porsi,” jelas Ansori (38), pedagang nasgor asal ‘gang limas’ Ngaglik.

Makanya, jika ada pesanan delapan porsi sekaligus, berarti harus delapan kali memasak. Tapi, justru itu yang menjadi salah satu kunci kelezatan kuliner khas Kediri ini. Sebab, dengan sekali masak untuk satu porsi, menu yang disajikan selalu fresh. Takaran bumbunya pun selalu pas. Bahan bakar arang juga membuat aromanya khas.

Cara pembuatan bumbunya pun berbeda. Mungkin, dengan menu daerah lain, sama-sama menggunakan bawangnya. Akan tetapi, untuk nasi/mi goreng Kediri, bawangnya tidak digeprek langsung. Melainkan, ditumbuk lalu dicampurkan ke dalam minyak goreng. Minyak yang mengeluarkan bau harum itulah yang kemudian digunakan memasak. “Bawangnya jangan diblender atau digiling. Baunya akan hilang,” beber Fatkur (44).

Dan, ini yang membuat tampilan nasi goreng Kediri berbeda dengan yang lain. Yakni, tidak menggunakan saus tomat, melainkan kecap manis. Itu pun hanya sedikit -meski belakangan ada pula yang menggunakan takaran lebih banyak sesuai selera. Makanya, warnanya tidak merah, melainkan kecokelatan.

Sementara, mi-nya merupakan mi gepeng berukuran besar-besar. Bukan mi keriting. Mi itu diproduksi oleh pabrik di Kota Kediri sendiri. “Kalau saya ke Kediri, yang paling saya rindukan ya nasi goreng dan mi-nya,” aku Abdul Aziz (40), pengusaha asal Blitar, yang ditemui wartawan koran ini dini hari, pekan lalu. Bersama teman-temanya dari berbagai kota, jika sedang ke Kediri, dia sering mampir Jl. Dhoho untuk menikmati kuliner tersebut. Tak jarang dia memesan dua porsi sekaligus seperti dini hari itu.

TUNGKU ARANG: Ansori memasak nasgor pesanan
 Sardjan (75), menuturkan, tak banyak perubahan dari nasi dan mi goreng Kediri sejak pertama kali dia berjualan pada 1960-an. Bumbu utamanya tetap sama. Yang berubah hanya modifikasinya. Salah satunya soal telur. “Sampai 1980-an, jarang yang menggunakan telur,” tuturnya.

Maklum, hingga dekade itu, telur masih menjadi  barang mewah bagi orang kebanyakan. Hanya orang mampu yang bisa mengonsumsinya. “Dulu, kalau mau tambah telur ya bawa sendiri. Biasanya ya orang-orang China itu. Telurnya digegem (digenggam, Red), terus diserahkan ke saya untuk ikut dimasak,” kisah Sardjan.

Lalu, apa gantinya telur untuk pesanan yang  ‘standar’? Ayah tujuh anak dan kakek sembilan cucu ini menyebut perkedel. Tapi, bukan perkedel kentang, melainkan perkedel ketela. Bukan untuk lauk, melainkan untuk diiris-iris, lalu dicampurkan ke dalam mi atau sup sebagai campuran bumbu. “Gurihnya dari perkedel itu,” bebernya.

Tak Lekang dengan Regenerasi Alamiah

Sebagai kuliner khas yang sudah tahan uji, usia bisnis nasi/mi goreng Kediri yang termasuk kelompok usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) ini masih sangat panjang. Apalagi melihat gairah generasi muda di Lingkungan Ngaglik, Dandangan yang tak pernah sepi dari bisnis ini.

Tokoh-tokoh seniornya pun sudah mendidik keturunannya hingga usaha itu terus berkembang dan berkelanjutan. Bahkan, banyak di antara mereka yang kemudian mendirikan cabang di luar kota dan luar pulau dengan label: Nasi/Mi Goreng Khas Kediri.

SENIOR: Sardjan dengan gerobak dorongnya
Seperti Sardjan (75), dari keenam anaknya yang masih hidup (seorang meninggal, Red), ada tiga yang membuka usaha serupa. “Satu di Katang (Kediri, Red), satu di Surabaya, satu lagi di Sumatra,” ungkapnya. Ketiga anaknya itu menggunakan resep serupa dari Sardjan. Seorang lagi memilih berjualan mi pangsit, berbeda dengan ayahnya.

Hal serupa dilakukan Sriatun (64), penerus nasgor Mbah Riman. Anak perempuannya membuka cabang di Malang. “Ramai juga di sana, bahkan lebih ramai daripada di sini,” katanya. Sebagian bumbu dan bahannya diambil langsung dari Kediri. Termasuk, mi gepeng berukuran besar yang memang diproduksi di Kediri. Mi itulah yang khas pada mi goreng Kediri. “Kalau pulang sampai harus bawa mobil boks untuk kulakan mi-nya,” ucap Sriatun bangga.

Sriatun memang pantas berbangga. Anaknya yang mantan vokalis band Kediri itu sebenarnya  juga sudah bekerja di bank. Akan tetapi, justru dari usaha kuliner warisan tersebut ekonominya berputar lebih cepat. “Katanya, dari mana bisa beli mobil kalau tidak jualan nasi goreng,” tuturnya.

Memang, dengan ratusan pedagang mi/nasi goreng di Ngaglik, Dandangan, omset yang berputar dari usaha itu bisa mencapai puluhan juta semalam. Mereka ikut menggerakkan roda perekonomian di sekitarnya. Mulai dari pedagang sayuran, pedagang telur, hingga pedagang ayam.

Beberapa pebisnis besar yang jeli, ikut menggandeng mereka. Misalnya untuk minumannya. Maklum, jika semalam satu pedagang bisa menghabiskan satu krat saja, sudah ratusan krat minuman terjual tiap malam. “Padahal, ada yang bisa habis sepuluh krat semalam,” ungkap Fatkur.

Dengan potensi yang sedemikian besar, sebenarnya Fatkur dan banyak pedagang lain berharap, pemerintah mempunyai program nyata untuk mereka. Salah satunya menyediakan tempat khusus untuk sentra kuliner nasi/mi goreng Kediri. “Seperti soto ayam buk ijo di terminal itu,” harapnya.

7 comments:

  1. Mbah Sardjan langgananku ni kalau pas lagi ngopi di depan RS Bhayangkara.. Semoga sehat selalu mbah...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mbah Sardjan masih buka tidak ya? sudah lama tidak makan mie nyemeknya. Ada yang tau anaknya di surabaya buka dimana?

      Delete
  2. amin...amin...aminnn
    yaa robbal 'alamiinn...
    makasih kunjungannya :)

    ReplyDelete
  3. Jaya terus nasi goreng kediri...
    Mantap.....

    ReplyDelete
  4. Jaya terus nasi goreng kediri...
    Mantap.....

    ReplyDelete
  5. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  6. selalu kangen makan nasgor jaman kos SMA di kediri

    ReplyDelete