Monday, September 05, 2011

Mencegah Nafsu Amarah

Salah satu bidikan yang semestinya dihasilkan dari puasa yang baru saja kita lewati, baik wajib maupun sunnah, adalah terkendalikannya sifat-sifat negatif manusia. Salah satu sifat negatif yang potensial pada diri manusia adalah marah.

Secara alamiah, orang yang berpuasa terlatih untuk mengendalikan sifat marahnya. Bahkan secara khusus Rasulullah mengajarkan kepada orang yang sedang berpuasa, bila ada yang mengajaknya bertengkar, maka sebaiknya ia menolak secara halus. Pertengkaran yang dimaksud ini bisa berupa adu mulut, lebih-lebih adu fisik.

Suatu hari Rasulullah kedatangan tamu orang Badui. Ia bertanya kepada Rasulullah tentang Islam. Rasulullah menjawabnya dengan sangat singkat, “Jangan marah.” Tampaknya Rasulullah tahu bahwa salah satu sifat menonjol pada orang Badui tersebut adalah gampang marah. Ia sangat mudah naik pitam. Darahnya mendidih jika menghadapi suatu persoalan.

Orang yang marah, cenderung mengabaikan sesuatu yang besar. Orang yang sedang marah merasa semua persoalan itu kecil. Bagi dirinya, apa yang menyebabkan kemarahannya itulah persoalan besar.

Itulah sebabnya, jangan heran bila mendapati orang yang marah mengambil suatu keputusan dengan sangat ringan. Suami istri yang sedang dilanda kemarahan bisa dengan mudah dan ringan saling memutuskan untuk bercerai. Padahal demi jalinan cinta kasih mereka selama ini telah mengorbankan segala-galanya. Akan tetapi kemarahan menyebabkan pengorbanan itu tidak ada artinya apa-apa lagi. Semua menjadi kecil. Yang besar adalah kemarahan itu sendiri.

Seorang ayah dengan sangat mudah membanting peralatan rumah tangga, karena jengkel terhadap ulah salah satu anggota keluarganya. Adahal untuk mengumpulkan benda-benda tadi ia butuhkan waktu yang sangat panjang sekali. Mungkin bertahun-tahun. Tapi semua itu bisa lenyap seketika hanya karena kobaran api kemarahan.

Orang yang sedang marah, sering ringan tangan dan mulutnya. Tangannya gampang sekali digerakkan untuk menyakiti orang lain. Demikian juga mulutnya. Mereka tak segan-segan mengeluarkan kata-kata kasar, yang menyinggung bahkan menyakitkan hati banyak orang. Menempeleng, memukul, menendang, bahkan sampai membunuh menjadi suatu hal yang sangat ringan pada saat kepala dikuasai nafsu amarah. Pandangan dan pertimbangan mereka menjadi sangat pendek. Yang ada di benak hanya keinginanbalas dendam. Padahal dalam keadaan biasa, bisa jadi untuk melakukan hal serupa itu dibutuhkan waktu berbulan-bulan untuk menimbang dan berpikir.

Pertengkaran, besar atau kecil biasanya didahului dengan adu mulut. Indikasi kemarahan seseorang bisa dilihat dari seberapa jauh tingkat kekasaran dan kekerasan ucapannya. Semakin marah, semakin kasar. Jika sudah tidak tertahankan, maka adu mulut itu berkembang menjadi adu fisik, perkelahian. Dari perkelahian kecil bisa berkembang menjadi pembunuhan.

Melihat bahaya yang bisa ditimbulkan oleh sifat marah ini, maka Islam memberikan arahan kepada ummatnya untuk bisa menahan diri. Caranya adalah dengan diam. Jika seorang muslim sedang marah, hendaknya ia diam. Jangan banyak bicara, sebab pembicaraan itulah yang biasanya memanaskan suasana. Demikianlah Rasulullah berpesan sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad.

Tutup mulut rapat-rapat sampai emosi bisa dikendalikan, suasana kembali tenang, dan situasi tidak tegang. Dalam suasana seperti ni baru boleh berbicara, baik dalam rangka memberi penjelasan ataupun melakukan pembelaan.

Yang dianjurkan untuk diam sebenarnya tidak hanya mulut, tapi juga anggota tubuh yang lain. Jika seseorang marah sedang ia dalam posisi berjalan, hendaknya ia menghentikan langkahnya. Jika ia sedang berdiri, hendaknya duduk. Jika dalam keadaan duduk masih juga memendam kemarahan yang tak bisa ditahan, maka dianjurkan untuk berbaring.

Akan lebih baik lagi jika orang yang sedang marah itu mengambil air wudhu’. Insya’ Allah dengan cara seperti ini kemarahan yang sudah memuncak itu bisa didinginkan lagi. Air, kata Rasulullah bisa mendinginkan perasaan. Untuk itu bila sedang marah, cepat-cepatlah ke kamar mandi. Ambil air wudhu’, bahkan jika mungkin mandi sekaligus.

Sepertinya solusi ini sederhana, tapi pelaksanaannya tidak semudah yang kita bayangkan. Seorang yang sedang marah cenderung mendekati musuhnya. Untuk menghentikan langkah merupakan suatu perjuangan yang tidak kecil.

Malah mereka cenderung untuk berdiri, bila sebelumnya ia duduk manis. Lihatlah di sekitar kita, termasuk di persidangan ataupun di forum-forum diskusi. Pengacara yang asalnya duduk baik-baik, jika sudah marah, tiba-tiba berdiri, menyampaikan argumentasinya dengan berapi-api. Jika hanya pengacara maupun jaksanya yang marah itu masih belum seberapa, tapi jika hakumnya juga tak mau kalah, maka sungguh sangat berbahaya sekali. Untuk itu hakim yang sedang marah tidak boleh memutuskan perkara.

Sebenarnya tidak hanya hakim saja yang tidak boleh memutuskan perkara dalam keadaan emosi, tapi semua orang dalam posisi apa pun tidak boleh mengambil keputusan pada saat seperti itu. Apakah saat itu seseorang sedang dalam posisi sebagai guru, polisi, pimpinan, atau bahkan sebagai suami, istri, maupun anak. Dalam keadaan bagaimanapun jika sedang marah, jangan mengambil keputusan. Bisa jadi keputusan itu akan sangat subyektif. Tidak banyak pertimbangan. Sangat dangkal, dan merugikan pihak-pihak lain, bahkan dirinya sendiri.

Sebagai manusia biasa, Rasulullah juga pernah marah. Tapi beliau mampu mengendalikannya. Kemarahannya tidak sampai membahayakan orang lain, baik melalui kata-kata maupun tindakannya. Tak satu pun keputusan, baik berupa tindakan maupun ucapan yang dilakukan Rasulullah pada saat seperti ini. Beliau memilih diam. Bahkan jika marah, beliau justru mengganti kemarahannya dengan amalan atau imbalan hadiah kepada orang yang menyebabkan kemarahannya.

Penyulut kemarahan malah diberi hadiah? Barangkali hal ini tidak terbayangkan oleh kita, bagaimana mungkin orang yang kita marahi, malah diberi hadiah. Tapi Rasulullah bisa melakukannya sebagai bukti kedewasaannya. Hanya orang-orang yang sudah matang yang bisa melakukannya.

Imam Tabrani meriwayatkan suatu hadits yang bersumber dari Abdullah bin Salam mengenai hal ini. Ia menceritakan bahwa suatu hari Rasulullah keluar bersama para sahabat, di antaranya Ali bin Abi Thalib. Tiba-tiba seorang Badui mengadu, “Wahai Rasul, di desa itu ada sekelompok penduduk yang sudah Islam dengan alasan akan mendapatkan kemurahan rezeki dari Allah. Kenyataannya setelah mereka Islam, musim kering dan panas serta paceklik pun datang. Mereka dilanda kelaparan. Wahai Rasul saw, saya khawatir jika mereka kembali murtad hanya karena masalah perut. Saya berharap engkau sudi mengirim bantuan untuk mereka.”

Mendengar berita itu, Rasulullah saw pun menoleh kepada Ali bin Abi Thalib, dan Ali pun mengerti seraya berucap, “Wahai Rasulullah, kita sudah tidak mempunyai persediaan makanan lagi.”

Zaid bin Sa’nah yang hadir ketika itu segera mendekat dan berkata, “Wahai Muhammad, andaikata engkau suka, saya akan belikan korma yang baik dari kebun desa ini, dan mereka berhutang kepadaku dengan persyaratan tertentu.” Rasulullah saw bersabda, “Sebaiknya korma itu jangan mereka yang berhutang, tetapi belilah dan kamilah yang meminjam korma itu dari padamu.” Usul Rasulullah itu disetujui Sa’nah dan dibuatlah perjanjian.

Untuk pembayarannya, Zaid mengeluarkan emas sebanyak 70 mitsqal, lalu menyerahkan kepada Rasulullah dengan perjanjian akan dibayar kembali dalam masa yang ditentukan. Korma itu pun dibagi-bagikan kepada penduduk desa yang tengah ditimpa kelaparan.

Zaid bin Sa’nah berkata, “Beberapa hari (2 atau 3 hari) menjelang perjanjian pelunasan hutang tersebut, Rasul keluar bersama-sama Abubakar, Umar, Utsman dan beberapa sahabat lainnya. Setelah Rasul menshalatkan jenazah seseorang, beliau duduk menyandarkan badan ke dinding, saya pun berkata kepadanya, “Hai Muhammad, bayarlah hutangmu kepadaku. Demi Allah, setahuku, keluarga Abdul Muthalib itu sejak dulu selalu mengundur-undur waktu dalam pembayaran hutangnya.”

Mendengar kata-kata kasarku itu, wajah Umar bin Kaththab memerah, kedua biji matanya bergerak-gerak bagaikan perahu oleng, seraya melemparkan pandangannya kepadaku dan berkata, “Hai musuh Allah, alangkah kasarnya ucapanmu terhadap Rasulullah. Demi jiwaku yang ada di tangan-Nya, kalau bukan karena menghormati Rasulullah yang di hadapanku, tentu akan kutebas lehermu dengan pedangku ini.”

Rasul tetap saja memandang dengan tenang, seraya bersabda, “Hai Umar, sadarilah bahwa antara aku dan dia ada soal hutang-piutang. Adapun yang aku harapkan, engkau menyuruh aku membayarkan hutang itu kepadanya.” Sementara itu Rasulullah saw mengisyaratkan kepada Umar untuk pergi ke tempat penyimpanan korma, lalu melunasi hutang itu dengan menambahkan 20 sha’ (takaran) sebagai imbalan untuk menghilangkan amarahnya.”

Selanjutnya, Zaid bin Sa’nah menceritakan, “Setelah Umar membayar hutang Rasul disertai tambahan 20 sha’, akupun bertanya, “Apa arti tambahan ini, hai Umar?”

Umar menjawab, “Rasulullah saw menyuruh sebagai imbalan kemarahanmu.”

Aku berkata kepada Umar, “Hai Umar, kenalkah engkau, siapakah aku ini?”

Umar berkata, “Tidak.”

Aku menerangkan, “Aku adalah Zaid bin Sa’nah.

Umar balik bertanya, “Engkau Zaid bin Sa’nah, pendeta Yahudi itu?”

“Ya.”, kataku.

Umar berkata, “Mengapa engkau sekasar itu berucap? Engkau terlalu menghina.”

Lalu aku berucap, “Sebenarnya lewat kitab Taurat, aku telah lama mengenal Muhammad dari berbagai ciri kenabiannya. Dia adalah Rasul Allah, budi bahasanya senantiasa mengalahkan amarahnya, bahkan Muhammad semakin sopan terhadap mereka yang kesyetanan. Aku berbuat demikian, menguji dan memastikan dialah Rasul Allah. Wahai Umar, putera Kaththab, engkau sebagai saksi. Aku ridha ber-Tuhankan Allah, ber-Agamakan Islam dan ber-Nabikan Muhammad. Umar, ketahuilah, aku adalah orang yang terkaya di kalangan keluarga Yahudi. Kini harta kekayaanku itu kuserahkan separuhnya buat ummat Muhammad saw.”

Menyambut penyerahan Zaid bin Sa’nah itu, Umar berkata, “Tentu yang engkau maksudkan ialah untuk sebagian ummat Muhammad.” Dan Zaid pun menjawab, “Ya, benar.”

Mereka pun bersama-sama menemui Nabi saw, dan Zaid bin Sa’nah pun mengucapkan dua kalimah Syahadat serta berjanji akan berjuang bersama-sama untuk kejayaan Islam. Kemudian di dalam tarikh diriwayatkan, Zaid bin Sa’nah mati syahid di tengah sebuah front pertempuran Tabuk, dekat daerah Palestina.