Friday, September 16, 2011

Nyanyian Malam

Selentingan tentang Jebris kian meluas. Seperti bau terasi terbakar, selentingan itu menyusup ke setiap rumah di pojok dusun itu. Kini rasanya tak seorang pun yang tinggal di sana belum tahu bahwa Jebris sudah jadi pelacur. Maka orang berkata, Jebris seorang janda beranak satu, telah menghidupkan kembali aib lama, aib pojok dusun itu yang dikenal sebagai tempat kelahiran pelacur-pelacur.

Itu dulu. Dan sejak beberapa tahun belakangan orang sepakat mengakhiri aib seperti itu. Di pojok dusun itu kini sudah berdiri sebuah surau yang seperti demikian adanya, terletak hanya beberapa langkah dari rumah Jebris. Di sana juga sudah ada rukun tetangga dengan seksi pembinaan rohani. Para perempuan sering berhimpun dalam pertemuan atau arisan. Dalam kesempatan seperti itu, selalu ada acara ceramah pembinaan kesejahteraan keluarga atau pengajian. Tetapi siapa saja boleh bersaksi bahwa kepelacuran Jebris makin mapan saja. Tiap sore Jebris naik bus ke daerah batas kota, sekitar terminal, yang pada malam hari menjadi wilayah mesum. Menjelang matahari terbit, Jebris sudah berada di rumah karena dia selalu menumpang bus paling awal.
Orang bilang, sebenarnya Jebris sudah beberapa kali mendapat peringatan. Ia pernah didatangi seorang hansip yang memberinya nasihat banyak-banyak. Mendengar nasihat itu, demikian orang bilang, Jebris mengangguk-angguk dan dari mulutnya terdengar “ya, ya”. Jebris juga menghidangkan kopi untuk Pak Hansip. Tetapi ketika menghidangkan minuman itu, Jebris hanya bepinjung kain batik, tanpa kebaya, dan rambut tergerai. Kata orang, Pak Hansip tak bisa berkata sepatah kata pun dan langsung pergi.

Cerita lain mengatakan, ketua RT juga pernah mendatangi Jebris. Seperti Pak Hansip, ketua RT pun banyak memberi nasihat agar Jebris berhenti melacur. Ketika mendengar nasihat ketua RT, Jebris juga mengangguk-angguk. Dari mulutnya juga terdengar “ya, ya”. Tetapi sore hari Jebris kembali berangkat naik bus terakhir dan pulang menjelang pagi dengan bus pertama. Atau seperti dibisikkan oleh orang tertentu, sesungguhnya tak pernah ada hansip atau pengurus RT yang mencoba menghentikan Jebris. Mereka, para hansip dan sebagian pengurus RT, adalah sontoloyo yang sebenarnya tidak keberatan Jebris menjadi pelacur.
Di pojok dusun itu mungkin hanya Sar, istri Ratib, yang benar-benar sedih melihat Jebris. Sar dan Jebris bertetangga sejak bocah, bahkan sampai sekarang pun mereka tinggal sepekarangan, hanya terpisah oleh surau itu, surau yang dipimpin oleh Ratib, suami Sar. Selain menjadi imam surau, Ratib juga menjadi ketua seksi pembinaan rohani dalam kepengurusan RT. Maka ada orang bilang, kepelacuran Jebris mencolok mata Ratib, suami Sar.

Karena tak punya sumur sendiri, setiap hari Jebris menggunakan sumur keluarga Sar. Bahkan tidak jarang Jebris mencuri-curi membersihkan badan di kamar mandi Sar. Bila hendak pergi menjajakan diri, Jebris menunggu bus tepat di depan rumah Sar karena rumahnya tak punya gang ke jalan besar. Lalu sering terjadi Jebris berpapasan dengan anak-anak yang mau mengaji di surau menjelang magrib dan bertemu lagi dengan anak-anak itu lepas subuh.

Sampai demikian jauh, Sar masih bisa menahan kesedihannya. Sar tetap menyokong Jebris dengan beberapa rantang beras jatah setiap bulan. Sar tidak akan lupa, bagaimanapun keadaan Jebris, dia adalah teman sejak anak-anak. Banyak sekali pengalaman masa kecil bersama Jebris yang tak mudah terlupa. Memang, ulah Jebris acapkali merupakan ujian yang lumayan berat bagi kesabaran Sar. Jebris nakal. Dia suka mengambil sabun atau deterjen. Jebris malah sering juga mengambil pakaian dalam Sar yang sedang dikeringkan. Hati Sar selalu kecut bila membayangkan pakaian dalamnya dikenakan Jebris. Dan Sar merinding bila mengingat suatu ketika pakaian dalam yang melekat pada tubuh Jebris digerayangi tangan bajul buntung. Dan Sar harus menghadapi ujian terberat ketika suatu hari datang seorang lelaki asing. Lelaki itu mengajak Sar pergi berkenan, karena dia mengira Sar adalah Jebris.

Boleh jadi Sar akan tetap bertahan dalam kesabarannya apabila di pojok dusun itu tidak berkembang selentingan baru. Orang bilang, Jebris tidak hanya menjajakan diri di tempat mesum sekitar terminal. Diam-diam Jebris sudah berani menerima lelaki di rumahnya yang hanya beberapa langkah dari surau dan dekat sekali dengan rumah Sar. Kabar terbaru ini membuat Sar harus bicara, paling tidak kepada Ratib, suaminya.

“Kang Ratib, kata orang, keberkahan tidak akan datang pada empat puluh rumah di sekitar tempat mesum. Apa iya, Kang?”
“Ya, mungkin.”
“Kalau begitu hidup kita tidak bisa berkah, ya Kang?”
“Maksudmu selentingan terbaru tentang Jebris?”

Sar menggangguk. Ratib menarik napas panjang. Sar menunggu tanggapan suaminya, tetapi Ratib hanya menjawab dengan senyum. Sar terpaksa ikut tersenyum. Senyum keduanya kaku dan terasa buntu. Sar ingin berkata sesuatu, namun kemudian sadar bahwa di dalam kepalanya tidak ada gagasan apa pun. Yang kemudian datang malah kenangan masa anak-anak bersama Jebris. Ketika bocah, tubuh Jebris seperti Mendol; gemuk dan putih. Betisnya penuh. Karena gemas, Sar sering mencubit pantat Jebris yang berwajah agak bloon, tetapi pandai mencatut karet gelang milik Sar. Anehnya, Sar tak mau berpisah dengan Jebris karena sebagai teman bermain Jebris setia dan patuh.

Sar juga sering menemani Jebris menunggu ayahnya pulang dari hutan jati. Selain membawa sepikul kayu bakar, ayah Jebris selalu membawa seikat kacang lamtoro. Keluarga Jebris menggunakan lamtoro sebagai lauk. Jadi, Sar dulu sering bertanya kepada Jebris, “Makan nasi kok pakai lauk biji lamtoro. Apa enak?” Jawaban Jebris selalu sama, “Enak, asal jangan disertai ikan asin sebab cacing di perut bisa keluar. Saya takut cacing.”

Emak Jebris penjual gembus, kue singkong yang digoreng dan berbentuk gelang. Ada sebuah gubuk di pinggir jalan. Di situlah emak Jebris tiap malam menggoreng gembus dan langsung dijajakan. Jebris senang menemani emaknya berjualan hingga larut malam, karena selalu ada lelaki pembeli gembus yang memberinya uang receh. Bila sudah terasa ngantuk, Jebris berbaring di balai-balai kecil di belakang emaknya. Dan menit-menit sebelum terlelap adalah saat yang mengesankan bagi Jebris. Ia sering mendengar emaknya bergurau, berseloroh, bahkan cubit-cubitan dengan lelaki pelanggan. Suatu kali, ayahnya datang ketika emaknya sedang berpegangan tangan dengan seorang pembeli. Tetapi emaknya tenang saja, ayahnya hanya menundukkan kepala.

Sar dan Jebris bersama-sama masuk Sekolah Rakyat. Tetapi Jebris hanya bertahan selama dua tahun. Jebris keluar setelah emaknya meninggal. Pada usia 16 tahun, Jebris kawin dengan seorang pedagang yang membuka kios kelontong dekat terminal. Jebris diboyong dan harus menyesuaikan diri dengan gaya hidup suaminya yang nyantri. Setiap hari Jebris mengenakan kebaya panjang dan kerudung. Gelang dan kalung emasnya besar. Pada tahun kedua, Mendol lahir. Orang bilang, Jebris adalah anak yang beruntung.
Orang juga bilang bahwa Jebris adalah anak yang mujur ketika mereka melihat ibu muda itu mulai dipercaya menjaga kios suaminya yang lumayan besar. Namun, satu tahun kemudian, sudah terdengar selentingan bahwa dalam berdagang Jebris meniru emaknya. Jebris akrab dan hangat terhadap supir, kernet-kernet dan tukang-tukang ojek. Kiosnya selalu meriah oleh irama musik gendang dan tawa anak-anak muda. Lalu Jebris kedapatan menghilang bersama Gombyok, tukang ojek yang langsing dan berkulit manis. Ketika itu pun orang bilang, “Tidak heran, Jebris meniru emaknya penjual gembus itu. Apa kamu tidak tahu gembus bisa berarti macam-macam?”

Jebris kembali ke rumah ayahnya karena diceraikan oleh suaminya. Orang bilang, keberuntungannya telah berakhir. Sar yang menjadi tetangga dekat sangat merasakan kebenaran apa yang dibilang orang. Jebris kelihatan sangat berat menghidupi diri, anak serta ayahnya sudah sakit-sakitan karena dia tak punya penghasilan apa pun. Jebris pernah mengadu untung ke kota, namun segera pulang karena katanya, tak tega meninggalkan Mendol serta ayah yang sudah lebih banyak tergeletak di balai-balai. Sar yang sudah menjadi guru setiap bulan menyokong Jebris dengan beberapa rantang beras jatah. Tetapi Sar tahu apalah arti sokongan itu bagi kehidupan Jebris.

“Kang Ratib, kamu kok diam sih?” tanya Sar.

Ratib mengerutkan kening. Sambil menggendong tangan, Ratib berjalan berputar-putar. Mungkin dia akan mengucapkan sesuatu ketika dia berhenti dan menghadap Sar. Namun, pada saat yang sama terdengar suara langkah diseret-seret diiringi bunyi tongkat menginjak tanah. Ratib berpaling dan berjalan menuju pintu. Setelah pintu dibuka, Ratib berhadapan dengan seorang kakek yang sangat lusuh dan lemah. Ayah Jebris. Wajahnya sangat pasi, kedua kakinya bengkak dan bibirnya gemetar. Ratib menyilakan ayah Jebris masuk, tetapi lelaki tua itu menolak. Dia memilih berdiri di samping pintu bertelekan pada tongkatnya. Napasnya masih tersengal ketika dia mulai bicara.

“Nak Ratib, sudah dua hari Jebris tidak pulang. Pagi tadi ada orang melihat Jebris di kantor polisi. Dihukum.”
“Dihukum?”
“Ya. Kalau tidak dihukum, mengapa Jebris ada di kantor polisi? Nak Ratib, kasihan si Mendol. Dia tak mau makan dan menangis minta menyusul emaknya.”
“Jadi?”
“Nak Ratib, aku tidak tahu harus berbuat apa?”
“Ya. Kakek sudah terlalu lemah. Kakek tinggal saja di rumah. Biar aku yang menyusul Jebris dan bila mungkin membawanya pulang,” kata Ratib.

Bibir ayah Jebris tergerak-gerak. Jakunnya turun naik. Matanya berkaca-kaca. Tanpa sepatah kata pun yang bisa terucap, ayah Jebris pulang menyeret kedua kakinya yang sudah membengkak.

“Pasti Jebris kena razia lagi,” ujar Sar.
“Lagi?”

Sar mengangguk. Sar bilang, Jebris sudah dua kali kena razia. Yang ketiga Jebris berhasil lolos dari kejaran para petugas. Dia bersembunyi di balik rumpun pisang di pinggir sawah. Hampir semalaman menjadi umpan nyamuk, pagi-pagi Jebris demam. Bila tidak ada orang yang berbaik hati mengantarnya pulang, Jebris akan tetap terpuruk di bawah rumpun pisang.

“Kang Ratib, jadi kamu hendak mengambil Jebris dari kantor polisi?”
“Ya. Dan kuharap kamu tidak keberatan.”
“Lalu?”
“Juga bila kamu tidak keberatan, Jebris kita coba ajak bekerja di rumah ktia. Mungkin dia bisa masak dan cuci pakaian.”
“Andaikan dia mau, apakah kamu tidak merasa risi ada pelacur di antara kita?”
“Yah, ada risinya juga. Tetapi mungkin itu jalan yang bisa kita tempuh.”
“Bila Jebris tidak mau?”
“Kita akan terus bertetangga dengan dia. Dan kamu tak usah khawatir malaikat pembawa berkah tidak akan datang ke rumah ini bila kamu tetap punya kesabaran dan sedikit empati terhadap anak penjual gembus itu.”

No comments:

Post a Comment